PERNAH nggak kepikiran kalau obrolan receh di warung kopi yang biasanya dimulai dengan kalimat sakti “katanya…” sebenarnya bisa jadi aset miliaran rupiah kalau direkam, dikemas, lalu diunggah jadi podcast? Nah, inilah yang sekarang lagi rame pasar audio digital. Dari radio, podcast, sampai streaming, semua sedang naik daun. Dan lucunya, Indonesia kebagian panggungnya lewat Radiodays Asia 2025 yang pertama kali digelar di luar Malaysia, tepatnya di Jakarta.
Kalau pepatah bilang, “ada gula ada semut”, maka di dunia audio “ada audiens, ada investor yang ngintip peluang”. Radiodays Asia ini bukan sekadar ajang seminar serius, tapi kayak pameran jajan pasar, investor global datang, liat-liat, coba-coba, siapa tahu ada startup audio, studio podcast, atau teknologi AI lokal yang bisa dibawa pulang dan digarap besar-besaran.
Bayangkan Indonesia ini kayak sound system raksasa, penduduk 270 juta jiwa itu ibarat speaker aktif: sekali dinyalain, suaranya menggema sampai tetangga sebelah. Nah, dengan konsumsi digital yang makin gila-gilaan, Indonesia otomatis jadi “test market” yang seksi banget buat para investor audio.
Mau bikin aplikasi podcast? Uji coba di Indonesia, mau eksperimen iklan audio interaktif? Taruh di sini dulu. Bahkan teknologi AI buat dubbing suara pun bisa dicoba di pasar kita yang terkenal kreatif plus doyan hiburan.
Kementerian Ekraf paham betul, Radiodays Asia 2025 bukan cuma buat pamer pidato, tapi buat narik duit, eh, maksudnya narik investasi, kalau berhasil, subsektor audio bisa jadi mesin ekonomi baru. Bukan mustahil tukang rekaman kamar bisa jadi pengusaha, asal punya ide dan telinga investor yang pas.
Biar nggak kayak orang nyasar, mari kita tengok tiga negara yang udah jagoan memanfaatkan audio buat investasi dan ekonomi kreatif.
Korea Selatan – K-Pop Bikin Dunia Joget
Dulu Korea juga biasa-biasa aja. Tapi begitu mereka ngegas di industri musik, muncul BTS, Blackpink, dan kawan-kawan. Audio (musik) jadi alat diplomasi ekonomi.
Bukan cuma jual lagu, tapi juga jual budaya, pariwisata, sampai produk mie instan. Nah, siapa bilang Indonesia nggak bisa bikin versi audio kita sendiri? Bayangin kalau ada “Podcaster Indonesia” yang bisa mendunia, kayak Joko & Joni Show trending di Spotify global.
Amerika Serikat -Podcast Jadi Duit Serius
Amerika itu rajanya podcast, dari Joe Rogan sampai serial investigasi yang bikin orang ketagihan, pasar podcast di sana jadi tambang emas. Iklan miliaran dolar nyangkut di sana.
Bedanya, kalau di kita podcast kadang masih buat curhat receh, di sana udah jadi bisnis profesional. Artinya, kalau serius, Indonesia juga bisa bikin podcast bukan cuma buat “ngisi waktu pas macet”, tapi juga jadi mesin cuan.
India – Bollywood Audio Story
India itu ibarat pabrik hiburan dunia. Film, musik, bahkan radio lokal mereka masih hidup subur. Baru-baru ini, platform audio digital India juga meledak karena mereka rajin masukin cerita rakyat, drama audio, sampai konser virtual. Mereka paham, pasar domestik gede itu modal utama. Indonesia juga punya cerita rakyat segudang, tinggal dibungkus digital, wayang, legenda nusantara, sampai horor kos-kosan bisa jadi konten global.
Nah, tiga contoh itu ngasih kita pelajaran audio bukan sekadar suara, tapi investasi budaya plus bisnis.
Bayangin begini dulu bapak-bapak bangga kalau bisa jadi penyiar radio, sekarang, anak muda bangga kalau podcast-nya trending di Spotify. Besok-besok, bisa jadi ada startup lokal yang bikin AI pengganti MC hajatan, jadi orang kawinan tinggal bilang “Alexa, bukain acara mantenan dong!”
Kocaknya, inovasi audio ini ternyata bisa bawa duit serius. Investor global yang datang ke Radiodays Asia 2025 itu ibarat emak-emak di pasar, mereka bakal pegang-pegang dagangan, nawar harga, lalu beli yang dianggap paling menguntungkan. Bedanya, barang yang mereka cari bukan cabe rawit, tapi ide kreatif audio digital Indonesia.
Pepatah Jawa bilang, “Witing tresno jalaran soko kulino”, kalau kita kebiasaan cuma dengerin konten luar negeri, kapan orang luar bisa jatuh cinta sama konten kita? Radiodays Asia 2025 ini kesempatan emas buat Indonesia bukan cuma jadi pasar audio, tapi juga jadi produsen audio yang dikonsumsi global.
Kalau Korea bisa dengan K-Pop, Amerika dengan podcast, dan India dengan drama audio, kenapa Indonesia nggak bisa dengan kearifan lokal yang kita punya? Asal konsisten, bukan nggak mungkin 2045 nanti dunia ikut dengerin Podcast Ketoprak Modern atau Serial Audio Horor Pocong Goes Global.
Radiodays Asia 2025 di Jakarta adalah tanda bahwa Indonesia bukan cuma penonton, tapi bisa jadi pemain besar di pasar audio digital global. Dengan 270 juta penduduk, kreativitas tanpa batas, dan momentum sebagai tuan rumah, Indonesia punya peluang besar untuk narik investasi dan jadi hub audio digital Asia.
Jadi, kalau dulu radio cuma buat dengerin dangdut koplo pas ngeronda, sekarang audio digital bisa jadi jalan kita menuju Indonesia Emas 2045. Ingat pepatah “Air beriak tanda tak dalam, tapi audio berisik tanda investasi makin jalan”.[***]