ADA sebuah kota kecil misalnya, yang dulu terkenal dengan irama gamelan sore dan aroma jenang dari dapur-dapur tua, kini yang terdengar hanyalah deru beton molen dan denting palu godam membangun apartemen. Lurahnya bangga bukan kepalang, katanya “Kota kita maju! Pendapatan daerah naik, hotel tumbuh, dan kafe berderet!” Tapi tak sadar, patung penari yang dulu jadi simbol kota malah digeser buat tempat parkir mobil pengunjung pusat perbelanjaan.
Nah, di sinilah kita mulai masuk ke persoalan besar ketika pembangunan ekonomi dikebut, seperti anak kos ngejar bus jurusan akhir bulan, sementara budaya ditinggal di halte, sendirian, bawa koper berisi sejarah yang makin berat.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, dalam Rakernas XI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) 2025 di Yogyakarta, sudah memberi peringatan manis tapi menohok. Kata beliau, pelestarian kota pusaka bukan sekadar urusan selfie di bangunan tua, tapi bagian penting dari Asta Cita, mimpi besar Indonesia untuk jadi negara maju, sejahtera, dan tetap punya akar budaya yang kuat.
“Kalau kita satu frekuensi,” kata Bima, “urusan budaya dan pusaka ini jadi modal luar biasa menuju Indonesia Emas 2045.” Ibaratnya, ekonomi itu nasi, budaya itu sambel. Nasi banyak tapi nggak ada sambel, hidup terasa hambar. Tapi sambel doang tanpa nasi, ya… bikin perut panas, kudu seimbang.
Misalnya kamu punya rumah tua bergaya kolonial yang instagramable, tapi karena dianggap usang dan gak “cuan-able”, malah dibongkar jadi minimarket. Padahal kalau dikelola kreatif, bisa jadi homestay bersejarah atau museum tematik.
Lihat aja di luar negeri, kota-kota seperti Kyoto di Jepang atau Bruges di Belgia justru jadi kaya bukan karena mal megah, tapi karena mereka merawat sejarah dengan cermat.
Bima menyebut tiga hal penting Kota pusaka bukan hanya cantik, tapi punya nilai ekonomi, pelestarian itu harus berkelanjutan lintas pemimpin bukan sekadar proyek pas kampanye, dan warisan budaya itu penguat identitas dan karakter kota.
Kalau boleh nambahin, saya tambahkan satu “Kota pusaka itu seperti nenekmu yang suka ngelus-elus cucunya sambil bercerita tentang masa lalu. Kelihatan tua, tapi penuh makna dan pelajaran hidup”
Bima menyoroti banyak Pemda cuma ngejar angka pertumbuhan ekonomi. Dikit-dikit PDB, investasi, target pertumbuhan, dan proyeksi grafik Excel. Tapi ketika ditanya, “Masih ingat nggak tari tradisional asli daerahmu?” Mereka cuma cengar-cengir kayak mahasiswa ditanya dosen killer.
“Ngejar angka-angka cepat, tapi pelestarian budayanya dikorbankan,” ujar Bima.
Pepatah bilang “Karena mengejar layangan, sapi ditinggal masuk sawah” Lah, ini malah budaya ditinggal masuk jurang.
Di tengah kritik, Bima memberi harapan, ia memuji Kabupaten Buton Tengah (Buteng) yang mulai mengembangkan potensi laut dan wisata unik berbasis budaya. Artinya, ada cara kok buat mendongkrak ekonomi tanpa harus membongkar warisan sejarah, bahkan bisa dijadikan sinergi budaya naik, ekonomi pun makin mantap.
Jangan pembangunan terus diisi kontraktor dan konsultan, tapi juga ajak budayawan, sejarawan, dan arsitek ngobrol bareng. Bukannya makin ribet, justru makin kaya perspektif.
Seperti kata Albert Einstein, bukan tetangga kita di RT sebelah “Imagination is more important than knowledge.” (The Saturday Evening Post, 1929). Einstein bilang imajinasi lebih penting dari pengetahuan, karena pengetahuan itu terbatas, tapi imajinasi bisa menjangkau seluruh dunia. Lah iya, itu bukan kalimat endorse iklan kopi, tapi pernyataan fisikawan dunia yang jenius itu sendiri.
Kalau pembangunan cuma fokus pada angka pertumbuhan ekonomi, sementara budaya dilupakan, kita sedang membangun rumah megah di atas fondasi yang rapuh. Indonesia tidak hanya butuh gedung tinggi, tapi juga cerita panjang. Cerita yang bisa dibacakan ke cucu-cucu kita kelak, sambil duduk di beranda rumah pusaka yang masih berdiri.
Karena budaya bukan sekadar acara 17-an. Budaya adalah napas, akar, dan suara masa lalu yang masih membimbing masa depan.
Jadi kalau kamu Pejabat, Lurah, atau Kepala Dinas, tolong deh, jangan cuma bangga ngebangun flyover baru. Lihat juga jembatan tua yang punya cerita cinta rakyat. “Jangan bangun kota seperti orang masak mie instan, cepat jadi tapi cepat lupa.
Bangunlah seperti nenek masak opor lama, penuh bumbu, dan bikin semua generasi betah ngumpul di meja makan.[***]