“Saat kapal niaga tak lagi bisa masuk pelabuhan, KP Orca 05 hadir layaknya tangan sahabat yang datang di saat paling dibutuhkan”
NEGERI kepulauan ini, terkadang urusan antar-jemput warga lebih ribet dari skripsi mahasiswa semester tua. Contohnya Pulau Enggano, Bengkulu, yang mendadak jadi “zona karantina alami” gegara alur Pelabuhan Pulau Baai makin dangkal. Kapal niaga? Mangap saja dulu, yang bisa lewat cuma angin laut dan kabar gosip dari daratan.
Namun di tengah sepi itu, datanglah sang jagoan laut KP Orca 05, kapal pengawas yang biasanya memburu pencuri ikan, kini turun pangkat jadi kapal ojek massal. Ini bukan kapal sembarangan panjangnya 63 meter, tonase 741 ton, dan bisa nyimpen stok pop mie buat 29 awak selama 25 hari, bisa dibilang, ini bukan kapal, tapi kos-kosan terapung.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Pak Sakti Wahyu Trenggono, saat bertemu Gubernur Bengkulu Helmi Hasan di Jakarta, langsung gas pol “Bantu warga Enggano!”. Oleh karena itu, berlayarlah KP Orca 05 seperti cerita pangeran yang naik kuda putih, cuma ini kudanya punya sonar dan radar.
Menurut Pak Ipunk (panggilan keren Dirjen PSDKP), kapal ini udah nongkrong di perairan Pelabuhan Malakoni sejak 28 Juni. Begitu sampai, langsung dijemput Camat dan Muspika. Kalau di film, ini udah kayak adegan keluarga besar jemput mantu di bandara.
Jujur, semua bikin terharu, iya… tapi juga geli dikit, masa iya, buat antar jemput warga harus turun kapal perang laut? Ibarat kamu mau ke warung beli sabun, tapi dijemput pakai panser TNI.
Biar kami kasih perumpamaan membangun pelabuhan tanpa menjaga alur seperti punya kolam renang, tapi diisi pasir darat, sudah pasti kapal tidak bisa nyemplung. Pelabuhan Pulau Baai mestinya jadi nadi logistik, tapi sekarang lebih mirip empang yang nunggu hujan.
Ini bukan salah kapal niaga, bukan pula salah nelayan, ini soal infrastruktur yang dibiarkan tenggelam sebelum banjir datang. Ibarat punya mobil mewah, tapi akses ke rumah masih tanah merah dan batu lepas ujung-ujungnya yang jalan kaki tetap warga.
Kalau begini terus, Enggano bisa jadi “Museum Hidup tentang Terisolasi di Era Digital”. Orang lain sibuk bahas AI dan 5G, warga Enggano malah sibuk hitung pasang surut air buat tahu bisa nyebrang atau enggak.
Salut dengan KP Orca 05, namun jangan sampai kapal pengawas jadi tukang antar sembako tetap. Kapal ini punya tugas mulia menjaga ikan dari maling laut internasional.
Kalau dia terus-terusan mondar-mandir antar warga, nanti malingnya lolos, ikannya kabur, awak kapalnya masuk angin.
Solusinya? segera normalisasi alur Pelabuhan Pulau Baai, bukan cuma dicangkul pakai doa, tapi dikeruk pakai alat berat. Juga, pikirkan jalur alternatif pelabuhan kecil di titik lain, jadwal kapal reguler, atau kalau perlu, pelatihan buat warga jadi pelaut mandiri.
Bantuan KP Orca 05 ini membuktikan satu hal penting ketika negara mau, negara bisa. Tapi rakyat Enggano tak butuh bantuan sesekali, mereka butuh rasa dianggap tiap hari. Jangan biarkan mereka merasa jadi halaman belakang negeri ini.
Ingat pepatah nelayan “Laut tak pernah ingkar pasang surutnya. Tapi negara? Kadang datang, kadang nunggu viral dulu”.
Jadikan ini momentum, jangan tunggu Pelabuhan makin dangkal baru ada tindakan, karena rakyat bukan ikan, yang bisa menyesuaikan hidup di kedalaman.
KP Orca 05 mungkin kapal pengawas, tapi hari ini, ia jadi saksi bahwa negara bisa hadir, meski telat, walau sedikit ngap-ngapan, semoga ke depan, yang datang bukan hanya kapal, tapi kebijakan yang tak tenggelam.[***]
