Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Mengajarkan Demokrasi Sejak Dini adalah Cara Ampuh untuk Terhindar dari Pemimpin Otoriter di Masa Depan

“Disadari atau tidak, sistem presidensial memiliki godaan otoritarianisme yang lebih tinggi daripada sistem parlementer”, ucap Mas Uceng, Ahli Hukum Tata Negara FH UGM, dalam sebuah obrolan Podcast Bersama Phutut EA. Saya sepakat dengan statement beliau.

Ist

DALAM sistem presidensial, presiden seperti raja yang kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi. Begitu, kata Mas Uceng. Sedangkan konstitusi ini tidak bekerja di ruang hampa, tetapi dikelilingi oleh susunan kepentingan yang rumit dan tumpeng tindih. Selain itu, sekuat-kuatnya parlemen, tidak seperti dalam sistem parlementer, mereka tidak bisa menurunkan presiden hanya karena kebijakan. Presiden hanya bisa diturunkan jika melakukan pelanggaran Undang-undang. Atau, ia akan turun dengan sendirinya ketika masa jabatan berakhir. Tetapi, selama memimpin, ia memegang penuh kendali atas negara, termasuk anggaran dan aparatus.

Makanya, jangan coba-coba membikin wacana menurunkan presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Gak mungkin dan gak baik, huss. Yang ada anda akan dituduh sebagai pelaku makar.

Kembali ke topik demokrasi, lihat saja pengalaman Indonesia ke belakang. Indonesia memang bisa mengklaim sudah demokratis sejak awal kemerdekaan, termasuk di era orde baru. Buktinya, pemilu, lembaga parlemen, dan partai politik telah dibentuk. Pemilu juga terselenggara.

Iya betul, memenuhi syarat sebagai demokrasi prosedural. Begitu kata Joseph Schumpeter. Secara substansi? Nanti dulu. Apalagi ketika orde baru. Jelas-jelas semua literatur politik menyebut Indonesia berada di bawah rezim otorianisme.

Bagaimana dengan demokrasi di Indonesia saat ini? Secara prosedur, pasti demokratis. Buktinya, pergantian kepemimpinan sukses diselenggarakan secara reguler dan tanpa disertai kekerasan. Secara substansi? Disputable.

Yang jelas, ahli-ahli ilmu politik dan hukum tata negara berpendapat bahwa kekuasaan presiden dan partai pendukung saat ini yang dinilai over power disertai dengan lemahnya oposisi membawa Indonesia lebih rentan kembali ke otoritarianisme.

By the way, mohon maaf jika pengantarnya terlalu panjang dan berbelit. Sebenarnya, tujuan dari tulisan ini sederhana kok, yakni seperti yang tertulis di judul. Bagaimana cara ampuh mencegah Indonesia dipimpin oleh pemimpin otoriter di masa depan? Salah satunya adalah dengan mengajarkan demokrasi sejak usia dini.

 

Objek Otoritarianisme

Disadari atau tidak, anak-anak telah terpapar paham otoritarianisme sejak dini. Sejak balita, anak-anak, atau kita dulu sering kali dicekoki petuah “anak tidak boleh membantah kata dan perintah orang tua” atau ”anak-anak harus mendengarkan dan menghormati omongan orang dewasa”. Petuah ini hadir dalam konteks semua ajaran agama serta adat dan budaya manapun.

Ada yang salah dengan petuah di atas? Tidak. Menurut saya yang salah adalah orang tua yang menggunakan petuah di atas untuk mempraktikkan otoritarianisme di depan anak. Atas nama pendidikan dan kebaikan anak, orang tua secara top down menentukan aktivitas apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tanpa berani bertanya, si anak pun menuruti. Sebaliknya, tidak ada aturan yang mengikat orang tua.

Setelah anak masuk ke usia sekolah, orang tua lagi-lagi secara top down mengatur aktivitas anak. Anak laki-laki setelah sekolah diperintahkan mengikuti les olahraga, padahal ia tidak menyukai olahraga. Anak perempuan setelah sekolah diminta mencuci piring atau mencuci baju. Argumen klisenya tentu agar mereka terlatih hidup mandiri sejak dini. Orang tua juga membagi jenis dan jadwal pengerjaan pekerjaan rumah antara anak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.

Loh, salahnya di mana? Salahnya adalah anak tidak diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam menyusun jenis dan jadwal aktivitas serta tugas-tugas yang akan mereka lakukan.

Petuah di atas kembali menghantui anak saat di lingkungan sekolah. Di sekolah, guru menggantikan orang tua untuk melakukan praktik otoritarianisme kepada murid. Kontrak kelas disusun secara sepihak, peraturan dan disiplin dibuat secara sepihak, dan metode pembelajaran didesain secara sepihak oleh guru. Murid bisa apa? Harus nurut dong. Kan itu perintah dari petuah yang tertanam dalam pikiran mereka.

Hal yang sama pun masih terjadi saat anak memasuki perguruan tinggi. Sama, kontrak kelas disusun dengan tidak demokratis dan peraturan dan disiplin tidak disepakati bersama. Tidak jarang relasi antara mahasiswa dan dosen bersifat asimetris. Hingga muncul hukum tak tertulis yang terkenal di kalangan mahasiswa “dosen selalu benar, mahasiswa selalu salah. Jika dosen salah, maka kembali ke peraturan pertama”.

Celakanya, praktik otoritarianisme ini masih mereka temukan di dunia kerja. Baik di swasta maupun di pemerintahan, kejadiannya sama. Atasan selalu benar dan bawahan selalu salah.

Loh, salahnya di mana? Salahnya adalah murid, mahasiswa dan bawahan tidak diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam menyusun kontrak, disiplin dan metode serta jadwal aktivitas dan tugas-tugas yang akan mereka lakukan.

Saya meyakini praktik otoritarianisme yang dialami oleh anak sejak dini hingga dewasa membuat watak ‘otoriter’ tertanam dalam dirinya tanpa disadari. Jika ada orang tua, guru, dosen, senior komunitas dan organisasi hingga atasan bekerja yang telah meninggalkan praktik otoritarianisme di atas, saya sungguh bersyukur.

Bayangkan saja bagaimana jika ada seseorang yang berambisi menjadi presiden untuk membalas perilaku otoriter yang pernah ia alami selama hidupnya? Tentu tidak sesederhana itu, tapi bukan berarti tidak mungkin. Dalam skala yang lebih kecil, orang tersebut mungkin saja mempraktikkan otoritarianisme yang sama kepada anak, murid, atau bawahannya kelak. Hingga terjadi praktik otoritarianisme turun-temurun.

 

Memutus Rantai Otoritarianisme dan Mengajarkan Demokrasi Sejak Dini

Memutus rantai otoritarianisme ini bisa dilakukan dengan mengajarkan demokrasi sejak dini. Ada dua cara sederhana yang bisa dilakukan.

Pertama, dengan menginisiasi institusi demokrasi di dalam keluarga. Hajer Sharief, seorang perempuan aktivis perdamaian dan HAM asal Libya, memperkenalkan Friday Democracy Meetings (FDM) dalam sebuah video di channel ted talks. FDM adalah pertemuan rutin seluruh anggota keluarga pada setiap jumat malam untuk mendiskusikan persoalan keluarga terkini. Ada beberapa peraturan yang harus ditaati. Pertama, seluruh peserta boleh berbicara bebas, termasuk mengkritik kedua orang tua. Kedua, apapun yang diucapkan di dalam pertemuan, peserta tetap harus menyelesaikan pertemuan. Ketiga, keputusan pertemuan akan mengikat seluruh anggota keluarga.

 Tanpa disadari, FDM membentuk Hajer sebagai individu yang tidak hanya mengerti demokrasi, tetapi praktisi politik yang mahir sejak usia dini. Ia mahir dalam merumuskan kepentingan, melakukan lobi dan membangun aliansi agar kepentingannya diakomodir. Baginya, apolitis sama saja dengan membiarkan orang lain memutus perkara yang berpengaruh terhadap dirinya. Oleh karena itu, demokrasi menjadi media penting untuk memastikan keputusan bersama mengakomodir kepentingan dirinya. Watak demokratis juga membentuk jiwa kritis dalam dirinya serta menumbuhkan kepekaan terhadap pentingnya kepentingan bersama dalam suatu keputusan.

Kedua, pada level lingkungan pendidikan, organisasi atau dunia kerja, penting untuk menciptakan ruang partisipasi bersama. Murid, mahasiswa, bawahan, tidak dijadikan sebagai objek yang harus selalu taat oleh aturan, disiplin, dan metode yang dibuat sepihak. Akan tetapi, mereka diposisikan sebagai mitra yang sama-sama merumuskan pilihan metode dan strategi untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, ada justifikasi terhadap konsekuensi ketika satu pihak tidak menjalankan keputusan yang telah disepakati bersama.

Dengan menanamkan nilai demokrasi sejak dini melalui praktik-praktik jangka panjang dan sederhana di atas, setiap individu yang muncul menjadi pemimpin publik akan memiliki  nilai-nilai demokratis yang telah tertanam sejak dini. Mudah-mudahan, cara ia memimpin juga demokratis.

Sayangnya, pemimpin demokratis hanya dapat diimplementasikan jika ia dalam posisi bebas, tidak memiliki hutang politik, dan tidak dalam belenggu oligark. Eh ini soal yang berbeda. Wallahualam…[***]

 

Eko Bagus Sholihin

Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Raden Fatah Palembang

Penggagas media komunitas gagasan.id

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com