DALAM dunia sepak bola, kita terbiasa menyaksikan keajaiban yang tercipta di atas lapangan, gol spektakuler di menit akhir, selebrasi penuh air mata, dan pelukan hangat yang menyatukan bangsa.
Namun, ada kalanya berita dari luar stadion merobek diam-diam jantung kita, bukan karena tim kesayangan kalah, tapi karena hidup yang tak mengenal kartu kuning atau perpanjangan waktu telah meniup peluit terakhir untuk dua pemain muda.
Pada tanggal 3 Juli 2025 kemarin, kabar mengejutkan datang dari jalan raya Spanyol. Diogo Jota, penyerang Liverpool dan Portugal, bersama adiknya André Silva yang bermain untuk klub Penafiel, meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas.
Keduanya berpulang di usia yang terlalu muda, saat kaki mereka masih kuat berlari, saat impian mereka belum sempat disusun rapi di rak kehidupan.
Seperti dua lilin yang padam ditiup angin sebelum sempat menyinari ruangan, Jota dan André pergi terlalu cepat, terlalu mendadak. Dan dunia sepak bola terhenyak, kita semua, dari fans Liverpool hingga warga kecil di Porto, dari Ronaldo hingga penonton netral, sama-sama menundukkan kepala. Tidak untuk menghitung statistik, tapi untuk menghormati dua manusia yang kini tinggal nama dan kenangan.
Diogo Jota bukan tipe pemain yang suka mencari sorotan, ia bukan headline hunter. Ia tidak heboh di media sosial, tidak suka pamer koleksi mobil, dan tidak pernah memelihara kontroversi.
Ia hanya bermain bola, mencetak gol, lalu pulang ke rumah, seorang pria sederhana yang tahu bahwa dalam hidup, tidak semua harus diumumkan lewat Insta Story.
Sejak bergabung dengan Liverpool pada 2020 dari Wolverhampton, ia membuktikan diri bukan hanya sebagai pelapis, tapi pilar, 65 gol dalam 182 laga bukan statistik ecek-ecek.
Ia memberi kontribusi dalam gelar-gelar penting di Liga Premier, FA Cup, dua Piala Liga, namun di balik semua itu, yang paling dikenang adalah semangatnya berlari tanpa lelah, menekan lawan seperti tidak punya paru-paru, dan merayakan gol dengan senyum kalem seperti bilang, “Aku cuma bekerja hari ini”.
Di pentas internasional, Jota juga bukan figuran, ia mengoleksi 49 caps dan 14 gol untuk timnas Portugal, bersama generasi emas, ia meraih dua gelar UEFA Nations League (2019 dan 2025).
Saat Portugal menari-nari di turnamen Eropa, ia adalah bagian dari irama, ia bukan solois, tapi sangat penting dalam simfoni.
Sementara itu, André Silva adalah nama yang belum sering terdengar di telinga dunia, bermain di FC Penafiel, klub kasta bawah di Portugal, ia masih dalam proses. Tapi bagi keluarga, teman, dan pelatihnya, ia adalah mutiara yang siap diasah.
Seperti adiknya sendiri, Jota dulu juga memulai dari bawah, siapa tahu, kelak André bisa bersinar? Tapi ternyata, Tuhan punya rencana yang lebih pendek. Keduanya seperti dua burung dalam satu sarang, terbang bersama, jatuh bersama dan kini, pulang bersama.
Reaksi atas kepergian mereka bukan hanya datang dari Portugal. Presiden FIFA, Gianni Infantino, langsung menyampaikan belasungkawa.
Liverpool FC menurunkan bendera setengah tiang. Cristiano Ronaldo menulis dengan penuh luka “Tak masuk akal, Baru saja kita bersama di timnas. Baru saja kau menikah”
Tidak ada rivalitas dalam duka, di saat seperti ini, semua fans sepak bola adalah satu. Tidak ada Liverpool, tidak ada MU, tidak ada Benfica atau Porto. Yang ada hanya manusia yang sama-sama kehilangan dua saudara, dua anak bangsa, dua pemain yang tak akan pernah menyentuh bola lagi.
FIFA
FIFA akan mengheningkan cipta di laga-laga Piala Dunia Antarklub, tapi sesungguhnya, dunia sudah lebih dulu hening sejak kabar itu datang.
Kematian Jota dan André seharusnya menjadi cermin besar bagi industri sepak bola. Selama ini, kita sering memandang pemain hanya sebagai angka berapa gol, berapa menit bermain, berapa juta followers. Tapi sesungguhnya, di balik nomor punggung itu ada manusia, anak dari seseorang, suami dari seorang istri, ayah dari anak kecil yang kini harus tumbuh tanpa pelukannya.
Sepak bola tidak boleh lupa bahwa klub bukan sekadar tempat kerja, tapi rumah, dan rumah berarti melindungi, mendengarkan, menjaga.
Pemain bukan hanya aset, tapi jiwa, jika kita terus memandang mereka semata sebagai investasi, kita akan kehilangan rasa. Dan bila rasa mati, sepak bola hanyalah sirkus dengan rumput sintetis.
Pepatah lama bilang, “Jauh panggang dari api”. Begitulah kadang jaraknya antara sorak sorai di stadion dengan kenyataan hidup para pemain.
Di depan kamera, mereka terlihat hebat. Di balik layar, mereka juga manusia yang bisa terluka, lelah, bahkan hilang sekejap, seperti Jota dan André.
Dunia boleh kehilangan dua pemain, tapi jangan sampai kehilangan empati. Jota dan André tidak akan kembali, tapi warisan mereka harus dijaga, semangat, kejujuran, dan cinta pada permainan.
Untuk itu, klub, federasi, dan kita sebagai penonton harus belajar, bahwa menghargai pemain tidak harus menunggu kematian.
Bola bisa kembali bergulir, liga akan berlanjut, musim baru akan datang. Tapi ada nama-nama yang akan tetap kita bisikkan dalam doa bukan karena golnya, tapi karena hidupnya yang menginspirasi.
Barangkali, di satu tempat entah di mana, ada lapangan tak berujung, rumputnya hijau abadi. Anginnya lembut. Tidak ada tekel keras, tidak ada wasit yang salah tiup.
Di sana, Jota dan André mungkin sedang berlari, menyundul bola, menertawakan kita yang masih sibuk memikirkan VAR. Selamat jalan, saudara, dunia ini kehilangan dua sayap, tapi semoga langit telah mendapat dua pemain terbaiknya.[***]
