Uncategorized

Menerawang Pilkada Serentak Sumsel 2020

Foto : istimewa

“PESTA” demokrasi tahun 2019 sudah selesai dan menyisakan banyak pelajaran dan catatan bagi publik di Indonesia, hiruk pikuk kontestasi dan segala macam serba serbinya mulai meredup. Akan tetapi, riuh politik akan segera kembali. Pesta demokrasi akan digelar  pada tahun 2020, yaitu pilkada serentak, tidak terkecuali di Provinsi Sumatera Selatan. Sebanyak tujuh Kabupaten di wilayah Sum-Sel akan menggelar pemilihan kepala daerah yaitu Kabupaten Ogan Ilir (OI), Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Musi Rawas (Mura), Musi Rawas Utara (Muratara), Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Selatan, dan OKU Timur. Salah satu hal penting dan menarik untuk dilihat adalah bagiamana perilaku memilih masyarakat dalam pilkada.

Perilaku pemilih dinamis dan terus bergeser dari masa ke masa disebabkan oleh banyak faktor. Dalam perspektif partai, Di era 50an saat partai politik mempunyai platform dan ideologi yang jelas, pemilih cenderung mudah untuk diidentifikasi akan mengarah kepada partai yang mewakili kepentingan atau mewakili segmen kelompok baik itu agama, suku dan pekerjaan. Pasca reformasi konsekuensi dari euforia kebebasan berserikat melahirkan ledakan besar kemunculan partai politik layaknya bunga sakura yang muncul di musim semi. Banyaknya partai politik ini mengaburkan identitas dan ideologi yang seharusnya dimiliki oleh partai sebagai sarana representasi. Sehingga partai politik tidak lagi menjadi factor dominan pemilih dalam menentukan pilihan.

Menjelang hajatan besar pemilu 2020 mengurai dan memetakan perilaku pemilih merupakan hal yang rumit,  pendekatan sosiologis dan psikologis “kelabakan”untuk menjelaskan perilaku pemilih masyarakat saat ini. Kekerabatan, kesamaan suku dan agama tidak lagi menjadi jaminan prefrensi pemilih saat ini. Dalam sejarah pilkada serentak, money politic juga memberikan pengaruh penting dalam pergeseran perilaku pemilih, sebaran money politic sangat menentukan perilaku pemilih. Menurut data dari Mahija Institute Yogyakarta pada tahun 2019 toleransi pemilih terhadap praktek money politic masih sangat tinggi yaitu di angka 56%.

Dalam perspektif lain, Petahana mempunyai peluang dan tantangan dalam rangka memuluskan langkah mereka untuk terpilih kembali.  Petahana mempunyai modal yang kuat yang berasal dari basis massa yang terbentuk selama menjabat sebelumnya. Masa jabatan di periode sebelumnya berpotensi membentuk Relasi patron-klien lazim kepala daerah yang berkuasa dan kelompok masyarakat sehingga petahana mendapatkan keunggulan tersendiri. Relasi patron klien ini terbentuk dari faktor ekonomi, sosial dan budaya. Perawatan “suara” yang dilakukan petahana juga bisa dilakukan dengan melalui infrastruktur kebijakan programatik yang dimobilisasi sehingga bisa diklaim oleh petahana. Program program populis dan instan (non-subtansial) juga merupakan senjata utama petahana dalam memenangkan kontestasi politik.

Selain itu juga petahana yang mampu membentuk modal sosial di masa jabatan sebelumnya akan lebih mulus jalannya untuk terpilih kembali, modal sosial menjadikan petahana menjadi tokoh yang mendapatkan posisi penting dalam pandangan pemilih.  Disisi lain, kinerja petahana selama menjabat berpotensi besar menjadi “aib”  di kalangan pemilih, ini berlaku untuk petahana yang kurang atau tidak “merawat’ suara.

Yang menjadi catatan penting juga adalah, beberapa segmen pemilih masih dan akan tepengaruh dengan “sisa sisa” atau “warisan” pilpres 2019. Polarisasi kelompok pendukung Capres 01 dan 02 pada pilpres 2019  masih kan terlihat, selain itu juga  Isu dalam pilpres 2019 diprediksi masih akan banyak mempengaruhi pilihan pemilih yang berbasiskan pada poltisasi identitas khususnya Agama. [****]

 

Oleh : Yulion Zalpa*

Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Raden Fatah Palembang &Direktur Mahija Institute

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com