Pemerintahan

Perubahan Iklim, Ilmu Titen yang Biasa Dijadikan Pengangan Nelayan “Ambyar”, Begini Penjelasan BMKG

ril/ist

KEPALA Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan ilmu titen yang kerap menjadi pegangan nelayan “ambyar” akibat perubahan iklim. Alhasil, tidak jarang nelayan harus pulang dengan tangan kosong karena hasil melaut tidak maksimal. Bahkan, tidak jarang nelayan mengalami kecelakaan dan menjadi korban akibat badai dan gelombang tinggi.

“Ilmu Titen sudah sangat sulit untuk dijadikan acuan. Cuaca dan iklim saat ini begitu sangat dinamis dan sukar untuk ditebak,” ungkap Dwikorita Karnawati saat membuka Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, belum lama ini.

Dwikorita mengatakan, perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, termasuk ekosistem wilayah pesisir.

Dicontohkan Dwikorita, saat banjir besar yang menyergap Jabodetabek di penghujung tahun 2019 hingga awal tahun 2020 lalu. Berdasarkan prakiraan yang terkonfirmasi dari analisis BMKG, kejadian tersebut disebabkan oleh seruak udara dingin (cold surge) dari Tibet ke Hong Kong yang selanjutnya masuk ke wilayah Jabodetabek. Cold surge sendiri merupakan seruakan yang mengandung massa udara dingin dari daratan Asia ke arah selatan.

Artinya, kata dia, perubahan iklim inilah yang kemudian menjadi biang keladi cuaca ekstrem yang kerap menghantam Indonesia. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es. Meski bukan berasal dari Indonesia, lanjut dia, namun dampaknya bisa dirasakan oleh Indonesia.

“Perubahan iklim sendiri adalah peristiwa global, namun dampaknya dirasakan secara regional ataupun lokal. Tidak ada batasan teritorial negara,” imbuhnya.

Dwikorita menyebut, kondisi inilah yang memacu BMKG untuk menggencarkan pelaksanaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di daerah-daerah pesisir pantai. Melalui SLCN yang digelar, BMKG ingin nelayan dapat melaut, mendapatkan hasil dan pulang dengan selamat.

SLCN sendiri, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan nelayan Indonesia dalam mengakses, membaca, menindaklanjuti dan mendiseminasikan informasi cuaca, iklim maritim serta informasi prakiraan lokasi ikan dari sumber yang terpercaya. Selain itu, SLCN juga menjadi bagian dari ikhtiar BMKG mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

“Kegiatan SLCN ini menggunakan pembelajaran interaktif, yaitu metode belajar dan praktik. Materi pokok yang akan diberikan yaitu pengenalan produk dan memahami informasi cuaca dan iklim maritim, cara membaca informasi maritim dan pengenalan alat-alat observasi,” imbuhnya.

Perkenalkan SIRITA dan EWS Radio Broadcaster

Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga turut memperkenalkan inovasi teknologi terbaru yang dirilis BMKG untuk menunjang sistem peringatan dini gempa dan tsunami. Inovasi tersebut bernama SIRITA dan EWS Radio Broadcaster yang sengaja dihadirkan sebagai respon BMKG atas meningkatnya aktivitas kegempaan di Indonesia.

EWS Radio Broadcaster merupakan moda diseminasi berbasis suara guna mengantisipasi kerusakan jaringan komunikasi selular pasca gempa merusak. System ini memanfaatkan jaringan komunikasi berbasis radio yang banyak digunakan oleh pegiat kebencanaan dan komunitas radio berbasis masyarakat seperti RAPI dan ORARI sebagai hub untuk menyebarkan informasi yang cepat, akurat serta ramah terhadap kelompok masyarakat rentan yang memiliki keterbatasan menelaah pesan berbasis teks. Sedangkan SIRITA adalah aplikasi sirine tsunami berbasis android yang dibuat untuk memudahkan Pemerintah Daerah menyampaikan perintah evakuasi kepada masyarakat sebagai bentuk peringatan dini.

“Inovasi ini menjadi terobosan ditengah kendala akan banyaknya sirine tsunami yang mati akibat usia pakai atau yang rumahnya jauh dari sirine yang terpasang. Handphone akan mengeluarkan suara kencang layaknya sirine, sehingga peringatan dininya bersifat sangat personal,” paparnya.

Sementara itu, anggota DPR RI Komisi V Sri Rahayu menyambut baik pelaksanaan SLCN di Kabupaten Trenggalek. Menurutnya, SLCN menjadi semacam pencerah bagi para nelayan karena nelayan tidak hanya sekedar diajarkan untuk membaca data dan informasi cuaca, namun juga ditunjukkan wilayah mana-mana saja yang menjadi tempat berkumpulnya ikan.

Senada Wakil Bupati Trengalek, Syah Muhammad Natanegara mengatakan dengan adanya SLCN maka para nelayan baik tangkap maupun budidaya dapat memahami informasi yang disampaikan BMKG. Hal ini berguna untuk keselamatan para nelayan saat melakukan kegiatan di tengah laut.

“Informasi cuaca dan iklim bisa menjadi acuan mereka (nelayan) untuk melaksanakan kegiatan,” imbuhnya.

Dalam acara tersebut hadir pula dari jajaran BMKG, Kepala Pusat Meteorologi Maritim, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami, Kepala Balai Besar BMKG Wilayah 3, Koordinator BMKG Propinsi Jawa Timur dan para Kepala Stasiun BMKG di Wilayah Jawa Timur, Jateng dan DIY. Semua bersama BPBD Kabupaten dan Tim Reaksi Cepat melakukan Susur dan Pengecekan Jalur Evakuasi Tsunami dari tepi Pantai Sumbreng menuju Tempat Evakuasi. [***]

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com