ANAK-anak yatim dan penyandang disabilitas di seluruh penjuru negeri mendadak dapat kejutan manis, bukan dari tukang sulap keliling atau undian sabun colek, tapi dari negara sendiri yang turun tangan bagai tetua kampung yang akhirnya sadar. “Mereka juga anak kita, lho”.
Lewat kolaborasi antara Kementerian Agama, BAZNAS, dan segunung Lembaga Amil Zakat, dua juta bingkisan bernilai Rp310,8 miliar meluncur mulus ke tangan-tangan mungil yang selama ini lebih sering digenggam oleh kesabaran daripada kesempatan.
Sembako sampai alat bantu disabilitas, dari uang tunai sampai perlengkapan sekolah, semuanya dikemas bukan cuma sebagai bantuan, tapi sebagai pengakuan bahwa mereka berhak bahagia, bukan cuma jadi latar belakang kalender masjid.
Tapi, ini bukan soal angka dan logistik semata, tapi tentang wajah-wajah mungil yang selama ini cuma bisa melambai ke kamera saat Lebaran lewat TVRI, kini ikut bersuara di panggung ekspresi, tabuh perkusi dari barang bekas, main angklung, bahkan menyambut finalis Indonesian Idol. Mereka bukan cuma disalurkan bantuan, tapi juga disalurkan harapan.
Sudah lama kita hidup di negara yang terlalu sibuk mikirin infrastruktur sampai lupa kalau ada infrastruktur hati yang juga perlu dibangun.
Jalan tol memang penting, tapi jalan menuju peluk hangat dan rasa dihargai, itu jauh lebih penting untuk anak-anak yatim dan para penyandang disabilitas yang tiap hari bertarung bukan dengan kemacetan, tapi dengan sepi dan keterbatasan.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebut dana Rp309 miliar terkumpul dalam waktu singkat. Cepat sekali, seperti kalau emak-emak rebutan diskon minyak goreng di minimarket. Tapi kali ini, rebutannya bukan sembako buat dapur, melainkan sembako buat jiwa. Ini bukan kompetisi amal, ini simfoni gotong-royong.
Katanya “Bangsa ini masih punya rasa” dan benar saja, rasa itu datang dalam bentuk santunan, alat bantu, hingga sepatu sekolah baru yang mungkin bikin anak-anak itu bisa berlari lebih percaya diri dari biasanya.
Tema Lebaran Yatim 2025, “Satu Kesetaraan, Sejuta Harapan”, terdengar manis seperti iklan sabun. Kali ini, bukan cuma manis di telinga, tapi juga real dalam implementasi.
Jawa Barat yang menyalurkan hampir setengah juta bingkisan, hingga Nusa Tenggara Barat yang membuktikan bahwa semangat berbagi tak kenal pulau, semua bergerak.
Lucunya, anak-anak ini mungkin awalnya tak tahu siapa itu BAZNAS, siapa itu LAZ, dan siapa pula Romo Wamenag. Tapi mereka tahu satu hal “Hari itu aku dikasih bingkisan dan aku bisa tampil main angklung bareng temanku”. Bagi mereka, itu bukan seremoni, itu kenangan.
Pepatah bilang, “Sedekah tak akan membuat miskin, seperti senyum tak akan membuat sariawan”.
Dan program ini membuktikan: kalau sedekah digerakkan bersama-sama, maka dua juta senyum bisa tumbuh, bahkan tanpa harus menyiram pakai pupuk.
Jangan salah, anak yatim bukan kertas kosong yang tinggal ditulisi bantuan. Mereka adalah lembaran hidup yang sudah berisi tinta perjuangan.
Mereka bukan karung untuk diisi sembako, tapi jiwa untuk diisi makna. Lewat panggung seni dan ekspresi, mereka tak sekadar menerima, tapi juga memberi: memberi pesan bahwa keterbatasan tak menghapus potensi.
Ketika Rara Indonesian Idol menyanyi bersama mereka, itu bukan gimmick panggung. Itu adalah peristiwa sosial yang menggugah. Anak-anak ini bukan figuran, mereka pemeran utama. Dan ya, negara akhirnya belajar caranya jadi panggung.
Satu hari di Auditorium HM Rasjidi mungkin hanya satu titik dalam kalender, tapi dua juta paket itu bisa jadi bab pertama dari kitab besar bernama kehadiran negara. Kita berharap, ini bukan program musiman kayak rambutan dan duren, tapi jadi kebiasaan sosial yang permanen.
Anak yatim dan penyandang disabilitas tak butuh kasihan, mereka butuh keberpihakan. Dan keberpihakan tak harus selalu bentuk duit, kadang cukup hadir dan berkata “Kami dengar kalian. Kami datang bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai tetangga yang baik”.
Karena dalam hidup ini, kata kakek saya, “Orang kuat itu bukan yang bisa angkat galon pakai satu tangan. Tapi yang bisa bikin orang lain tersenyum meski dia sendiri sedang lelah”, dan kalau dua juta anak bisa senyum bareng karena uluran tangan kita, itu bukan hanya statistik. Itu mukjizat sosial yang layak kita rayakan.
Dan siapa tahu, tahun depan jumlahnya bukan dua juta, tapi seluruh anak yatim dan penyandang disabilitas di Indonesia bisa bilang “Kami bukan cuma dapat bingkisan, kami juga merasa dianggap”
Karena di negeri yang kadang lebih sering viral soal skandal daripada soal kebaikan, satu bingkisan bisa jadi revolusi kecil.[***]
