NEGERI ini, yang katanya kaya raya tapi kadang dompetnya lebih kurus dari garis pensil HB, kabar baik datang dari Boyolali, Jawa Tengah.
Bukan,… bukan kabar tentang harga cabai yang turun, tapi tentang kolaborasi gokil antara Kiky Stationery dan karakter animasi bernama Jumbo yang mendadak viral kayak stiker WA emak-emak yang suka kirim salam subuh.
Menteri Ekonomi Kreatif kita yang baru, Teuku Riefky Harsya, sampai bela-belain datang langsung ke pabrik PT Solo Murni.
Jangan salah, ini bukan kunjungan buat beli ATK buat anak kos atau nyari diskon buku tulis, tapi buat nyaksikan langsung kolaborasi antara dunia kertas dan dunia kartun. Sebuah pernikahan ekonomi yang lebih romantis dari sinetron jam 7 malam.
Dulu, buku tulis itu hanya tempat curhat anak sekolah yang ditulis pakai huruf miring mirip cakar ayam. Tapi sekarang, berkat kolaborasi antara Kiky dan Visinema, yang melahirkan karakter Jumbo, buku tulis jadi lebih hidup, lebih warna-warni, dan lebih menjual.
Karena buku tulis bisa bikin anak-anak merengek ke orang tuanya, “Mah, beliin yang ada Jumbo-nya yaa!”. Ini semacam efek BTS buat alat tulis.
Sebagai catatan, PT Solo Murni bukan pemain kemarin sore, berdiri sejak 1976, perusahaan ini telah mengibarkan bendera ATK ke lebih dari 30 negara, dari Amerika sampai Angola, dari Austria sampai Jepang, alat tulis Kiky sudah keliling dunia lebih banyak daripada paspor pegawai kelurahan.
Dan sekarang, mereka nggak cuma menjual barang, tapi menjual cerita, lewat IP alias intellectual property. Kertas dan karakter digabungkan jadi produk yang tak cuma fungsional tapi juga emosional. Ibarat nasi goreng, yang biasanya cuma nasi, kini ada topping sosis, telur, dan cabe ijo level neraka.
Pepatah Hari Ini, “Orang Bijak Menulis di Buku, Orang Kreatif Menjual Bukunya ke Luar Negeri”
Jumbo, karakter animasi hasil kreasi Visinema, kini mejeng di sampul buku-buku Kiky, hasilnya? dalam waktu kurang dari dua bulan sejak peluncuran 15 Mei 2025, sudah lebih dari satu juta eksemplar terjual. Ini bukan main-main. Ini bukan efek endorse artis, tapi buah dari kolaborasi yang matang, ibarat semangka yang dipetik pas manis-manisnya.
Rio Haryanto, Direktur PT Solo Murni (yang ternyata bukan pembalap F1, tapi sama cepatnya dalam memproduksi buku), menyebut dengan satu mesin dan satu shift aja mereka bisa cetak 20.000 eksemplar.
Kalau dua shift, bisa bikin puluhan ribu buku dalam sehari. Ini kayak pabrik cinta di sinetron, tapi versi nyata dan menghasilkan devisa.
Ngomong-ngomong soal IP, Jepang sudah lama bermain di sini, coba tengok Doraemon, ia bukan cuma robot kucing tanpa telinga, tapi mesin uang berjuta yen, dari baju tidur sampai tusuk gigi, semua ada versi Doraemon-nya.
Bahkan anak-anak Indonesia bisa lebih kenal Nobita daripada tokoh sejarah nasional. Itulah kekuatan IP bukan cuma karakter, tapi merek yang bisa hidup, berkembang, dan menjual dalam banyak bentuk.
Langkah awal
Kolaborasi Kiky dan Jumbo ini bisa jadi langkah awal Indonesia punya karakter animasi nasional yang nendang di pasar global. Bukan cuma tontonan di layar, tapi juga ada bentuk fisiknya di toko buku, etalase supermarket, bahkan koper anak TK.
Kementerian Ekraf, dengan semangat lebih tinggi dari kopi kapal api, kini mendorong kolaborasi lintas sektor. Kata Menteri Riefky, karya kreatif harus dikomersialisasi secara berkelanjutan. Kalau cuma dikagumi tapi nggak dijual, ya itu namanya bukan industri, tapi pameran keliling.
Inilah bedanya negara yang maju bukan yang punya banyak tambang, tapi yang bisa menjual karakter fiksi jadi barang nyata. Negara yang kreatif bukan yang banyak bikin seminar “Pentingnya Kreativitas”, tapi yang bisa bikin anak-anak rebutan beli buku tulis karena karakter animasi lokal.
Di era digital, banyak yang bilang buku tulis sudah usang, tapi lihatlah, di tangan orang kreatif, buku tulis bisa jadi senjata ekonomi. Ia bukan lagi sekadar media tulis-menulis PR matematika, tapi alat transformasi budaya dan identitas.
Jadi lain kali kalau lihat anak sekolah ribut di toko buku cuma buat rebutan edisi Jumbo, jangan marah. Itu tanda ekonomi kreatif sedang jalan, siapa tahu, suatu hari nanti, Jumbo akan setenar Pikachu, dan kita bisa bilang, “Kita dulu yang punya!”
Karena kalau kertas bisa bicara, ia pasti bilang “Aku bukan cuma lembaran polos, aku bagian dari revolusi ekonomi kreatif!”.[***]
