DI negeri tropis yang katanya subur ini, ada satu kebiasaan yang susah dihilangkan menggali dulu, mikir belakangan. Gunung Karang, yang semestinya jadi tempat burung ngetem dan akar pepohonan meditasi, malah dijadikan arena tambang ilegal.
Hutan produksi terbatas yang harusnya dijaga seperti mantan yang masih sayang, malah disikat habis pakai ekskavator seolah sedang korek-korek tahu bulat di penggorengan.
Bukannya jadi kawasan konservasi, Gunung Karang nyaris berubah jadi taman safari batu kapur minus hewan, minus izin, plus kerusakan lingkungan.
Operasi yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan bersama Satgas Penyelamatan DAS ini sebenarnya bisa disamakan dengan operasi jantung darurat, cepat, mendesak, dan menyelamatkan nyawa.
Dalam hal ini, nyawa hutan Gunung Karang yang sudah megap-megap karena aktivitas tambang ilegal. Bayangkan, hutan lindung dijadikan seperti lapangan futsal raksasa, digali hingga kedalaman 20 meter, itu bukan sekadar luka, tapi lobang bekas cinta yang ditinggal ekskavator.
Apa yang terjadi di Gunung Karang sejatinya bukan cerita baru. Ia hanya pengulangan dari lagu lama sumber daya alam dikuras, hukum dicuekin, dan lingkungan dijadikan korban.
Kita seperti menonton film yang sudah tahu ending-nya, banjir di Jabodetabek, longsor di mana-mana, lalu muncul statement klise “Kami prihatin”.
Kalau Gunung Karang bisa bicara, mungkin dia akan bilang, “saya bukan tambang, saya cuma gunung biasa yang pengin hidup damai bersama akar dan burung hutan.” Namun sayangnya, suara gunung kalah nyaring dibanding suara mesin ekskavator. Apalagi kalau dibumbui sedikit “pelicin dari oknum-oknum yang lebih licin dari belut kena baby oil”.
Lihatlah bagaimana negara, seperti Costa Rica mengelola hutannya, negara kecil di Amerika Tengah ini menolak tambang-tambang besar yang ingin masuk ke kawasan konservasinya.
Mereka malah menjadikan hutan sebagai sumber wisata ekologi yang menghasilkan miliaran dolar, bukan dari batu, tapi dari daun dan burung kolibri.
Di Norwegia, eksploitasi alam begitu diawasi dan Negara Skandinavia ini, bahkan berani mengalihkan investasi dari sektor tambang ke energi hijau, karena mereka percaya hutan adalah tabungan masa depan, bukan celengan harian yang dipecah demi keuntungan sesaat.
Kita di sini?. masih ribut soal legalitas tambang di hutan lindung, padahal undang-undangnya sudah segambreng. Masalahnya bukan kekurangan hukum, tapi hukum yang sering tersandung kabel ekskavator. Ibarat punya pagar rumah tinggi, tapi bolong dan dijaga kucing tua yang sudah rabun.
Sudah waktunya Indonesia menata ulang paradigma, hutan bukan supermarket bahan baku, tapi rumah besar bagi kehidupan.
Kalau ada yang bilang, “Tambang ilegal itu demi ekonomi rakyat”, maka jawabannya sederhana ekonomi rakyat tidak bisa dibangun di atas kehancuran lingkungan, sama seperti rumah tangga tidak bisa dibangun dari kebohongan, pasti retak di tengah jalan.
Penertiban di Gunung Karang harus jadi sinyal bahwa negara masih punya taring, bukan cuma gigi susu, bukan sekadar razia satu hari, tapi komitmen jangka panjang.
Jangan sampai ekskavator ditarik, tapi pemodalnya malah ngopi di hotel bintang lima sambil senyum-senyum update status “Ditinggal razia, tetap cuan”.
Alam ngamuk
Kalau hutan bisa tertawa, mungkin dia akan tertawa getir digali, ditambang, ditinggal, lalu diresmikan ulang jadi taman kota yang pohonnya kerdil.
Kita perlu menyetop drama sinetron lingkungan ini, jangan biarkan Gunung Karang dijadikan korban cinta satu malam oleh tambang ilegal, karena kalau alam sudah ngamuk, kita semua bisa jadi bintang utama di film horor ekologis “Banjir Jabodetabek: Balasan dari Karst yang Marah”.
Ingat! penambang liar, sebelum kalian gali tanah lebih dalam, gali dulu hati nurani, jangan sampai nanti masuk penjara sambil nyanyi, “Gara-gara ekskavator, ku kehilangan hutan…”.
Selain itu, jangan sampai operasi Gakkum ini cuma jadi headline sehari yang dilupakan esok pagi, kalau penindakan hanya sebatas foto bersama di lokasi tambang dan konferensi pers bermasker N95, lalu pelaku tambang malah kabur pakai mobil mewah sambil nyetel lagu “I did it my way”, ya percuma juga.
Hutan kita butuh perlindungan nyata, bukan drama sandiwara ala sinetron jam sembilan malam, harus ada tindakan hukum tegas, tanpa tedeng aling-aling, meski pelakunya berkantong tebal dan berteman dekat dengan yang duduk di sofa kekuasaan.
Karena kalau alam sudah muak dan ngamuk, kita semua bisa jadi korban. Hujan deras sedikit, jalanan jadi kolam lele dadakan. Longsor kecil saja, tiang listrik ambruk dan sinyal WiFi langsung tumbang.
Jadi, sebelum kita hidup dalam dunia yang penuh bencana buatan sendiri, mari sadar bahwa menjaga hutan itu bukan tugas Gakkum semata, tapi tugas bersama. Ingat pepatah kuno “Bumi ini bukan warisan dari leluhur, tapi pinjaman dari cucu”.
Jadi tolong, jangan dikembalikan dalam bentuk puing dan lubang-lubang tambang dan buat warga juga jangan cuma jadi penonton, kalau ada yang nambang liar di belakang rumah, jangan malah disuguhin kopi dan gorengan.
Laporkan!, karena kalau hutan rusak, yang kena bukan cuma monyet dan burung, kita juga bakal kehujanan sambil nyangkul banjir.
Ingat, jangan nunggu banjir naik ke paha baru sadar pentingnya akar pohon, jangan tunggu ekskavator parkir di halaman rumah, baru ngomel di status WhatsApp. Jaga hutan, bukan karena disuruh, tapi karena kita ingin hidup lebih lama tanpa pakai perahu karet buat beli beras.[***]
