SUMSELGLOBAL

“Slotopia: Negeri di Ujung Jempol Tempat Masa Depan Anak Sekolah Tersesat Tanpa Kompas”

ist

(Feature jenaka menyelami dunia candu judi online bagi pelajar—penuh satir, solusi, dan kritik halus untuk kita semua)

DI UJUNG jempol anak-anak kita, ada negeri ajaib, bukan Hogwarts, bukan Wakanda, dan jelas bukan dalam silabus mata pelajaran IPS. Negeri ini tak punya bendera, tak ada presiden, tapi semua penduduknya hafal kapan ‘jam hoki’ tiba. Namanya? Slotopia. Sebuah negeri digital yang lebih ramai dari kantin pas istirahat dan lebih menggoda daripada promo boba seribu dua.

Slotopia ini bukan khayalan, ia sembunyi di balik ikon aplikasi yang disamarkan jadi “Game Happy Fruit” atau “Puzzle Seru 77”, padahal isinya lebih serem dari soal Matematika Bab Aljabar. Di sana, anak-anak kita berubah jadi pemain saham versi receh modal kuota, harapan palsu, dan sedikit keberanian nekat buat klik tombol “SPIN” yang katanya sih, “sekali klik bisa beli motor!”

Negeri ini sibuk, meriah, dan glamor, setiap harinya, tombol SPIN ditekan lebih sering dari tombol bel rumah saat Lebaran. Kalau menang, anak-anak jingkrak lebih heboh dari suporter Indonesia pas penalti. Kalau kalah? Ya diem-diem ngutang ke temannya, atau pinjam nama emak buat daftar pinjol ilegal.

Baru-baru ini, Bu Tri Tito Karnavian, Ketua TP PKK Pusat, datang ke Palembang dan bilang “Jangan masuk Slotopia, Nak”. Tapi sepertinya sebagian besar sudah masuk dan malah buka warung di sana. Ada yang jadi warga tetap, ada yang buka lapak referral, dan sisanya nyari “kode promo” kayak detektif nyari petunjuk pembunuhan.

Sebut saja Bejo salah satu siswa SMK mengaku awalnya ia cuma mau nonton prank kucing pura-pura pingsan. Tapi tahu-tahu dia kepencet iklan “Mainkan Game Seru Dapatkan Uang Jajan”. Sejak saat itu, dia resmi masuk Slotopia. Awalnya cuma iseng, “Ah, 10 ribu doang…” Lalu jadi 20 ribu.

Lantas jadi uang buku, lalu jadi uang gas motor, sampai suatu hari dia nekat jual skin Mobile Legend demi “balikin modal”. Ia pun resmi jadi Warga RT 77, Kelurahan Spin City.

Di sana ada Jackpot Mall, tempat orang jual mimpi. Ada Putar Sekali Lagi Park, taman bermain dengan wahana “Hoki Hari Ini”, dan tentu saja kantor pusatnya Gedung Untung-Untungan Nasional, yang tiap hari mengadakan sayembara “Siapa yang mau sengsara duluan?”

Menurut Kominfo, ada 3,2 juta akun judi online aktif di Indonesia, bahkan mirisnya, 35% berasal dari kalangan pelajar. Artinya, kalau satu kelas ada 30 anak, bisa jadi 10 di antaranya punya “jam hoki pribadi”, sementara yang lain masih bingung ngerjain PR Fisika.

Lebih serem lagi, banyak yang nekat pinjam di pinjol ilegal. Anak SMA zaman sekarang bukan cuma bisa install aplikasi, tapi juga bisa daftar pinjaman dengan nama tetangganya. Mungkin sebentar lagi bakal muncul les tambahan “Kursus Cepat Balikin Modal Judol dalam 3 Hari.”

Ngejar ilusi kaya

Di Slotopia, anak-anak jadi petualang digital, tapi bukan cari ilmu, melainkan ngejar ilusi kaya mendadak. Ada yang kerja jadi agen referral, nyebarin link kayak MLM bedanya, kalau gagal, nggak ada seminar motivasi, cuma notifikasi “Saldo Anda 0, coba lagi besok jam 3 pagi.”

Ada yang bikin konten TikTok ngajarin cara menang slot “Coba spin sambil ngupil, biasanya hoki”

“Gue menang 100 ribu cuma modal doa Bismillah dan kopi hitam”

Padahal, seperti pepatah rakyat Slotopia “Yang menang tetap bandar, yang kalah tetap masa depan”

Lantas, bagaimana keluar dari Slotopia?
Pertama, kita harus sadar ini bukan negeri yang bisa ditutup pakai pengumuman sekolah. Pintu keluar Slotopia bukan di menu ‘logout’, tapi ada di kehadiran orang tua dan guru yang waras.

Sekolah bisa bikin Unit Rehabilitasi Digital, isinya konselor yang ngerti cara ngobrol tanpa ngegas. Guru BK bukan cuma tanya, “Kenapa nilai kamu turun?”, tapi juga, “Kamu kalah berapa kali spin, Nak?”

PKK bisa bikin Lomba TikTok Anti Slot, judulnya “Mama, Aku Kalah Lagi di Spin Kesekian” Pemerintah? Jangan cuma blokir domain, tapi turun ke lapangan digital. Bikin konten yang lucu, menarik, dan mampu bikin anak-anak mikir, “Kayaknya main edukasi lebih asik deh daripada slot”

Dan para seleb TikTok?, kalau bisa viral karena lipsync lagu patah hati, harusnya bisa dong bantu viralin Gerakan Jempol Sehat.

Marshall McLuhan, ia bukan tukang sayur, bukan juga guru les privat IPA, tapi filsuf komunikasi asal Kanada yang terkenal karena teori-teorinya soal media. Dalam bukunya Understanding Media: The Extensions of Man (1964), ia bilang “The medium is the message”

Artinya? Bukan cuma isi HP yang bahaya, tapi HP itu sendiri udah kayak koper Doraemon, begitu dibuka, bisa keluar dunia alternatif. Dulu HP dipakai buat belajar, sekarang malah jadi pintu masuk ke dunia judi online, dunia paralel bernama Slotopia.

Dalam konteks Slotopia, kita harus repot, ribet ngasih pendampingan, repot ngawasin, dan sesekali ikutan belajar game biar ngerti dunia mereka. Karena kalau kita santai, bisa-bisa anak kita udah ganti kewarganegaraan digital bukan Indonesia, tapi Negara Pecundang Virtual.

Slotopia memang tampak meriah, tapi itu seperti rumah hantu di pasar malam, masuknya seru, keluarnya nangis. Tapi belum terlambat. Asal kita mau narik tangan mereka, bukan cuma narik kuota.

Mari bangun negeri tandingan namanya harus lebih keren mudah dihafal di otak anak-anak, namanya Eduktopia. Tempat anak-anak bisa gagal, tapi nggak dimarahi, bisa main tapi tetap belajar, dan bisa senang tanpa ngutang. Di setiap HP, kita kasih “Kompas Moral Digital” alat yang bunyi tiap kali tangan anak mau buka aplikasi aneh. Bunyinya kayak Google Translate yang bilang “Yakin, Nak? Masa depanmu bukan di sini”.

Seperti tekad dan niat si Bejo tadi, akhirnya menutup aplikasi slot untuk selamanya, aku benci….!!!
“Memang hidup ini keras, tapi masa depan lebih empuk kalau nggak disiksa tombol spin”[***]

Terpopuler

To Top