Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Aku, Salamku, dan Salam Agamamu

Belakangan ini kita sering sekali mendengar kalimat Moderasi Beragama, bahkan gaungnya sudah sampai ke pelosok desa, di semua sektor khususnya di bawah naungan Kementerian Agama sudah fasih sekali dengan slogan moderasi beragama. Sering sekali kita lihat dari televisi atau juga secara langsung  kebiasaan para pejabat Muslim mengucapkan salam pembuka semua agama dalam acara resmi maupun acara-acara lainnya. Tentunya hal ini menjadi polemik dan perdebatan tersendiri dalam masyarakat khususnya khususnya umat Islam. Karena banyak orang yang meyakini kalau kita melakukan salam lintas agama dinilai syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama penganutnya. Karena salam merupakan doa yang tidak dapat terpisahkan dari ibadah yang merujuk kepada keyakinan agama masing-masing.

Salam lintas agama yang dimaksud adalah ucapan salam yang berasal dari agama-agama di Indonesia, seperti assalamua’alaikum warahmatullahi wabarokatuh. (Islam), salam sejahtera bagi kita semua (Kristen), Shalom (Katolik), Om Swastiastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha) dan Salam Kebajikan (Konghucu). Salam lintas agama ini baru popular belakangan di era reformasi. Dimaksudkan sebagai salam penghormatan kepada seluruh pemeluk agama, sekaligus sebagai simbol kerukunan dan toleransi beragama. Dalam pandangan Islam, salam adalah penghormatan sekaligus doa keselamatan dan kebaikan. Islam adalah agama kedamaian yang menganjurkan umatnya untuk menebar kedamaian (ifsyaa’u al-salaam) kepada siapa pun, muslim dan non muslim. Hubungan dengan non-muslim dibangun di atas prinsip kebaikan dan keadilan. Karena prinsipnya selama tidak berbenturan dengan akidah tentunya itu adalah hal yang lumrah karena Indonesia sendiri adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak suku, ras, bahasa dan agama. Pastinya tidak ada larangan berlaku baik dan adil terhadap mereka. Namun, melihat persoalan ini tentunya harus ada kriteria dan batasan dalam implementasi toleransi agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Undang-undang menjamin setiap warganegara untuk menjalankan agamanya sesuai keyakinan masing-masing. Kemudian juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga terdepan memiliki tanggungjawab moril untuk menegakkan kemurnian ajaran agama. Persoalannya, bagaimana menengahi ketegangan antara keinginan untuk setia pada ajaran agama masing-masing dengan keinginan untuk ramah terhadap pemeluk agama lain dalam hidup bernegara.

Bila ditilik dari redaksinya, tampaknya hanya dua dari lima salam pembuka agama yang dinilai berpotensi ‘merusak’ akidah seorang muslim bila diucapkan, yaitu salam Hindu (Om Swastiastu) dan salam Buddha (Namo Buddhaya). Tiga salam lainnya; salam Katolik (Shalom), salam Kristen (salam sejahtera bagi kita semua) dan salam Khonghucu (salam kebajikan), tidak membawa nama Tuhan. Makna dan maksudnya kurang lebih sama dengan assalamu’alaikum. Hanya beda redaksi. Ikhtilaafun fil lafzhi, ittifaaqun fil ma’naa. (Keduanya merupakan dua kata yang berbeda secara pelapalan, tetapi sama secara makna).

Dalam tradisi Hindu, kata Om simbol atau aksara suci untuk Tuhan. Dan arti dari salam ini adalah ‘semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi’. Demikian pula dengan Namo Buddhaya yang artinya terpujilah Buddha. Memang begitulah faktanya. Disinilah letak masalah salam lintas agama yang dipersoalkan banyak pihak, yang tentunya memunculkan banyak perdebatan menanggapi persoalan ini. Bersalam kepada non-Muslim dan mengucapkan salam non-Muslim adalah masalah khilafiah. Sebagian kalangan melarangnya dan sebagian kalangan lainnya membolehkan. Karena salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan. Atas dasar itu, doa dan penghormatan kepada non-muslim bisa menggunakan kata salam, dan bisa juga menggunakan redaksi lain sesuai adat dan kebiasaan masyarakat, selama tidak mengandung kalimat atau makna yang diharamkan. Tapi disisi lain mengucapkan salam lintas agama juga masih menjadi polemik tersendiri di sebagian kalangan, sebab disitu terdapat nama Tuhan dalam keyakinan agama lain. Apakah  itu berarti kita meminta kepada Tuhan mereka? Tentu kembali lagi kepada niat saat berucap. Yang pasti semua agama mayakini Tuhan Yang Maha Esa. Zat yang Wajibul-wujud (Maha Ada). Nama, sifat dan cara meyakininya bisa berbeda. Selama merujuk ke situ, maka tak mengapa berbeda nama, tapi tujuan sama. Apalagi di Indonesia kita mempunyai semboyan Bhinekka Tunggal Ika yang menjadi motto untuk persatuan semua lapisan masyarakat Indonesia.

Terkait salam lintas agama, kalau pendekatannya teologis memang pelik. Tetapi dengan pendekatan sosiologis, kita akan mudah menemukan jalan tengah. Apalagi dalam kehidupan bersosial di Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk. Masing-masing pemeluk agama berhak atas klaim kebenaran agamanya, tanpa menafikan eksistensi lainnya. Setiap pemeluk agama harus setia pada kebenaran tunggal yang diyakininya. Selain saling mendoa dan menebar damai, salam lintas agama yang sering diucap pejabat hanyalah sebuah tegur sapa dan bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama sebagai warga bangsa Indonesia yang telah berkomitmen untuk hidup rukun bersama. Dan tidak sampai pada masalah keyakinan. Terlalu jauh bila dimaknai sebagai pangakuan dan permohonan doa kepada Tuhan selain Allah yang manyalahi akidah. Tetapi inilah polemik yang sering kali terjadi di berbagai kalangan masyarakat bahkan terkadang berakhir dengan debat kusir.

Menyikapi persoalan ini Majelis Ulama Indonesia juga pernah menghimbau kepada seluruh masyarakat  bagi imannya akan terganggu bila ia mengucap salam lintas agama. Dan tidak ada kepentingan dengan salam tersebut. Sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan mengucapkannya. Namun, jangan juga larang atau ragukan iman orang yang karena tuntutan hubungan pergaulan harus berucap. Dalam situasi seperti ini, kita harus berupaya menemukan jalan tengah. Konsep moderasi beragama seperti inilah yang harus kita tegakkan dalam beragama. Intinya, dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara berIslam dan bernegara bisa saling bersinergi. Demkian, wallahu a’lam bis showab ~

 

Penulis : Putri Citra Hati, M.Sos

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UIN Raden Fatah Palembang.

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com