Agribisnis

Sumsel, Negeri Seribu Rawa yang Tak Boleh Cuma Jadi Kolam Wacana

ist

Sumselterkini.co.id, – Sumatera Selatan, tanah subur yang dilintasi sungai dan dikelilingi rawa-rawa, sedang bersolek jadi pusat perikanan darat nasional. Bukan tanpa alasan provinsi ini punya perairan darat seluas 2,5 juta hektare, angka yang bukan cuma bikin mata terbelalak, tapi juga bikin perut para perencana pangan nasional bunyi “krucuk-krucuk” penuh harapan.

Soalnya, air di Sumsel bukan air biasa. Ia mengalirkan kehidupan, protein, dan potensi ekonomi yang nilainya bisa nyamain tambang, tapi tanpa perlu ngebor bumi sampai mewek.

Dengan produksi mencapai 70 ribu ton ikan darat per tahun, senilai Rp 3,7 triliun, Sumsel menyimpan rahasia besar  bahwa pangan itu nggak harus selalu tumbuh di ladang atau sawah. Ia bisa juga berenang tenang di kolam, rawa, dan sungai. Di saat dunia pusing mikirin krisis pangan dan harga daging yang loncat lebih tinggi dari atlet lompat galah, Sumsel nyodorin solusi sederhana dari rawa ikan patin dan teman-temannya.

Tapi ingat, potensi ini jangan cuma jadi pajangan. Jangan sampai rawa jadi “kolam wacana” belaka. Kita nggak butuh janji yang berenang di udara, tapi aksi nyata yang berenang di kolam.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sadar, bahwa perubahan nggak lahir dari proyek prestisius doang, tapi dari orang-orang kecil yang kerja besar. Penyuluh perikanan misalnya di Sumsel ada 158 orang yang rela masuk kampung, nyebrang sungai, bahkan nyebur kolam demi ngasih ilmu ke petambak. Mereka bukan sekadar “ngasih tahu”, tapi juga “ngasih nyawa”.

Dengan tangan-tangan mereka, lebih dari 5.600 kelompok perikanan lahir, ratusan kelompok baru dibentuk, dan puluhan lainnya naik kelas tanpa harus ikut seminar motivasi, cukup ikut penyuluh yang sabar dan telaten. Tugas mereka bukan sekadar sosialisasi, tapi menyulut kesadaran. Istilah kerennya enlightenment, enrichment, empowerment. Intinya bikin masyarakat bisa berdiri, bukan terus digendong bantuan.

Konsep Smart Fisheries Village (SFV) di Instalasi Mariana dan Patra Tani, keren di atas kertas dan patut diacungi jempol. Gabungan antara budidaya ikan patin unggul, pelatihan vokasi, restocking ikan lokal, dan model bisnis inti-plasma ini bisa jadi andalan. Tapi jangan sampai SFV cuma jadi desa yang “cerdas di proposal, tapi linglung di lapangan”.

Indonesia udah sering “ngetes” program pilot project yang usianya kayak cabe rawit pedes tapi pendek umur. Kita perlu keberlanjutan. SFV harus bisa jadi desa tangguh, bukan sekadar desa Instagrammable pas hari peresmian.

Ketika pemerintah sibuk bikin food estate yang seringkali panen wacana lebih banyak dari panen pangan, rawa-rawa Sumsel justru menawarkan jawaban sunyi tapi pasti. Lewat ikan-ikan lokal, ketahanan pangan bisa diwujudkan dengan cara yang sehat, murah, dan ramah lingkungan.

Program makan bergizi dengan menu ikan perairan darat adalah ide jenius yang kudu digencarkan. Karena perut rakyat nggak bisa kenyang cuma pakai slogan. Mereka butuh makanan, dan ikan lokal bisa jadi jawaban yang enak, sehat, dan gampang didapat.

Perairan darat pun punya fungsi ekologis yang luar biasa dari konservasi, serapan karbon, sampai mitigasi kebakaran lahan. Mereka ini seperti superhero lingkungan yang kerjanya sunyi tapi dampaknya heboh.

Kalau Sumsel ingin mengembangkan perikanan daratnya jadi kelas dunia, maka sudah saatnya kita buka peta dan tengok dunia luar, seperti Di Delta Mekong, Vietnam, saudara se-rawa kita ini sukses ekspor pangasius ke Eropa. Mereka punya sistem pembinaan, riset genetika, dan branding internasional semua berawal dari rawa, tapi sekarang mendunia.

Norwegia juga nggak mau ketinggalan. Di sana, teknologi akuakultur maju pesat. Kolam mereka pakai sensor, airnya dimonitor pakai aplikasi, bahkan mood ikan pun bisa dideteksi. Di tempat lain. Sumsel harus bisa kenapa tidak ? setidaknya itu sebagai contoh, tapi kalau mau deket cukup contoh dalam negeri saja, nah bisa lebih paham, karena punya bahasa persatuan, yakni Bahasa Indonesia, intip yuk dimana !.

Tengok saja Sukabumi, Jawa Barat, yang jadi sentra lele dan nila. Di sana, pemerintah nggak cuma ngasih bibit, tapi juga akses pasar, pelatihan, dan koperasi. Lalu ada Depok, yang diam-diam jadi raja pembenihan ikan hias. Cupang dan koi dari sana sudah nyebrang negara, sementara di Sumsel, kadang cupangnya masih berantem di toples warung.

Wajo, Sulawesi Selatan juga patut jadi panutan. Mereka mengembangkan kolam-kolam rawa untuk budidaya ikan lokal berbasis kearifan tradisional. Masyarakatnya dilibatkan, bukan dimarjinalkan. Pemerintahnya mendampingi, bukan sekadar selfie di lokasi.

Sumsel punya peluang emas untuk jadi pemimpin nasional dalam perikanan darat. Tapi itu tak akan terjadi kalau rawa-rawa hanya dijadikan statistik, bukan pusat strategi. Butuh komitmen politik yang basah oleh kerja, bukan oleh keringat rapat. Butuh anggaran yang mengalir deras, bukan mampet di meja birokrasi. Jangan biarkan Sumsel jadi ironi tanah basah yang bikin rakyatnya tetap kering kerontang.

Di tahun-tahun menuju Generasi Emas 2045, Sumsel harus melaju, bukan lagi merangkak. Jangan jadi penonton keberhasilan orang lain, apalagi cuma pengumpul jargon. Sebab, di dunia yang makin panas dan penuh ketidakpastian, kadang harapan justru datang dari tempat paling sejuk dan sederhana dari ikan yang berenang di rawa, dan dari rakyat yang diberdayakan di desa.[***]

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com