Uncategorized

Membangun & Mengelola Desa sejahtera

PEMBANGUNAN demokrasi, dan kesejahteraan merupakan tiga konsep yang saling berkaitan satu sama lain yang tak bisa dipisahkan. Demokrasi merupakan instrumen dan proses politik, pembangunan merupakan arena, dan kesejahteraan merupakan tujuan.

Pada konteks Indonesia, pembangunan merupakan tema utama bahkan menjadi warisan (legacy) utama. Pasca-kemerdekaan Indonesia mulai dan terus melakukan pembangunan pada berbagai sektor, akan tetapi pembangunan yang dilakukan belum mampu menyentuh aras bawah atau tingkat local secara menyeluruh, karena pembangunan masih terfokus dan dominan dilaksanakan pada pusat pemerintahan saja. Pada umumnya cara pandang kebanyakan kerap melihat daerah merupakan kawasan taklukan yang haruslah dikendalikan terus-menerus oleh pusat. Dengan kata lain, penentu pembangunan, demokrasi, dan tentu saja kesejahteraan itu masih di bawah kewenangan pusat.

Geliat desentralisasi dan otonomi daerah memberi angin segar bagi daerah untuk menata dan membangun daerah masing-masing dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Desentralisasi ini bermaksud untuk mendekatkan negara dengan rakyat, sehingga rakyat di daerah turut andil dalam pembangunan. Pada dasarnya desentralisasi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1999, akan tetapi masih terdapat banyak permasalahan dalam proses implementasi sehingga belum memberikan hasil yang signifikan.

Nawacita dan Revolusi Mental, dua konsep yang digadang- gadangkan oleh pemerintahan Joko Widodo dalam merumuskan sebuah formula pembangunan di mana Indonesia harus dibangun dari pinggiran (daerah) dalam rangka mewujudkan cita-cita besar Negara Kesatuan Republik Indonesia: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pasca-desentralisasi, tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan belumlah terlihat dan terasa signifikan. Pada daerah dengan potensi dan hasil sumber daya alam pun tingkat kemiskinan masih sangat tinggi.

Sebut saja pada daerah-daerah penghasil tambang di Indonesia seperti di Pulau Kalimantan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Gresik, dan kawasan lain hingga Papua. Berapa persen anak muda dari daerah tersebut dapat mengenyam pendidikan tinggi dari olah hasil alam mereka? Ketimpangan penduduk miskin dan kaya semakin melebar di tengah hiruk-pikuknya mesin-mesin raksasa mengolah hasil alam daerah tersebut. Ketimpangan pembangunan acapkali terasa justru pada daerah-daerah dengan potensi alam yang kaya raya –dan merata pada daerah dengan potensi alam yang minim. Tentu saja, pada usia Republik Indonesia menginjak ke-74 tahun, ini merupakan permasalahan yang sangat serius. Oleh karena itu, diperlukan formula atau strategi yang tepat dalam rangka pemerataan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa dengan memahami kondisi dan konteks daerah masing-masing.

Lahirnya Undang Undang Desa pada tahun 2014 merupakan kabar gembira bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan. Negara pun dengan cepat bekerja mengimplementasikan peraturan ini dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6/2014 Tentang Desa, Peraturan Pemerintah No. 60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 22/2015. Khusus terkait dengan pengelolaan keuangan desa, juga telah diterbitkan Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Desa kemudian coba dibangun dengan cara dan pendekatan yang berbeda, yang lebih banyak berpihak dan mengutamakan desa dengan masyarakatnya.

Undang Undang Desa tahun 2014 adalah cara baru negara yang menginginkan desa sebagalokomotif utama dalam kehidupan berbangsa ke depannya. Hal ini tercermin dalam beberapa poin utama yang menjadi tujuan disusunnya undang-undang ini, seperti tentang pengakuan dan penghormatan atas desa dengan beragam nama sesuai dengan konteks sosial-budaya pada wilayah yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.

Desa diharapkan mampu mandiri secara ekonomi, sosial, dan politik dengan menempatkan masyarakat pedesaan sebagai aktor utama dalam penentu kebijakan. Negara adalah fasilitator, dan pemerintah desa sebagai ujung tombak geliat pembangunan desa dengan mengedepankan aspek emansipasi dan konsolidasi (Eko, 2014). Dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada desa, diharapkan dapat berimplikasi besar dan positif dalam proyek pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.

Akan tetapi, kelahiran Undang Undang Desa tidak serta merta menyelesaikan persoalan desa. Ada banyak persoalan yang masih menimbulkan tanda tanya dan mendesak guna mendapatkan perhatian serta solusi dari negara. Misal, soal keragaman wilayah pedesaan di seluruh Indonesia, masih minimnya ketersediaan sumber daya manusia di tingkat desa, dan yang paling utama ialah belum semua kepala desa dan perangkat desa betul-betul mengetahui dan memahami cara kerja atau implementasi dari Undang Undang Desa yang sudah hampir berjalan dua tahun ini.

Soal lain, seperti besaran dana yang digelontorkan dalam rangka pembangunan di tingkat pedesaan haruslah disikapi secara matang dan dewasa. Jangan sampai Undang Undang Desa menjadi sia-sia, alih-alih membangun desa sebaliknya justru menjadi bumerang bagi masyarakat desa.Sensus Penduduk tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik mencatat bahwa 50,21% penduduk Indonesia, dari sekitar 237 juta jiwa, bermukim di pedesaan.

Mereka tersebar di sekitar 72.944 desa di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Sejak Undang Undang Desa disahkan, sejumlah daerah kemudian giat mensosialisasikan perangkat hukum ini ke aparat pemerintahan desa. Banyak hal yang mesti dikaji dalam menyukseskan desa dan masyarakatnya.

Oleh karena itu, satu hal utama yang menjadi fokus bagi pemerintah adalah bagaimana mensosialisasikan undang undang tersebut kepada aparatur desa dengan cepat dan tepat sasaran.

Lebih lanjut, keragaman wilayah pedesaan baik itu kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik mengharuskan aparatur desa cermat dan teliti dalam memahami permasalahan di wilayah masing-masing, sehingga pada nantinya bisa membuat kebijakan yang tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan desa.[**]

 

Oleh : Yulion Zalpa, M.A

 Dosen Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com