Seni & Budaya

Cerpen Rizqi Turama: Memori Kencana Ungu

Saat melihat bunga di antara segerumbul semak di samping rumah baru kami, ingatanku langsung bergulir menuju sosok seorang sahabat lama. Aku dan dia dulu sering kali mencari bunga itu, bukan karena keindahannya, melainkan karena buah buruk rupanya yang kami sebut sebagai bom air.
Bom air yang matang berwarna hitam, bentuknya lonjong dengan panjang sekitar satu hingga dua ruas jari, dan diameter sebesar tahi lalat ukuran sedang. Yang paling istimewa dari bom air adalah kemampuannya ‘meledak’ bila direndam. Aku dan Aji, sahabatku itu, sering menyusuri tepian jalan sepulang sekolah dan memetik bom air sepuasnya.
Tumbuhan itu liar dan tak pernah benar-benar diperhatikan kecuali oleh anak-anak kurang kerjaan seperti kami. Kubilang kurang kerjaan bukan karena hanya kami yang suka memainkan bom air, tapi kami benar-benar memainkannya sepuasnya. Ketika kubilang sepuasnya, itu berarti tidak kurang dari seratus biji bom air matang yang kami petik.
Agar lebih maksimal, butiran-butiran bom air itu kami masukkan ke sebuah botol yang setengahnya telah berisi air. Tak perlu waktu lama sampai akhirnya bunyi “tak tak tak.. pletak.. tak pletak..” terdengar, pertanda bom air telah meledak. Ratusan kali.
Bagi sebagian orang, mungkin hal itu biasa saja, tapi bagi kami yang tak punya cukup uang untuk beli mainan dan hanya bisa mencari mercon di bulan puasa, bunyi bom air meledak adalah sebuah kesenangan luar biasa.
Demi kenangan yang melintas itulah, secara refleks aku membungkuk saat melihat bunga yang kemudian kuketahui bernama kencana ungu itu. Setelah melihat dan mencari dengan saksama, akhirnya kutemukan tak kurang dari lima belas biji bom air yang siap tempur. Kupanggil anakku yang masih berusia dua tahun. Wajahnya tampak bingung saat kutunjukkan benda-benda kecil itu. Ia tak mengerti. Benda itu tak pernah ia temukan di dalam channel youtube kesukaannya. Namun ketika kumasukkan semuanya ke air dan ledakan demi ledakan terjadi, ia tak berhenti tertawa.
Tanpa kusadari, aku melihat diriku sendiri saat masih kecil dulu.
***

Aku hanya bisa melongo saat istriku menjulurkan ponsel dan menunjukkan harga sebungkus buah ciplukan. Mahal sekali. Hampir setengah juta untuk setengah kilogramnya.
“Siapa yang mau beli?” kataku tak bisa menahan diri.
Istriku hanya mengangkat kedua bahu sebelum menjawab, “Kalau ada yang jual, berarti ada yang beli.”
“Buah itu tinggal ambil saja. Banyak.”
“Banyak itu di zaman kita dulu. Ada kau lihat buah itu sekarang?”
Aku terdiam dan seolah baru sadar. Mungkin memang penyakit manusia untuk selalu menganggap zaman membeku di dalam ingatannya. Padahal dunia terus berubah.
Dulu memang ciplukan jadi buah liar, tumbuh nyaris di sembarang tempat. Aku dan Aji juga sering memetik ciplukan, sama seringnya dengan memetik bom air. Bedanya, ciplukan untuk dimakan sementara bom air untuk dimainkan.
Mengingat itu, aku jadi teringat juga dengan kencana ungu di sebelah rumah. Sehari setelah anak kami tertawa-tawa melihat lima belas biji bom air meledak, aku ingin mengulanginya lagi. Seakan ingin mengatakan, “Ini baru namanya mainan.”
Namun rupanya istriku begitu rajin mendedah semak-semak yang ia anggap gulma belaka dengan arit. Sepulang kerja, kulihat segerumbul semak di sebelah rumah sudah terpangkas. Termasuk kencana ungu, tumpas dihantam. “Tak enak dipandang,” ujar istriku waktu itu.
Aku hanya bisa termenung. Harapan untuk memperlihatkan lagi bom air meledak pada si kecil pupus sudah. Di kompleks ini memang tidak ada lagi tempat untuk tanaman liar. Semua harus tertata. Semua harus tumbuh sesuai rencana. Segerumbul semak pun bisa dianggap sesuatu yang mengganggu pemandangan.
Sore itu, kuperhatikan lingkungan sekitar. Sebelum jadi perumahan, aku yakin tempat ini bisa menyimpan ratusan pohon kencana ungu, ciplukan, atau tumbuhan-tumbuhan liar lain. Tapi, apa boleh buat. Atap untuk berteduh tentu lebih penting ketimbang ledakan-ledakan kecil untuk bermain atau kudapan tak bergengsi.
Istriku memecah lamunan dan kembali membahas buah ciplukan dengan berujar, “Kalau harganya sudah ratusan ribu begini, kemungkinan besar sekarang sudah ada perkebunan ciplukan.”
“Kira-kira nanti bakal ada perkebunan bom air tidak, ya?”
Istriku diam. Sepertinya malas menjawab.
***
Dua bulan kemudian, Aji menghubungiku. Tugas kantor membuatnya harus kembali ke tanah kelahiran selama empat hari. Di sela-sela tugas itu, ia berniat mengunjungiku. Sekadar kembali bertukar cerita setelah sepuluh tahun tak bersua, katanya.
Seperti dugaan, begitu sampai di rumah kami, ia terkejut. Kencana ungu telah berjejer rapi. Subur. Dengan bunga-bunga besar dan menawan. Menjadi penghias halaman rumah. Mata Aji sampai membesar melihat tumbuhan-tumbuhan dari masa lalu itu.
Sambil menikmati kopi di teras, kuceritakan bahwa istrikulah yang telah menanamnya.
“Menanamnya?” Aji tak kuasa menahan heran dan hampir kelepasan tertawa, “Ada orang yang dengan sengaja menanam bom air?”
“Bukan hanya itu.”
Lalu kulanjutkan cerita bahwa istriku membeli bibit tanaman kencana ungu ‘super’ di sebuah toko khusus pertanian yang ada di kota ini. Bibit itu dibelinya lantaran anak kami tak berhenti merengek ingin kembali bermain bom air. Ia – istriku itu – sempat merutuki aku yang telah memperkenalkan mainan tak wajar pada anak kami. Ia juga sempat berkeliling mencari tanaman itu untuk meredakan kerewelan si kecil.
Namun tanaman itu memang sudah sangat sulit untuk didapatkan di kawasan perumahan semi-elite sepert ini. Sembari berharap anak kami berhenti meminta bom air – yang waktu itu sudah lebih dari dua minggu nonstop ia pinta – istriku secara putus asa datang ke toko pertanian paling terkenal di kota.
Begitu mendapatkannya, istriku mengeluh dengan harga bibitnya. “Sama dengan harga kuota internet lima giga,” cerita istriku. Beruntung, ternyata bukan hanya istriku, tapi anak kami juga ikut-ikutan merawat tanaman kencana ungu itu agar cepat tumbuh.
“Dan beginilah hasilnya,” pungkasku.
Aji menatap sekali lagi ke barisan kencana ungu di halaman rumah. Kata ‘super’ yang diberikan pada tanaman ini benar-benar memiliki alasan. Bunganya tumbuh besar, batang-batangnya pun tampak lebih kokoh. Dan yang paling penting, tanaman ini tampak lebih ramah di mata karena bisa disusun bagaikan bunga-bunga dalam pot. Betul-betul seperti tanaman hias. Hilang sama sekali kesan bunga semak seperti yang dulu melekat padanya.
Aji melihat tanaman-tanaman itu begitu lekat. Dari tatapannya aku mengerti. Ia juga merasakan yang sejak semula kurasakan. Tanaman ini, meskipun mirip, sudah sama sekali berbeda dari tanaman yang kami kenal sewaktu kecil dulu. Kami menghela napas panjang bersamaan.
Ada hening sesaat sebelum obrolan beralih pada ciplukan. Rupanya Aji juga tahu bahwa tanaman itu sudah jadi barang mahal. Kami senyum-senyum sendiri.
“Kuharap kau mengerti,” ujar Aji kemudian, “bahwa aku ke sini sebenarnya untuk menagih utang.”
Entah bagaimana ekspresiku saat mendengar kalimatnya.
“Kau pasti ingat bahwa akulah yang hampir selalu berhasil menemukan ciplukan semasa kecil dulu. Matamu tak cukup jeli. Tanpaku kau tak akan bisa menikmati begitu banyak buah ciplukan. Kau tahu sudah berapa kilo yang sudah kau makan? Kau tahu berapa harga ciplukan sekarang?”
Tawanya pecah. Ia benar-benar berhasil mengerjaiku. Tawa kami baru berhenti ketika anakku muncul dari dalam rumah – tak peduli pada kehadiranku ataupun Aji. Meninggalkan ponsel yang masih memutar video dari channel youtube kesukaannya. Sepertinya ia bosan dengan video-video. Bocah itu fokus, berjalan ke arah barisan kencana ungu. Memilih dan melihat dengan saksama. Mengumpulkan butiran-butiran bom air yang telah matang.
Setelah itu, ia berjalan ke arah wadah air yang memang sudah disiapkan istriku. Bom air meledak satu per satu. Anakku tertawa lepas, seperti saat pertama kali melihat bom air meledak dan mengeluarkan bunyi, “tak tak tak pletak pletak tak..”
Aji menoleh padaku dan aku mengangguk.
Kami sedang menyaksikan diri kami sendiri di masa kecil dulu.
***

ART.
Banyuasin, 15 Mei 2020.
Rizqi Turama, lahir di Palembang, 4 April 1990. Dosen di Universitas Sriwijaya. Salah satu cerpenis pilihan Kompas tahun 2018 dan 2019. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang. Ia juga anggota komite sastra Dewan Kesenian Palembang. Pembaca bisa menyapanya di IG dengan akun @rizqiturama.

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com