ADA pepatah bilang “batuk tak berdahak bagai sayur tanpa garam”, maka batuk berkepanjangan justru lebih mirip “utang yang tak kunjung lunas”, bikin hidup sengsara dan akhirnya menguras tenaga. Itulah gambaran sederhana soal tuberkulosis alias TBC. Penyakit ini sering datang diam-diam, bikin badan kurus, nafsu makan hilang, tapi sayangnya banyak orang masih anggap remeh.
Di kampung, ada saja cerita lucu sekaligus miris, misalnya, ada orang batuk lama, tapi malah dikira “masuk angin yang salah urat”. Ada juga yang kurus mendadak, lalu tetangga nyeletuk “Wah, jangan-jangan kena pelet!”. Padahal kalau mau jujur, itu gejala klasik TBC yang sering disangka penyakit ringan. Inilah masalah kita, stigma dan salah kaprah soal kesehatan.
TBC masih jadi masalah besar di Indonesia, data Kementerian Kesehatan menyebut ada lebih dari 1 juta kasus setiap tahun, Wakil Menteri Kesehatan Prof. Dante Saksono bilang, sekitar 90 persen sudah berhasil diidentifikasi, tapi sisanya masih gelap, ibarat tikus di gudang padi, susah terlihat tapi jelas-jelas merugikan.
Sayangnya, banyak pasien TBC yang telat ketahuan karena merasa malu, batuk dianggap sepele, lalu diobati dengan jamu instan, ada pula yang takut ke Puskesmas karena khawatir dicap “penyakit menular yang menjijikkan”. Padahal, TBC itu bukan kutukan, bukan pula akibat kurang doa malam Jumat. TBC adalah penyakit menular yang bisa disembuhkan dengan obat rutin dan pemeriksaan tepat.
Pemerintah sekarang sedang tancap gas, ada program active case finding, yaitu mencari pasien aktif lewat pemeriksaan massal. Bahkan sudah ada inovasi rontgen keliling, ibarat bioskop gratis, tapi isinya bukan film horor, melainkan deteksi paru-paru. Kalau dulu orang malas periksa karena jauh dan mahal, sekarang rontgen bisa datang ke desa, gratis pula.
Di Jawa Tengah, program ini sudah jalan, ke depan, rencananya setiap kabupaten/kota akan punya alat rontgen yang bisa keliling ke kecamatan. Ini kabar baik, karena semakin cepat kasus ditemukan, semakin cepat pula bisa diobati. Pepatah bilang “lebih baik menangkap ayam sebelum masuk sawah, daripada harus mengejar saat sudah terbang ke pohon”. Begitu juga dengan TBC, lebih mudah mencegah sejak awal ketimbang mengobati ketika sudah parah.
Meski topiknya serius, bukan berarti kita tidak bisa bercanda, anggap saja TBC ini seperti mantan pacar toxic, kalau dibiarkan, dia akan menggerogoti hidup perlahan. Satu-satunya cara lepas adalah berani hadapi, konsultasi dengan ahli (dokter), lalu ikuti aturan sampai selesai.
Bahkan Prof. Dante bilang, banyak kasus TBC salah diduga maag, nah, kalau maag masih bisa diatasi dengan biskuit dan teh hangat, TBC butuh obat khusus selama berbulan-bulan. Jadi jangan keliru batuk lama bukan bahan stand up comedy, tapi sinyal tubuh yang perlu ditanggapi serius.
Kalau ditarik benang merah, ada tiga tantangan utama, antara lain deteksi dini, tanpa periksa gratis dan rontgen keliling, banyak kasus akan lolos dari radar. Kepatuhan berobat, minum obat TBC tidak bisa setengah jalan. Kalau berhenti di tengah, bakteri bisa kebal dan Stigma sosial, ini justru lebih berbahaya dari batuknya. Orang jadi malu periksa, akhirnya telat ditangani.
Artinya, program pemerintah harus jalan beriringan dengan edukasi publik. Tenaga medis bisa keliling, tapi kalau masyarakat masih percaya TBC itu penyakit kualat atau hasil santet, hasilnya ya mandek.
Di sini kita perlu ingat pepatah “malu bertanya sesat di jalan, malu periksa sesat di pengobatan”, jangan gengsi untuk periksa kesehatan. TBC bisa menyerang siapa saja kaya miskin, pejabat atau rakyat jelata. Bedanya, yang berani periksa lebih cepat sembuh, sementara yang malu-malu justru menanggung akibat lebih lama.
TBC bukanlah penyakit kutukan yang perlu disembunyikan, justru dengan terbuka, orang lain bisa ikut waspada dan terhindar dari penularan. Yang aib itu bukan sakitnya, tapi kalau sudah tahu sakit lalu cuek, enggan berobat, dan akhirnya menulari orang lain.
Pemerintah sudah memberi fasilitas, pemeriksaan gratis, rontgen keliling, hingga target ambisius menurunkan angka kematian. Tapi sebaik apapun program, kalau masyarakat masih dikepung stigma, hasilnya akan setengah hati. Karena itu, mari ubah cara pandang sakit bukan bahan gunjingan, melainkan alasan untuk saling peduli.
TBC bisa disembuhkan, asal kita tidak telat. Jangan malu, jangan takut. Kalau ada gejala, segera periksa, karena seperti kata pepatah Jawa “yen ora diobati, suket thukul, yen diobati, urip makmur”, kalau dibiarkan penyakit tumbuh, kalau ditangani hidup lebih sejahtera.
Jadi mulai sekarang, kalau ada tetangga batuk lama, jangan malah kasih komentar nyinyir, ajaklah ke Puskesmas, ingat, TBC bukan kutukan, tapi penyakit yang bisa sembuh.[***]