Politik

Terkait Sistem Pemilu, Sekjen DPP Hanura : MK Jangan Blunder Lagi

Foto : istimewa

MAHKAMAH Konstitusi (MK) jangan membuat blunder lagi terkait  MK yang menyatakan pemilihan umum tetap serentak.

“Kami nilai ini blunder kedua bagi lembaga tinggi negara tersebut,”kata Sekjen DPP Hanura Gede Pasek Suardika, saat membuka Musda ke III Hanura Sumsel di Palembang.

Menurutnya dengan pelaksanaan Pemilu serentak 2019 lalu yang telah menelan ratusan korban, tak menutup kemungkinan akan kembali terulang pada 2024 lalu, sehingga MK dianggap tidak memiliki rasa kemanusiaan.

“Menurut saya blunder yang ke dua dilakukan MK, dimana kemarin terbukti 600- an lebih korban pelaksana pemilu yang luar biasa. Kalau ada  rasa kemanusian dan asas politik, tidak dilakukan pola sekarang,” katanya lagi.

Mantan anggota DPR dan DPD RI ini menambahkan dengan kembali menggabungkan dengan alasan sistem presidensil, hal itu dirasa kurang tepat juga. Sebab rumpun legislatif dan eksekutif itu terpisah, serta sistemnya berbeda.

“Mereka (MK) juga belum pengalaman sebagai penyelenggara dan peserta, sehingga belum mengerti soal pemilu, hanya teori ketatanegaraan saja,” bebernya.

Gede mengungkapkan, harusnya pelaksanaan pemilu di Indonesia yang paling pas pelaksanaan Pemilu Legislatif serentak dan pemilu eksekutif serentak. Namun tidak dilaksanakan menjadi satu, meski ada 6 pilihan (desain) itu, yang artinya saat ini belum ada  desain yang pas dipikirakan MK.

“Jadi kembalikan saja kepada pembuat UU saja (Pemerintah dan DPR), pilihan normanya bagimana. Kami sarankan harusnya dikembalikan ke UU, nanti putusan MK dibawah ke eksekutif dan legislatif, dan kami minta rumpun legislatif dan eksekutif tetap terpisah,  jangan digabungkan. Kasihan penyelenggara dan peserta pemilu, mereka juga tidak ngerti (MK), belum pernah jadi penyelenggara maupun peserta. Coba suruh buat parpol sanggup tidak,” ungkap Gede.

Sekedar informasi, majelis hakim MK memutuskan, pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Menurutnya majelis hakim MK, keserentakan pemilihan umum yang diatur dalam UU Pemilu dan UU Pilkada dimaknai sebagai pemilihan umum untuk memilih anggota perwakilan rakyat di tingkat pusat, yaitu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.

Hal itu disampaikan majelis hakim saat sidang putusan uji materi tentang keserentakan pemilu yang diatur dalam Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 Ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dimohonkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

“Pelaksanaan pemilihan umum yang konstitusional adalah tidak lagi dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden,” kata Hakim Saldi Isra saat membacakan putusan dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).

Majelis hakim MK menegaskan bahwa penggabungan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD bertujuan menguatkan sistem presidensial di pemerintahan Indonesia.

Saldi mengatakan, dengan begitu, penyelenggaraan pemilu melalui cara menyerentakkan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan pemilu presiden dan wakil presiden masih terbuka.

Namun demikian, hal ini hanya dapat dilaksanakan sepanjang tak mengubah keserentakan pemilihan DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.[***]

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com