KAMPUS itu sebenarnya kayak dapur besar, kok bisa!, alasannya, karena ada bahan mentah (mahasiswa), ada koki (dosen), ada resep (kurikulum), dan ada kompor (fasilitas), jadi kalau semua pas, keluarlah menu enak, seperti generasi halal yang siap saji untuk bangsa. Nah, tinggal jangan lupa satu bumbu rahasia semangat cinta produk halal.
Kenapa penting?, karena halal hari ini bukan sekadar urusan label di bungkus keripik atau stiker tempel di pintu warung. Halal itu sudah jadi industri global yang nilainya triliunan, bahkan jadi standar kualitas, maka percayalah, mahasiswa dan kampus itu punya peran vital di dalamnya.
Serius deh, kalau kampus cuma jadi pabrik yang tiap tahun ngeluarin ribuan sarjana yang bingung kerja di mana, itu ibarat masak nasi goreng tapi lupa masukin nasi, apalah artinya.
Salah satunya Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah Palembang sudah memberi contoh yang keren, bahkan mereka punya yang namanya Lembaga Penjamin Halal [LPH], dan siap memfasilitasi sertifikasi halal.
Kata Ketua LPH, Dr. RA. Hoetary Tirta Amalia, “Kami berusaha mempermudah pelaku usaha. SOP sertifikasi sudah kami buat sederhana, bisa diakses online, supaya masyarakat tidak bingung lagi”. Artinya, kampus bukan sekadar tempat kuliah dan sidang skripsi yang penuh drama, tapi juga pusat edukasi halal.
Dalam kunjungan resesnya ke UIN kemarin, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, H. Ansory Siregar juga bilang “Halal bukan hanya label, tetapi jaminan kualitas dan kepercayaan. Kita ingin sertifikasi halal Indonesia menjadi halal, sehat, dan kuat, sehingga mampu bersaing di tingkat global”.
Nah lho, sudah jelas DPR maunya ngebut, jadi kalau kampus diem aja, bisa ketinggalan kereta halal, padahal ini peluang besar buat mahasiswa ikut ambil peran di dalamnya.
“Duta halal”
Coba bikin program seru, Duta Halal Kampus, jadi bukan cuma ada Duta Wisata atau Duta Lingkungan, tapi juga mahasiswa kece yang bisa blusukan ke warung dan bilang, “Bu, ini bumbu penyedapnya sudah ada sertifikat halalnya belum?”.
Lucunya, mahasiswa itu biasanya nyambung banget sama UMKM, sama-sama punya masalah klasik, modal tipis, jadi kalau UMKM curhat, “Biaya sertifikasi halal mahal, Nak,” mahasiswa bisa jawab, “Tenang, bu… saya juga tiap akhir bulan cuma makan mie instan rasa ayam bawang,” empati level maksimal!, he..he…he
Oleh sebab itu, siapa tahu, dari mahasiswa inilah muncul inovasi aplikasi sederhana Halal Checker by Gen Z. Tinggal scan barcode, keluar status halal atau nggak, kalau belum halal, muncul notifikasi “Astagfirullah, segera urus sertifikasi, ya!”.
Kalau DPR bilang perlu kurikulum cinta halal, jangan bayangin kelasnya penuh hafalan bikin mata merem alias ngantuk, bikin saja mata kuliah kekinian, misalnya “Manajemen Daging Ayam Syar’i”, prakteknya bukan sekadar potong ayam, tapi juga belajar cara benar biar potongannya rapi, nggak kayak eyeliner gagal.
Selanjutnya “Halalpreneurship”, bikin bisnis halal mulai dari sate tempe, kopi literan, sampai startup aplikasi halal.
Dan terakhir “Etika Makan Halal”, kelas praktik di kantin, kalau ada mahasiswa ketahuan jajan burger abal-abal, langsung remedial.
Dengan cara begini setidaknya mahasiswa belajar halal bukan sekadar teori, namun jadi lifestyle, mereka bangga jadi bagian dari peradaban halal, bukan cuma ikut tren.
Jadi kesimpulan kalau kampus itu serius ambil perananan, tentu kedepannya jangan kaget, Palembang bukan cuma terkenal karena pempeknya, tapi juga karena Halal Hub Sumatera, karena mahasiswa UIN bisa jadi pionir, dosen juga jadi mentor, masyarakat jadi penerima manfaat.
Oleh karena itu, halal itu bukan sekadar stiker tempelan, halal adalah jaminan kualitas, kepercayaan, bahkan gaya hidup, dan kampus adalah tempat paling pas untuk menyalakan semangat ini.
Ingat pepatah lama bilang “Ilmu tanpa amal bagaikan kompor tanpa gas, industri tanpa halal bagaikan dapur tanpa bumbu, kampus tanpa peran halal bagaikan pempek tanpa cuko hambar, tak ada gregetnya”.[***]