DI DUNIA Politik Internasional, negara-negara unjuk kekuatan pakai senjata mahal, ada yang kirim kapal induk sebesar lapangan bola ke laut tetangga. Ada yang pamer rudal antarbenua kayak mainan baru. Ada pula yang parade tank dan pasukan sambil dadah-dadah ke kamera.
Tapi Indonesia beda, bro…
Tahun 2025 ini, negara kita menyerang bukan pakai meriam, tapi pakai karung.
Bukan karung sembarangan karung isi beras, sepuluh kilo, pulen, dan wangi!. Bisa dimasak, digoreng, dijadikan nasi uduk, atau kalau mepet, cukup dikukus sambil berdoa.
Musuhnya siapa?
Bukan negara adidaya, tapi dua musuh dalam negeri yang licin kayak belut disabunin kemiskinan dan inflasi.
Dan ini bukan fiksi, sebaliknya memang kejadian nyata di Palembang, Sumatera Selatan, tanah kelahiran pempek, cuko, dan emak-emak yang bisa masak sambil mantau drama Korea.
Biasanya, kalau dengar kata “operasi”, yang terbayang adalah tentara, sandi rahasia, dan peta di ruang komando. Tapi kali ini, operasi negara lebih sederhana dan langsung kena sasaran, salah satunya
Operasi karung putih, targetnya setiap keluarga penerima manfaat dapat jatah sepuluh kilo beras.
Strateginya langsung kirim ke dapur rakyat, tanpa basa-basi, tanpa seminar.
Pemimpinnya? bukan jenderal bintang tiga, tapi Bu Kartika Sandra Dewi, anggota Komisi IV DPR RI. Gayanya kayak MC kondangan senior lugas, jelas, dan kadang nyelip pantun
“Sisa dua titik lagi, keramasan dan Karya Jaya, habis itu, Palembang tuntas!”
Tepuk tangan rakyat pun membahana, bukan karena Bu Kartika pakai blazer modis, tapi karena sepuluh kilo beras di akhir bulan itu nilainya setara tiket liburan ke Pagaralam tanpa mikirin utang warung.
Rakyat butuh beras, strategi negara, yakni jalan satu-satuya gempur harga pakai nasi, bukan pakai wacana lagi, dulu, yang kuasai tambang disebut raja.
Sekarang? Yang kuasai harga beras bisa jadi pemimpin spiritual grup WhatsApp keluarga.
Karena satu karung beras bisa menyelamatkan suasana rumah tangga lebih ampuh dari terapi pernikahan.
Kalau harga naik, emosi emak-emak bisa mendidih lebih cepat dari air rebusan mie instan.
Kalau turun? Status Facebook penuh kalimat syukur, lengkap dengan emot love, bunga, dan “Alhamdulillah, ya Allah…”
Makanya, negara turun tangan. Bulog berubah jadi pasukan khusus.
Bukan bawa senjata, tapi bawa logistik dan semangat karbohidrat.
“Harga naik? Kita turunkan beras!”
“Pasar goyang? Kita kirim karung!”
Laksana pepatah baru “Daripada panjang janji, lebih baik panjang takaran”
Karung-Karung harapan, sudah 68.000 kepala keluarga di Palembang menerima bantuan.
Tinggal dua titik terakhir Keramasan dan Karya Jaya.
Ibarat game strategi, ini dua level terakhir sebelum dapur-dapur rakyat bisa mengaktifkan jurus andalan “Nasi Matang, Emosi Tenang”.
Tapi jangan salah, bro berat karung bukan cuma di angka timbangan, tapi di beban tanggung jawab.
Karena karung-karung itu berisi, harapan ibu rumah tangga agar dapur tetap mengepul walau minyak goreng naik-turun kayak sinyal HP.
Selain itu, mimpi anak-anak yang butuh sarapan sebelum apel pagi dan martabat mertua yang ogah makan nasi lembek.
Di balik tiap butir beras, ada doa sunyi dari rakyat kecil, dan harapan agar hidup tetap jalan, walau kadang hanya ditemani sambal dan kerupuk.
Asanya yang penting negara bisa gagal bikin mobil nasional, tapi jangan gagal masak nasi, oke jujur aja sebenarnya. rakyat nggak pake neko-neko, tidak menuntut negara jadi superman.
Tapi tolonglah, jangan sampai dapur jadi sunyi.
Negara hadir bukan cuma saat peresmian proyek, tapi saat isi panci mulai sepi.
Kadang makna “negara hadir” bukanlah di pidato panjang atau baliho setinggi mimpi.
Tapi di satu karung beras yang datang tepat waktu.
Di satu suara petugas Bulog yang bilang “Ini, bu, sepuluh kilo buat sebulan”
Dan ketika nasi mulai ngebul lagi, rakyat paham “Terima kasih, negara nggak lupa sama kami”
Semoga bukan jadi pahlawan tanpa panggung, dan dapur tanpa drama, suatu hari nanti, di buku sejarah akan tertulis. “Pada tahun 2025, Indonesia menghadapi inflasi, bukan dengan senjata, tapi dengan karung putih.
Pahlawan bangsa bukan hanya pejabat tinggi, tapi juga ibu-ibu yang tahu cara menyimpan beras agar tidak apek”
Dan ketika anak-anak bertanya “Siapa yang menyelamatkan negeri saat harga naik?”
Jawabannya bukan Batman, bukan Ironman, tapi Bulog… dan emak-emak Indonesia.
Karena, Bro…
Perang paling panjang itu bukan di medan tempur, tapi di dapur, dan negara yang kuat, bukan cuma yang punya senjata, tapi yang tahu isi panci rakyat kecil.
Di masa depan, ketika cucu kita tanya “Kakek, bagaimana negara mengalahkan inflasi tahun 2025?”
Jawab saja“Bukan dengan bom, tapi dengan beras. Bukan dengan drone, tapi dengan truk berisi karung.
Dan yang paling berperan… emak-emak dengan strategi dapur anti gagal.”
Apalagi dalam hidup, lapar tidak bisa ditunda, dan nasi tidak bisa dimasak dengan janji, oleh karena itu, negara harus hadir bukan hanya dalam kata, tapi dalam karung. Karena kadang, cara paling revolusioner menyelamatkan ekonomi… adalah dengan memastikan beras tetap ada di rak dapur.[***]