JUMAT jam enam pagi, alarmku bukan dari HP pintar, tapi dari alam semesta yang lebih tua dan lebih bijaksana. Bunyinya tek… tek… tek… suara embun yang jatuh pelan dari daun pohon ke atap seng rumahku. Satu… dua… tiga tetes, seperti kode Morse dari langit “Bangun…. wahai manusia rebahan, karena hidup tak bisa ditunda pakai tombol snooze.”
Belum sempat ngulet, kawanan burung gereja udah menyambut dengan suara cerewet mereka di atas atap teras cik..cik..bek..bek… Awalnya kupikir itu ayam tetangga yang kabur lagi, ternyata mereka, para burung kecil yang suaranya rame tapi tubuhnya segede kancing baju. Entah apa yang mereka ributkan. Mungkin soal harga cacing tanah yang naik, atau tentang burung betina idaman yang pindah ke ranting sebelah.
Tak jauh dari situ, di sudut rumah, tepat di bawah tiang listrik yang catnya sudah mengelupas kayak kenangan mantan, tiga bocah belasan tahun lagi ngobrol. Bajunya belang bentong, rambutnya macam eksperimen salon, dan gaya berdirinya mirip pengawal Pak Rt… yang lupa bawa tugas sekolah. Mereka ngobrol serius, tertawa sebentar, lalu hilang seperti asap mie instan dibuka tengah hujan.
Apakah mereka sedang merancang masa depan? Atau hanya membahas siapa jagoan Mobile Legend hari ini? Kita tak tahu. Tapi begitulah bocah kampung kalau pagi-pagi sudah kumpul, berarti dunia masih waras. Seperti kata pepatah yang tak sempat dibukukan “Selama masih ada bocah mangkal di bawah tiang listrik, berarti harapan belum padam”
Langit pagi ini juga nggak mau kalah. Cerahnya seperti senyum tetangga yang baru dapet kiriman rendang dari kampung. Angin mengalir perlahan, menyusup di antara daun karet, akasia, sawit, dan gelam di seberang jalan. Bukan angin sombong, tapi angin yang tahu diri cukup dingin untuk menyegarkan, tapi tak menusuk perasaan.
Tarikan napasku terasa seperti meneguk oksigen rasa nostalgia wangi tanah, aroma embun, ditambah sedikit pedasnya nasi goreng dari dapar rumaku. Inilah paru-paru kampungku, yang tak pernah protes meski dihuni manusia-manusia galau.
Dan di sinilah hikmah Jumat pagi mulai menyapa, bukan lewat khotbah panjang, tapi melalui kesederhanaan yang berbisik
Bahwa berkah itu tidak selalu datang dalam bentuk gaji naik atau utang lunas, tapi bisa berupa embun yang setia jatuh tiap pagi, burung yang tetap cerewet tanpa minta pulsa, dan bocah yang masih bercanda tanpa tergantung notifikasi.
Jumat adalah hari di mana langit seolah buka pintu lebih lebar. Doa-doa lebih cepat sampai, dan hati lebih mudah lega. Makanya, orang tua dulu selalu bilang. “Kalau hari Jumat, jangan cuma mandi, tapi niatkan suci”. Bukan cuma bersih badan, tapi juga bersih pikiran.
Filosofi pagi Jumat itu sederhana jangan sibuk mengejar yang jauh, sampai lupa memeluk yang dekat, karena bisa mencium harum pagi tanpa harus nyalain AC, itu juga rezeki.
Karena masih bisa mendengar suara bocah ketawa dan burung gereja berisik, itu juga keberkahan.
Dan karena masih bisa menulis catatan kecil ini tanpa utang WiFi, itu… karunia yang tak terhingga.
Pagi Jumat ini tidak datang membawa berita besar, tapi ia menyisipkan pelajaran kecil, bahwa hidup yang paling indah adalah hidup yang disyukuri, bukan yang ditampilkan.
Dan di antara tek…tek…tek embun yang jatuh, kicau burung gereja, hingga tawa tiga bocah di bawah tiang listrik aku belajar bahwa kadang, suara paling jernih justru lahir dari yang paling sederhana.
Selamat hari Jumat, semoga rezeki datang tak hanya dari dompet, tapi juga dari ketenangan hati.[***]