Ketika sejarah bukan cuma pelajaran, tapi juga keringat bareng-bareng di ruang AC mati…
LIMA malam berturut-turut, Graha Budaya di Taman Budaya Sriwijaya berubah jadi “wajan raksasa”, wah.. penuh manusia. Ribuan penonton tumplek blek, dari bocah SD sampai pejabat berdasi, semua rela duduk berdesakan demi nonton teater “SMB II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan”, keren…dan luar biasa!.
Total? 3.200 orang, coba bayangkan, itu sama kayak seluruh isi satu Kelurahan pada pindah ke teater bareng-bareng.
Dan suasananya… beuh, sumuk [panas] bukan main!, bukan cuma karena pendingin ruangan lagi ngambek, tapi juga karena aura semangat yang kebakar oleh cerita Pahlawan Palembang itu.
“Setiap malam penuh, sampai ada yang berdiri di belakang,” ujar Isnayanti, Panitia Pelaksana, dengan mata berbinar dan terharu, seperti baru lihat diskon besar-besaran di Pasar. “Ada yang nonton dua kali, katanya belum puas”.
Nah lho, teater ditonton dua kali? bukan K-pop konser ya.., tapi teater sejarah!, penasaran kan!.
Yang bikin salut lagi, harga tiketnya bukan tipe “bikin kantong menjerit”. Ini murni untuk rakyat lho..
Panitia tahu, seni itu bukan cuma buat orang kaya yang suka berfoto di depan spanduk event.
Tiket SD–SMP cuma Rp25 ribu, SMA Rp50 ribu, dan umum Rp60 ribu, VIP? Rp250 ribu, buat yang mau gaya dikit, tapi tetap cinta budaya.
“Kami ingin teater ini milik semua orang,” kata Isnayanti lagi. “Anak-anak, guru, mahasiswa, sampai bapak-bapak yang biasanya nonton bola pun boleh”.
Dan ternyata benar, di antara barisan penonton, ada anak SD yang melongo lihat kostum Sultan, ada ibu-ibu yang sesenggukan pelan, dan ada mahasiswa yang pura-pura serius mencatat tapi sebenarnya cari caption buat Instagram.
Kalau dulu, sebenarnya sejarah itu, cuma bikin ngantuk karena isinya nama-nama dan tahun mati, kali ini lain cerita, begitu lampu sorot menyala, penonton dibawa ke masa lalu. Musik tradisional dan modern kawin campur, wah hasilnya keren, kayak rendang pakai keju, aneh tapi enak!
“Awalnya saya kira teater itu membosankan,” kata Andra (16), siswa SMA yang datang bareng rombongan sekolah. “Tapi waktu adegan SMB II dibuang ke Ternate, saya merinding”.
Begitu pula Rizka, mahasiswi UNSRI mengaku. “Di buku, SMB II cuma nama dan tanggal. Tapi di panggung, aku bisa ngerasain marahnya, sedihnya, dan tekadnya. Rasanya kayak ikut berjuang”.
Lihatlah?, anak muda ternyata masih bisa baper sama sejarah. Asal sejarahnya bukan disuruh dihafal di depan kelas, pasti bosan..bikin males.
Namun, masalahnya cuma satu, yaitu AC Graha Budaya, sepertinya ikut merdeka dari tugasnya, hahaha!!, sebab udara panas bikin beberapa penonton kipas-kipas pakai brosur, tapi bukannya ngeluh, malah jadi bagian dari “pengalaman spiritual”.
“Panas sih,” kata seorang mahasiswa sambil senyum kecut, “tapi kayaknya cocok, soalnya perjuangan SMB II juga nggak pakai AC”. ia nggak?
Nah, ini baru penonton berdedikasi!. Tapi tetap, panitia berharap pemerintah bisa kasih perhatian, bukan buat kenyamanan semata, tapi biar panggung Palembang makin pantas jadi rumah seni, bukan sauna budaya.
Yang paling bikin haru, sebenarnya penampilan Deden Sutrisno (Endet) sebagai SMB II. Lewat perannya, Sultan Mahmud Badaruddin II nggak lagi cuma pahlawan di uang 10 ribuan, tapi jadi sosok yang hidup, marah, jatuh, bangkit, dan pantang tunduk.
“Saya bukan ingin terkenal,” ujar Deden pelan. “Saya cuma ingin setiap orang tahu bahwa semangat SMB II, apalagi semangat itu, untuk tidak tunduk dan tetap bermartabat dan bisa kita hidupkan lagi hari ini”
Kalimat itu kayak tamparan lembut di pipi bangsa yang kadang lebih sibuk debat di medsos daripada bela budaya sendiri.
Ketua Dewan Kesenian Palembang, M. Nasir, juga hadir langsung. Ia bilang, “Teater itu wadah belajar kehidupan, bukan cuma buat seniman, tapi buat siapa pun. Lewat akting dan dialog, kita bisa belajar tentang sejarah, kritik sosial, dan bahkan cara hidup”.
Sadar diri
Dan beliau benar, pasalnya malam itu, panggung bukan cuma soal akting, namun juga soal kesadaran diri, selain itu juga tentang harga diri, tentang siapa kita, tentang bagaimana bertahan di dunia yang makin suka “menjinakkan” idealisme dengan kenyamanan.
Setiap kali pertunjukan usai, tepuk tangan pun menggema kayak suara hujan di atap seng, ada yang berdiri, ada pula yang menitikkan air mata, bahkan ada juga yang nyeletuk, “Hidup SMB II! Hidup Palembang!”
Riko (27), pegawai swasta, ngaku sudah nonton dua kali, “sekali aja nggak cukup, rasanya kayak dibawa ke masa lalu, tapi juga disadarkan siapa kita hari ini”.
Luar biasa, luar biasa, sebab orang yang nonton film superhero Marvel dua kali, tidak ada bekas dan kenangan, tapi ini beda tontonannya, soal teater sejarah lokal, ada kenangan dan edukasinya..
Itu tandanya, Palembang masih punya jiwa yang menyala soal budaya alias budaya masih punya tempat di kalangan masyarakat Palembang.
Akhirnya, saat tirai terakhir turun, tepuk tangan tak juga berhenti…..dan di udara, masih tercium aroma perjuangan, bukan dari keringat semata, melainkan dari kebanggaan.
Malam itu menjadi bukti bahwa bukan cuma Sultan Mahmud Badaruddin II yang berdiri gagah di panggung, melainkan juga ribuan penonton yang hatinya menyala oleh semangat yang sama, bahkan yang terpentin yaitu, semangat untuk tidak dijinakkan.
Karena seperti pepatah orang tua dulu bilang “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kenangan, tapi orang Palembang, hidup pun meninggalkan semangat”
Dan malam itu, Palembang juga membuktikan Harimaunya masih ada, cuma memang sekarang wujudnya ribuan penonton yang nggak mau diam, nggak mau tunduk, dan nggak mau kehilangan jati diri.
Jadi, kalau teater aja bisa bikin orang teriak -teriak semangat “Hidup SMB II!”, berarti sejarah memang belum mati, hanya saja butuh panggung dan orang-orang berani buat menyalakan apinya lagi.
“Melawan tidak, menyerah pun tidak”
Begitu kata SMB II.
Dan…, sepertinya, malam itu Palembang sepakat.[***]