MENJELANG pemilu 2024 akan menjadi tahun politik besar-besaran di Indonesia. Pada tahun tersebut, pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) bakal digelar serentak. Pemilu digelar pada 14 Februari 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden, lalu anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) RI, dewan perwakilan daerah (DPD) RI, serta dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Sementara, pilkada bakal digelar 27 November 2024. Melalui gelaran pilkada, akan dipilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia.
Ini akan menjadi pemilihan pertama yang terbesar di Indonesia. Sebab, sebelumnya, pemilu dan pilkada belum pernah dilaksanakan di tahun yang sama. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemilu diatur dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Sebelum ini, pemilu terakhir digelar pada 2019. Artinya, pemilu selanjutnya harus diselenggarakan pada 2024.
Sementara, ketentuan mengenai pilkada digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan pada bulan November 2024. Lantas, mengapa pemilu dan pilkada harus dilaksanakan secara bersama-sama di 2024?
Urgensi pemilu dan pilkada serentak 2024
Menjawab ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari mengatakan, pemilu pada dasarnya bertujuan untuk membentuk pemerintahan di pusat dan daerah.
Melalui pemilu, jabatan pemerintahan nasional yang meliputi presiden, anggota DPR, dan anggota DPD akan terisi. Begitu pula dengan jabatan pemerintah daerah yang mencakup kepala daerah serta anggota DPRD. Menyerentakkan pemilu dan pilkada pada tahun yang sama dinilai akan menghasilkan pemerintahan yang stabil. “Pemerintahan akan stabil di antaranya kalau menggunakan desain kepemiluan. Ada keseretakan pemilu karena konstelasi politiknya yang akan mengawal 5 tahun ke depan, Jadi saat mereka memulai masa jabatan durasi 5 tahunannya kemudian dilembagakan supaya dilakukan pada tahun yang sama,” tuturnya.
Kerja besar
Kendati demikian, kata Hasyim, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 akan menjadi kerja besar dan kerja keras semua pihak. Penyelenggara pemilu mau tak mau harus menanggung beban kerja yang jauh lebih berat dibanding pemilu dan pilkada sebelumnya.
Bagaimana tidak, pemilihan 5 tingkat pemimpin yang meliputi presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota akan digelar secara bersama-sama di seluruh daerah. Sembilan bulan setelahnya, penyelenggara pemilu harus menggelar pemilihan gubernur di 33 provinsi (minus Daerah Istimewa Yogyakarta), dan pemilihan bupati/wali kota di 514 kabupaten/kota seluruh tanah air.
Hasyim mengatakan, pemilu maupun pilkada bukan hanya urusan hari H pemungutan suara, melainkan serangkaian tahapan yang panjang. Karena keterbatasan waktu, kata dia, nantinya akan ada tahapan pemilu dan pilkada yang berlangsung bersinggungan dalam waktu yang sama. “Pilkada pintunya ada dua, lewat partai politik dan lewat perseorangan atau dikenal sebagai calon independen,” jelas Hasyim.
“Untuk jalur partai syaratnya diajukan oleh partai politik yang punya minimal 20 persen kursi DPRD provinsi, kabupaten/kota, 25 persen suara di masing-masing daerahnya. Pertanyaannya, hasil pemilu yang mana? Hasil Pemilu 2024. Maka mau tidak mau ada tahap Pemilu 2024 yang masih berjalan tapi tahap Pilkada 2024 sudah dimulai,” paparnya.
Tak hanya bagi penyelenggara, lanjut Hasyim, pemilu dan pilkada serentak 2024 juga akan menjadi kerja berat bagi partai politik. Setidaknya, partai harus menyiapkan 2.593 calon untuk diikutsertakan dalam pemilu tingkat DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Untuk DPR RI satu daerah pemilihan (dapil) saja, partai harus menyiapkan 3-10 calon. Sementara, untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota 3-12 calon. “Kita asumsikan diisi secara maksimal, maka tinggal dikalikan jumlahnya.
Jadi selepas pemilu nasional, partai sudah harus ngelus jago yang mau dicalonkan sebagai gubernur, bupati, dan wali kota,” kata Hasyim Beban anggaran Serentaknya penyelenggaraan pemilu dan pilkada di tahun 2024 juga berimplikasi pada membengkaknya anggaran. Pada 2019, anggaran pemilu sebesar Rp 25 triliun dengan realisasi Rp 23 triliun. Angka itu melonjak 3 kali lipat di Pemilu 2024 menjadi Rp 76,6 triliun. Hasyim mengatakan, anggaran tersebut termasuk biaya pengadaan kantor-kantor KPU di daerah.
Menurut dia, masih ada kantor KPU di wilayah yang bangunannya menyewa pada pemerintah pusat, ada pula yang roboh terkena bencana alam. Momen pemilu pun dinilai tepat untuk menganggarkan pengadaan kantor KPU. Namun, di antara semua komponen, alokasi terbesar adalah honor untuk penyelenggara pemilu ad hoc di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) atau yang biasa disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Sebelumnya kami usulkan untuk honor KPPS dinaikkan 3 kali lipat menjadi Rp 1,5 juta,” terang Hasyim. Anggaran itu dinaikkan berkaca dari banyaknya KPPS yang meninggal dunia dan sakit pascagelaran Pemilu 2019 akibat beban kerja yang terlalu berat.
Melihat beban kerja yang kemungkinan lebih besar di 2024 kelak, maka KPU memutuskan menaikkan honor KPPS. “(Soal anggaran) sudah relatif clear,” kata Hasyim. Harapannya, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 bisa berjalan baik dan tujuan dasar pelaksanaan pemilihan tercapai.[***]
Penulis: Muhammad Iqbal
Mahasiswa Uin Raden Fatah Palembang