Uncategorized

Nasi Anjing, Refrensi atau Ambigu

Foto : istimewa

LEPAS dari urusan lema “mudik” dan “pulang kampung’ yang sempat ramai, menyusul kata nasi anjing pun membuat warganet dan sebagian warga di Indonesia menjadi heboh. Upaya perlawanan terhadap Convid19 pun menjadi ramai.

Mendapat bantuan nasi bungkus yang siap santap tentu menjadi realita dari peribahasa, pucuk dinanti ulam pun tiba.

Hanya saja, ternyata yang mereka terima tak seperti biasanya. Bungkusan itu bertuliskan: Nasi Anjing, Nasi Orang Kecil, Bersahabat dengan Nasi Kucing. #Jakartatahanbanting

Saya mencoba membedah konsep kata ‘nasi anjing’ itu .

Pada bentuk lain, Saya pesan nasi ayam. Maksudnya, nasi yang lauknya daging ayam

Tahi ayam itu berwarna hitam. Maksudnya, kotoran ayam.

Saya mendapat nasi anjing. Maksudnya, nasi yang lauknya daging anjing?

Ayam bagi umat umat muslim, halal.

Anjing, bagi umat muslim, haram dan najis.

Ketika bertemu kata, tahi ayam, memang maknanya kotor tetapi tidak najis.

Berbeda dengan ketika ada kata, tahi anjing, maka maknanya kotor dan najis

Sifat, ayam memiliki makna simbol yang bagus.  Lambang kejantanan, makanya ada daerah yang menjadikan ayam sebagai simbol daerah. Ayam kinantan.

Anjing, setia, bisa diandalkan. Makanya, biasanya jadi penjaga rumah atau digunakan sebagai pendamping saat berburu.

Refrensi ini umum diterima di negara kita yang memang didominasi umat muslim.

Di budaya dan tradisi yang berlaku di teritorial lain, ada juga ditemukan makanan yang menggunakan kata anjing. Misalnya menu makanan di toko roti atau rumah makan siap saji, yang memang berasal dari konteks sosial  dan situasional berbeda di negeri kita. Hot dog. Penganan yang namanya mengandung kata anjing, tapi tidak ada sedikit pun unsur anjing di dalamnya.

Atau, kalau dalam perspektif jurnalis, salah satu fungsinya, watch dog…. hampir sama dengan sifat setianya anjing, yang menggonggong. Jurnalis itu salah satu fungsinya ya harus ‘menggonggong/mengontrol=mengawasi kehidupan sosial.

Atau, kalau menu nasi, di daerah tertentu, ada juga sebutannya yang mirip, nasi kucing. Bedanya, kucing bukanlah hewan yang diharamkan dan najis, meskipun juga tidak tidak diperkenankan di konsumsi. Tetapi, pada kata nasi kucing, refrensinya juga bukan seperti pada nasi ayam. Tapi, nasi yang porsinya seperti porsi untuk kucing, yang menjadi hewan peliharaan. Tidak kenyang kalau hanya satu porsi.

Persepsi lain, bisa dianalogikan dengan nasi Pagi Sore. Kalau kita beli nasi dari rumah makan tertentu, maka tulisan maupun logo di bungkusnya refrensinya adalah kepada rumah makan yang menjual nasi itu. Makanya, ada sebutan nasi Pagi Sore, nasi padang, nasi Sederhana.

Kalau Anda diberi nasi yang di bungkusnya tertera logo anjing dan tulisan, nasi anjing, maka maknanya tentu bisa mengacu ke refrensi  bahwa nasi itu di produksi oleh anjing. Artinya, refrensinya mengacu kepada si pemilik/pembuat.

Soal pemaknaan ini, memang tak lepas dari unsur pemakai dan konteks sosial situasonal. Dikenal dengan istilah refrensi.

Contoh, kata berangkat. Maknanya berbeda bergantung siapa yang menyebutkannya. Anak yang pergi ke sekolah, atau ayah yang pergi ke kantor.

“Saya berangkat ya, Bu,” ujar  ayah kepada ibu yang berdiri di depan pagar. Berangkat yang dimaksud, adalah berangkat ke kantor.

Berbeda dengan sang anak, yang juga berkata, “Saya berangkat ya, Ma.” Maknanya mengacu ke refrensi sekolah. Maksudnya, sang anak mengatakan bahwa dia berangkat ke sekolah.

Atau contoh lain, ketika kita menyebut kata kopi di warung kelontongan, “Kopi satu ya,” ujar pembeli. Penjual paham, yang dimaksudnya adalah kopi bubuk. Entah merek atau jenis apapun, robusta ataukah arabika.

Saat di rumah makan atau warung kopi, ketika pengunjung meminta, “Kopi satu ya.” Maka yang dimaksud sudah dipahami adalah minuman kopi, bukan susu atau teh.

Bisa juga dipengaruhi unsur ideasional. Misalnya, kata anjing, bagi sebagian orang bisa mengacu ke asosiasi fakta, binatang kesayangan, bisa menjaga rumah dan diajak berburu. Bisa juga sebaliknya, haram dan najis.

Makanya, ketika konsep makna ini diterapkan kepada kata ‘nasi anjing’ tadi, bisa acuannya refrensi. Bisa juga ideasional.

Kalau refrensi, ke anjing, hewan peliharaan yang bisa menjaga rumah dan berburu dibandingkan dengan hewan najis dan haram, tentu tidak akan ketemu titiknya. Antara pemberi dan penerima.

Kita analogikan dengan nasi ayam, nasi ikan, nasi telur, maka nasi anjing adalah nasi yang lauknya daging anjing. Bisa diterima bagi si pemberi tapi, tak bisa diterima oleh penerima bingkisan.

Walaupun,  nasi anjing, itu ternyata nasi yang porsinya lebih besar dari nasi kucing. Menurut penjelasan pihak yang membagikan nasi  itu melalui media massa. Dijelaskan, bahwa nasi itu lauknya bukan terbuat dari anjing, dijamin halal. Hanya porsinya, yang lebih banyak dari porsi nasi kucing.

Artinya, si pemberi ini punya refrensi lain dengan menganalogikan bahwa ada nasi kucing, yang porsinya sedikit. Hanya namanya saja menggunakan unsur kucing, meskipun isinya tidak mengandung kucing.

Sementara bagi si penerima, mereka juga punya refrensi lain, bahwa label makanan itu terkait dengan siapa yang memproduksinya. Artinya, kalau tertulis label nasi sederhana, nasi pagi sore, berarti nasi itu dibeli dari Rumah Makan Sederhana atau Pagi Sore. Yang menjual/memasak nasi itu, adalah  rumah makan tersebut. Kalau tertulis, label nasi anjing, berarti, nasi itu bisa saja diproduksi oleh lembaga yang namanya anjing. Anjing, ini secara ideasional adalah haram dan najis. Walaupun  isinya bisa saja tempe orek, ikan teri,  cumi, dan sosis.

Artinya, konsep makna antara pemberi dan penerima, dalam komununikasi, disebut komunikator dan komunikan, tidak ada persamaan pesepsi. Bisa saja, penerima tidak mempersoalkan itu, tapi pihak lain yang juga menerima informasi itu menjadikannya permasalahan. Terlebih, kemudian persoalan ini pun menyebar di media sosial dan viral.

Memang dalam pemahaman makna ini, memang harus bisa menempatkan refrensi dan ideasional itu dengan tepat. Ditambah dengan makna leksikal (sesuai kamus), dan konotasi maupun denotasi.

Artinya, masing-masing pihak harus bisa menempatkan refrensi dan ideasionalnya dengan tepat.

Kata anjing pada nasi anjing itu, refrensinya  bukan pada hewan anjing yang haram. dan najis . Tapi pada hewan kesayangan yang bisa menjaga rumah atau diajak berburu, yang bagi pemberi memiliki sifat setia, setia dan cinta NKRI. Selain itu,  refrensi juga ke nasi kucing, yang porsinya lebih sedikit.

Tidak mudah untuk kenyemakan persepsi karena memang ideasionalnya bertolak belakang. Meskipun kita diuntungkan adanya bentuk-bentuk lain seperti hot dog dan watch dog, yang dipakai di negara dengan budaya berbeda dengan kita.

Penggunaan makna konotasi, idealnya juga diperhatikan oleh pemberi nasi anjing itu. Mereka seharusnya menyadari bahwa ada ideasional yang umum dan diterima secara luas oleh warga negara Indonesia yang dikenal didominasi umat muslim.  Kalau menggunakan ‘nasi anjing’, memang lauknya anjing ataupun bukan (porsinya lebih banyak dari nasi kucing), keduanya tetap akan menimbulkan persepsi berbeda yang berbuah respon negatif.

Akan menjadi lebih enak nasi itu jika labelnya tidak dilekati kata anjing. Karena bisa membuat ambigu. Menimbulkan berbagai penafsiran. Meskipun, sesungguhnya merefren ke nasi kucing. Misalnya, diganti namanya menjadi ‘nasi bantuan’. Karena si pemberi juga mungkin tak mau makna nasi anjing itu, refrensinya diarahkan kepada si pemberi. Berarti yang memberi atau yang membuat adalah anjing. Sama seperti warga yang menerima bantuan itu, serasa menyantap daging anjing, meskipun lauknya tempe dan ikan teri.

Entahlah, kalau ada agenda lain dalam penyaluran bantuan nasi anjing ini. Karena bagaimanapun, berbagai kontroversi selama musim merebaknya pandemi covid19 ini, telah membuat upaya perlawanan menjadi ramai. Ramai dibuat sebagai bagian dari manajemen konflik atau aplikasi teori komunikasi, menutup  isu dengan isu baru. Atau murni kekeliruan. Semoga, Convid19 bisa dijinakkan.  Tidak sebaliknya semakin mengamuk seperti anjing gila.[***]

 

Palembang, 26 April 2020

Muhamad Nasir

Pemerhati Bahasa Indonesia dan Dosen Universitas PGRI Palembang

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com