Seni & Budaya

“Mata-mata Budaya – Ketika DKP Kirim Detektif Seniman ke Yogyakarta”

ist

SIAPA bilang tugas negara itu selalu serius, berkeringat, dan penuh tekanan seperti jadi wasit di final Liga Champions? Coba tengok Dewan Kesenian Palembang (DKP), yang belum lama ini mengeluarkan surat tugas bernomor segede pintu kereta api -026/ST/DKP/VIII/2025- untuk mengirim tim pemantau ke Festival dan Rakernas XI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) 2025 di Yogyakarta.

Tapi jangan bayangkan pemantau ini seperti detektif ala film action yang lompat dari gedung ke gedung sambil bawa walkie-talkie. Nggak, Bung. Tim ini lebih mirip wartawan budaya undercover, hadir di tengah pementasan, diam-diam nyimak tari-tarian, lalu pulangnya bawa oleh-oleh berupa catatan dan inspirasi.

DKP menugaskan lima orang pilihan Faldy Lonardo (Ketua tim), plus empat pendekar seni lainnya, Irfan, Imansyah, Febri Zulian, dan Kemas Ari Panji. Mereka bukan pemain sinetron, tapi kalau disuruh tampil di panggung, kemungkinan besar mereka juga nggak nolak.

Kali ini tugas mereka bukan untuk tampil, melainkan memantau mengamati seniman Palembang yang ikut tampil, mengukur seberapa besar guncangan budaya yang berhasil ditimbulkan, dan mencatat apakah koreografi penari Palembang lebih menggoyang dibanding penari dari kota lain. Ibarat juri MasterChef, tapi khusus urusan budaya dan bukan untuk ngomentari plating makanan.

Langkah DKP ini sebenarnya keren banget, di tengah dunia seni yang sering kali sibuk tampil tapi lupa mengevaluasi, keberadaan tim pemantau seperti ini ibarat kaca spion bagi mobil kebudayaan Palembang. Kita ini sering gaspol tampil di berbagai ajang, tapi kadang nggak sempat nengok ke belakang, sudah sejauh mana dampaknya?. Sudah sampai mana jaringan yang kita bangun?, nah, tim ini hadir untuk menjawab itu semua.

Mereka bukan cuma hadir lalu pulang bawa sandal hotel, tapi bawa laporan, rekomendasi, dan mungkin juga ide gila yang bisa disulap jadi program seni tahun depan. Bayangkan kalau dari pengamatan itu muncul program “Ngamen Sastra di Atas Kapal Ketek” atau “Opera Pempek Kisah Cinta Cuko dan Laksan”- nggak mustahil, bro!

JKPI sendiri bukan acara ecek-ecek, lima hari penuh, dari pagi sampai malam, isinya pertunjukan budaya, rapat antar kota pusaka, pameran UMKM, hingga wisata ke situs sejarah,  semacam maraton budaya yang bisa bikin otak dan perut sama-sama kenyang.

Di sinilah pentingnya pemantauan, Palembang harus hadir bukan cuma sebagai kota dengan jembatan estetik dan makanan penuh kolesterol bahagia, tapi juga kota dengan seniman yang eksis, aktif, dan mampu bikin orang kota lain bertanya, “Eh, itu penampil dari mana sih? Keren juga!”

Secara tidak langsung, tim pemantau ini juga jadi duta branding, mereka ngobrol dengan komunitas seni dari daerah lain, saling tukar kartu nama (atau minimal tukar nomor WA), dan itu bisa jadi cikal bakal kolaborasi.

Hari ini ngobrol di Yogyakarta, siapa tahu tahun depan bikin festival bareng di Palembang. Ingat pepatah lama “Kalau mau punya teman, jangan pelit senyum dan sinyal”.

Oleh karena itu, kehadiran tim ini, walau tanpa pentas, membawa dampak memperluas jaringan, membuka kemungkinan baru, dan membuat Palembang hadir di percakapan nasional soal budaya.

Jadi, kalau kamu melihat lima orang dari Palembang berjalan dengan clipboard, kamera, dan mata awas di tengah keramaian budaya Jogja, jangan dikira mereka sedang cari nasi kucing. Bisa jadi mereka sedang mencatat sejarah kecil, yang nantinya akan berbuah besar, karena kadang, perubahan itu dimulai dari mengamati bukan hanya beraksi. Dan DKP tahu, di balik setiap gerakan penari dan bait syair, ada makna yang layak dicatat, lalu dibawa pulang ke Bumi Sriwijaya.

Seperti pepatah warung kopi bilang, “Kalau nggak bisa joget di panggung, minimal ngerti nadanya, jangan tepuk tangan pas lagi sedih!”

Tim pemantau ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi jadi mata dan telinga Palembang di dunia seni, tampil itu penting, tapi yang diam-diam nyatet kadang lebih berpengaruh. Budaya butuh yang manggung, tapi juga yang mikir, karena seni itu kayak sambal terasi nggak harus semua doyan, tapi yang ngerti, pasti nagih dan nyari lagi!.[***]

Terpopuler

To Top