MENARI itu soal panggung, tepuk tangan, dan kadang amplop yang lebih ringan dari harapan, tapi kini, lewat ATRAKSI bukan atraksi sirkus ya, tapi Asosiasi Tari dan Koreografer Indonesia semua berubah.
Penari bukan lagi cuma penghias acara pembukaan, tapi siap jadi pelaku ekonomi kreatif yang goyangnya mengguncang ekonomi nasional.
Peresmian ATRAKSI di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Selasa, 15 Juli 2025, kemarin dihadiri Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, dan di situ bukan cuma tepuk tangan yang berbunyi, tapi juga peluang dan strategi yang mulai berdenting.
Ibarat pepatah, “Kalau bisa menari di atas panggung, kenapa tidak sekalian menari di atas grafik pertumbuhan ekonomi nasional?”.
Bahkan Wamen Ekraf dalam sambutannya, beliau menyampaikan harapan agar para pelaku tari tetap bersatu tanpa memusingkan genre, karena ujungnya satu Indonesia.
“Yang penting jangan bertengkar soal siapa lebih lentur, tapi siapa yang bisa lebih cuan,” tambahnya dengan gaya kocak namun menggigit.
Ini penting buat para emak-emak sedunia terutama yang sering bikin status WhatsApp soal nilai ulangan anak. Kita perlu sadar bahwa potensi anak bukan cuma di dalam kelas, tapi juga di luar kelas, bahkan di halaman rumah saat anak joget-joget gak jelas. Siapa tahu itu bibit koreografer masa depan, bukan cuma pecinta TikTok.
Menurut Dr. Howard Gardner, profesor dari Harvard University, dalam teori Multiple Intelligences-nya, kecerdasan itu gak tunggal, tapi beragam, ada kecerdasan linguistik, logika-matematika, sampai kinestetik. Nah, penari dan koreografer itu termasuk yang punya kecerdasan kinestetik-jasmani, mereka mengekspresikan ide lewat gerak tubuh. (Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 1983).
Jadi, kalau anak kita suka nari daripada ngitung pecahan, jangan langsung dilarang, siapa tahu kelak dia justru lebih sukses lewat pentas daripada lewat kalkulus.
Pendidikan karakter dan kreativitas gak cuma dibangun di bangku sekolah, tapi juga dari lantai sanggar, karpet ruang tamu, dan panggung-panggung lokal.
ATRAKSI hadir sebagai rumah bagi 500 penari profesional lintas genre, dari tari tradisional sampai freestyle kontemporer. Tapi rumah ini bukan cuma tempat latihan kibas selendang, tapi juga melatih arah masa depan. Di sinilah titik baliknya penari bukan lagi figuran, tapi pionir ekonomi kreatif.
Wamen Ekraf Irene Umar menegaskan, “ATRAKSI ini bukan cuma soal nari, tapi juga narik -narik perhatian, narik investor, narik peluang”. Bahkan dalam sambutannya, beliau menyampaikan harapan agar para pelaku tari tetap bersatu tanpa memusingkan genre, karena ujungnya satu Indonesia.
“Yang penting jangan bertengkar soal siapa paling lentur, tapi siapa paling kreatif dan kolaboratif,” tambahnya.
Kalau bicara soal cuan dari kreativitas, lihatlah Korea Selatan. Awalnya, boyband dan tarian mereka dicemooh. Tapi sekarang? Industri K-pop dan tari mereka menghasilkan lebih dari USD 10 miliar per tahun.
Menurut laporan Korea Creative Content Agency (KOCCA), budaya pop mereka, termasuk seni tari, menyumbang 1,5% dari total PDB negara. Nah, kenapa Indonesia tidak bisa?.
Brasil bukan cuma jago main bola, tapi juga jago ngejual budaya. Lihat aja karnaval Rio de Janeiro, tiap tahun festival itu menghasilkan lebih dari USD 1 miliar buat ekonomi lokal. Puluhan ribu penari Samba dari berbagai komunitas tampil selama berhari-hari. Hotel penuh, UMKM laris, turis berdatangan. Itu baru satu event, Bro!
Pelajarannya, ternyata seni tari bisa jadi magnet wisata dan ladang rejeki sepanjang tahun, asal dikemas dengan branding dan infrastruktur yang solid.
Tari di India bukan cuma hobi, tapi industri raksasa. Setiap film Bollywood pasti ada tarian bahkan yang judulnya Film Horor Pun Boleh Joget Dulu. Dari situ, penari dan koreografer India dikontrak internasional dari panggung Broadway sampai koreografi untuk upacara pembukaan Olimpiade.
Menurut Federation of Indian Chambers of Commerce and Industry, industri hiburan India bernilai lebih dari USD 25 miliar, dan tari jadi komponen pentingnya. Kalau seni tari disinergikan dengan industri film, musik, dan pariwisata hasilnya? Bukan cuma panggung, tapi panggungan cuan!
Di Tiongkok, tari jadi alat soft power. Lewat program seperti Confucius Institute, mereka mengirim tim kesenian ke lebih dari 150 negara. Tari tradisional seperti tarian kipas, tarian singa, dan tari klasik Tiongkok tampil dalam berbagai forum internasional. Itu bukan cuma buat budaya, tapi juga buat citra, wisata, dan investasi.
Tahun 2019, sektor budaya dan hiburan menyumbang sekitar 4,5% dari PDB Tiongkok. Nah loh artinya kalau dikemas serius, tari bisa jadi senjata diplomasi dan jembatan ekonomi global.
Prancis juga punya institusi seperti Centre National de la Danse yang mendukung pengembangan koreografi dan tari kontemporer. Dari sana lahir nama-nama besar yang manggung di seluruh dunia.
Tari di Prancis masuk dalam ekosistem ekonomi kreatif Eropa yang terintegrasi, dan didukung dana pemerintah serta swasta. Koreografer bisa dapet dana riset, residensi, dan produksi. Kalau negara kasih ruang riset dan support buat penari, hasilnya bukan cuma gerakan indah, tapi juga prestasi dan devisa.
Bayangkan Tari Saman jadi tantangan TikTok global, Jaipongan berkolaborasi dengan DJ internasional, atau Reog tampil di Coachella, semua itu bisa jadi nyata asal ada rumahnya dan ATRAKSI inilah rumah itu. Seperti kata pepatah “Kalau bisa bikin penonton bergoyang, kenapa gak sekalian bikin devisa berdendang?”.
Jadi, tari itu bukan cuma soal panggung dan kostum, tapi bisa jadi pilar ekonomi asal disertai Ekosistem yang suportif (macam ATRAKSI), dukungan kebijakan dan pembiayaan, akses ke pasar global, pendidikan kreatif sejak dini termasuk dari para emak-emak!.
Punya rumah
Muhammad Reza, Ketua ATRAKSI, bilang asosiasi ini lahir dari keresahan bukan karena gagal split, tapi karena selama ini para penari dan koreografer sering bekerja sendiri-sendiri. “Kami ingin punya rumah yang bukan cuma teduh, tapi juga punya dapur yang ngebul,” ungkapnya.
Dengan slogan “lintas generasi, lintas genre”, ATRAKSI memfasilitasi pelatihan, advokasi, hingga perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan. Nah, ini baru namanya goyang sambil bergaransi. Apalagi dengan dukungan dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh-tokoh kreatif nasional.
Kita perlu ajak semua kalangan, termasuk para orang tua, guru, hingga pengambil kebijakan, untuk tidak memaksa anak jadi sama, tapi membiarkan mereka menari sesuai irama bakatnya.
Kalau hari ini anakmu joget mulu dan malas matematika, jangan buru-buru frustrasi. Lihatlah dia dengan kacamata baru. Barangkali dia bukan gagal, tapi belum diberi panggung yang sesuai. Dan kalau dia beruntung masuk ekosistem ATRAKSI, bisa jadi dia bukan cuma nari, tapi juga ngajar, bikin koreo, sampai punya studio sendiri.
Peresmian ATRAKSI ini bukan sekadar seremonial, ini launching peradaban kreatif. Indonesia tidak kekurangan penari. Yang kita butuhkan adalah sistem yang mendukung, wadah yang menyatukan, dan mentalitas yang menghargai semua bentuk kecerdasan.
Untuk para penari jangan cuma lihai melenggok, tapi juga lihai menyusun strategi, untuk emak-emak jangan cuma bangga kalau anak ranking satu, tapi juga kalau anak bisa pentas dan disorot dunia dan untuk bangsa ini mari kita tarikan kekuatan budaya menjadi gerakan ekonomi, karena di setiap goyangan, ada potensi peradaban. “Kalau bisa cuan sambil joget, kenapa harus kerja sambil stres?” -Filosofi ATRAKSI, 2025.
Karena kadang, masa depan anak tidak datang dari seberapa tinggi nilai UN-nya, tapi seberapa besar dia berani menari di panggung yang dia percaya.[***]