KASIH sayang ibu sepanjang masa. Itulah ungkapan yang sangat sering kita dengar. Bukan tanpa sebab, karena pada kenyataannya memang Ibu selalu menyayangi kita bahkan sampai akhir hayatnya. Jasanya tidak terbendung dan tidak terhitung banyaknya, sejak kita lahir ke dunia ini dan pertama kali menangis, sang ibulah yang menyambut kita dengan kebahagiaan dan penuh harapan.
Mungkin kita bak permata baginya, disetiap doanya selalu tersebut nama kita walaupun tanpa kita ketahui. Nama yang diberikan kepada kita juga adalah sebuah doa, harapan dari seorang Ibu kepada anaknya, kelak akan sama seperti arti dalam nama tersebut.
Ibu, kata yang sarat makna. Ribuan puisi mungkin telah banyak dibuat oleh para penyair. Tetapi maknanya akan sangat berbeda bagi setiap orang. Ada yang beranggapan bahwa Ibu adalah sang penyelamat, sahabat, orang yang menemani saat sakit, selalu setia mendengarkan anaknya, dan bahkan satu kata Ibu bisa
mengandung seribu makna. Karena jasa-jasa itulah, kita layak untuk memberikan penghormatan kepada para Ibu di dunia ini. Maka dibuatlah hari yang disebut hari ibu. Hari Ibu di Indonesia sendiri diperingati setiap tanggal 22 Desember. Tapi tahukah kamu asal mula peringatan hari ibu? Sejarah mengungkapkan kenapa hari ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember.
Pertama, Tanggal 22 Desember merupakan hari diselenggarakannya kongres perempuan pertama Hari Ibu sendiri ditetapkan oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno melalui Dektrit Presiden Nomor 316 tahun 1959 menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu. Hal ini karena pada tanggal tersebut pertama kalinya diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia yang dilangsungkan di Jogjakarta tahun 1928. Peristiwa ini dikenang sebagai awal mula perjuangan kaum perempuan di Indonesia.
Pada tanggal tersebut berbagai pemimpin dari organisasi perempuan di seluruh Indonesia berkumpul untuk bersatu dan berjuang untuk kemerdekaan serta perbaikan nasib kaum perempuan
Kedua, banyaknya warga Indonesia yang protes terhadap Hari Kartini Ketika Presiden Soekarno menetapkan Hari Kartini sebagai bentuk penghargaan terhadap aktivis yang memperjuangkan emansipasi wanita, yaitu Raden AjengKartini, banyak warga Indonesia pada saat itu memprotes kebijakan Presiden karena Kartini dianggap hanya melakukan perjuangan di daerah Jepara dan Rembang.
Kartini juga dianggap lebih pro terhadap Belanda. Untuk menghindari protes dari para warga tersebut, Presiden Soekarno yang terlanjur sudah menetapkan Hari Kartini, akhirnya menetapkan Hari Ibu untuk mengenang para pahlawan wanita lainnya.
Ketiga, Pidato Djami (Organisasi Darmo Laksmi) berjudul “iboe”kecilnya yang dipandang rendah karena menjadi seorang perempuan. Dimasa kolonial dulu, hanya anak laki-laki yang diperbolehkan mengakses pendidikan.Sementara perempuan hanya boleh berkutat dalam urusan rumah tangga.
Pandangan usang itu mengakar kuat bahkan hingga saat ini. Pendidikan bagi perempuan juga dianggap tidak penting karena selalu berakhir ke dapur. Tetapi, Djami mempunyai pendapat lain soal itu. Ia mengatakan: “Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya.” Yang artinya adalah tidak akan berhasil seorang anak jika ibunya tidak memilikipengetahuan dan budi yang baik.
Ke empat, para pahlawan wanita Indonesia berkumpul menjadi satu membela hak perempuan Hampir seluruh agenda dalam kongres ini membicarakan hak-hak perempuan. Hal itu bisa dilihat dari pertemuan hari kedua kongres, dimana Moega Roemah membahas soal perkawinan anak. Pada zaman dahulu sebelum kemerdekaan,perempuan acap kali dikawinkan walau masih belia.
Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya juga menyampaikan tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Kemudian disusul Siti Moendji’ah dengan “Derajat Perempuan” dan Nyi Hajar Dewantara—istri dari Ki Hadjar Dewantara— yang membicarakan soal adab perempuan.
Ke lima, perjuangan para pahlawan wanita, “seorang ibu yang inginkan keturunannya sekolah”artafeminis.com Para pahlawan perempuan seperti Rohana Koedoes, Kartini, dan juga Dewi Sartika memiliki peran penting dalam pembangunan sekolah-sekolah untuk perempuan di Indonesia. Mereka berpikir bahwa seorang ibu yang pintar dan cerdas akan memiliki modal besar untuk menjadikan anaknya pintar.
Terlepas dari itu semua, Hari Ibu adalah momen di mana kita mengingat semua jasa-jasa yang pernah dilakukan oleh Ibu kita. Mungkin kita belum bisa membalas semua itu, atau bahkan kita belum menjadi anak yang baik. Kita sering melawan jika dinasihati, tidak melakukan apa yang beliau pinta, lebih memilih berkumpul dengan teman dibanding mendengarkan ceritanya, atau mungkin diantara kalian belum sempat mengucapkan “aku sayang mama” karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.
Terkadang kita juga sebagai anak terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaan sayang itu. Lakukanlah sebelum kesempatan itu tidak ada lagi dan sebelum kita tidak bisa melihatnya lagi.
Artikel ini penulis hadiahkan spesial untuk Mama. Karena beliaulah penulis bisa seperti sekarang ini. Walau harus penulis akui, bahwa saat ini mungkin penulis belum bisa membahagiakan beliau. Tetapi satu hal yang pasti, penulis akan selalu mencintai beliau seribu tahun lagi atau bahkan lebih. Dan penulis juga berharap, setelah kalian membaca artikel ini kalian bisa mengucapkan “I love you Mom”.
Penulis : Budina Sofiyan
Politisi Muda Partai Demokrat
