Sumselterkini.co.id, – Di zaman kakek-nenek kita dulu, ancaman datang dari tentara asing, penjajah, atau kalau sedang sial, maling kambing tetangga. Sekarang? Musuh bisa datang dari kolong meja, dari kabel internet, bahkan dari handphone yang terlalu murah untuk dibeli tapi terlalu mahal risikonya jika bocor datanya.
Di sinilah letak tantangan bangsa hari ini, kedaulatan kita tak lagi hanya dijaga oleh tentara di pos perbatasan, tapi juga oleh siapa saja yang pegang gawai dan paham mana tautan yang benar, mana jebakan Batman.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, dalam kuliah umum di Lemhannas RI, belum lama ini, tampil seperti seorang komandan siber di tengah hutan belantara digital. Ia menyatakan dengan lantang “Ruang siber adalah jantung pertahanan baru bangsa, menjaganya berarti menjaga masa depan Indonesia”. Bukan lebay, bukan hiperbola. Memang benar hari ini perang tak perlu peluru, cukup paket data dan niat jahat dari luar negeri.
Bayangkan, dalam sekejap saja 15 juta nasabah Bank Syariah Indonesia kalang kabut, bukan karena inflasi, bukan pula karena KPR naik, tapi karena kelompok peretas LockBit 3.0 menembus jaringan dan menuntut tebusan USD 20 juta. Ini bukan film Hollywood, ini kenyataan yang terjadi di depan hidung kita. Serangan seperti ini bisa menimpa siapa saja dari bank, lembaga pemerintah, bahkan hingga sekolah dasar yang punya sistem e-learning setengah matang.
Yang bikin miris, musuh siber ini tidak perlu melewati laut Natuna, tidak perlu menabrak perbatasan Kalimantan. Cukup tahu celah sistem, mereka bisa masuk, ngacak-ngacak data, dan meninggalkan “bom digital” yang membuat layanan lumpuh total. Kita ini ibarat rumah mewah yang dikunci gerbangnya, tapi lupa menutup jendela dapur. Jadilah maling masuk, ngopi dulu, baru bawa kabur semua isi rumah.
Tak cuma soal serangan digital, hoaks pun jadi ancaman yang lebih ganas dari isu minyak goreng naik. Meutya menyebut ada tiga jenis hoaks misinformasi (salah tapi nggak sengaja), disinformasi (sengaja salah), dan malinformasi (benar tapi digunakan untuk mencelakai). Tiga ini kalau disatukan bisa jadi senjata pemusnah massal. Kalau dulu negara bisa rusuh karena perbedaan ideologi, sekarang bisa panas karena perbedaan “caption” di TikTok.
Dan seperti biasa, kita terlalu percaya pada regulasi sebagai satu-satunya juru selamat. Memang, regulasi penting. Kementerian Komunikasi dan Digital sudah meluncurkan berbagai aturan, seperti PP TUNAS untuk melindungi anak-anak di ruang maya, revisi UU ITE agar tak lagi jadi alat gebuk sesuka hati, hingga Perpres Strategi Keamanan Siber Nasional. Tapi regulasi tanpa literasi itu seperti memberi helm pada kambing dipakai sih, tapi nggak paham fungsinya.
Yang dibutuhkan bangsa hari ini bukan sekadar undang-undang, tapi orang-orang yang melek digital, tahu bahwa tidak semua yang tampil di layar itu fakta, dan tidak semua emoji senyum itu niat baik. Literasi digital harus diajarkan dari ibu-ibu PKK sampai pejabat eselon. Kalau perlu, pengajian mingguan diganti jadi “Ngaji Siber” membedah link mencurigakan dan belajar mengenali wajah hoaks.
Saatnya sadar
Gubernur Lemhannas, Ace Hasan Syadzily, menyatakan bahwa ketahanan nasional tidak bisa kuat kalau ruang sibernya rapuh. Analogi ini pas sekali. Seperti rumah tangga mau suaminya punya badan kekar, kalau password emailnya “sayang123”, tetap saja mudah diretas mantan.
Indonesia hari ini membutuhkan kesadaran kolektif bahwa ruang digital bukan tempat bermain tanpa aturan. Ia adalah medan perang baru, tempat siapa saja bisa jadi korban jika kita tidak siap. Kedaulatan bangsa bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi pemerintahan, tapi juga siapa yang duduk di depan laptop dengan akal sehat dan nalar kritis.
Dan seperti kata pepatah Jawa yang dimodernkan “Sopo seng ora bisa bedakne hoaks, bakal diprank sejarah.” Kita tidak ingin sejarah bangsa ini ditulis dalam file Word yang disimpan di cloud luar negeri, dan dibaca oleh generasi mendatang dengan catatan kaki Negara ini gagal karena terlalu malas mengganti password.
Sudah saatnya kita sadar bahwa perang zaman now tidak lagi ditentukan oleh jumlah peluru, tapi oleh kualitas literasi digital warga negara. Menjaga ruang siber bukan pekerjaan satu kementerian, melainkan gotong royong akal sehat seluruh rakyat. Dari santri sampai CEO, dari emak-emak hingga influencer. Semua harus tahu bahwa musuh tak lagi bersepatu lars, tapi kadang ber-sneakers dan live di Twitch.
Jika dulu Bung Karno menyuruh kita untuk mengguncang dunia dengan 10 pemuda, maka hari ini kita perlu 10 juta pengguna internet yang cerdas, kritis, dan tidak gampang terprovokasi hoaks. Mari kita jaga bangsa ini, bukan hanya dari penjajah fisik, tapi dari penjajahan pikiran dan data.
Ingat, bangsa besar bukan yang punya banyak senjata, tapi yang warganya tahu kapan harus update antivirus dan kapan harus scroll skip berita bohong. Jadi, yuk, jangan biarkan Indonesia jebol bukan karena perang, tapi karena kita abai jaga colokan internet.
Karena sesungguhnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu bedanya tautan pemerintah dan tautan phishing. Dan negara yang berdaulat, bukan cuma yang punya rudal, tapi juga yang bisa menjaga warganya dari klik yang salah arah. Indonesia Raya tidak boleh diputar dengan buffering. Mari kita jaga negeri ini dari darat, laut, udara, dan kini… dari colokan WiFi.[***]