Inspirasi

“BUKU DIARI PAGI” dari Ruang Tamu: Rapat Burung Gereja, Kopi & Sepagi-pagi Dji Sam Soe

ist

PAGI itu, Jumat.

Jarum jam menunjuk pukul 06.00 WIB, tapi penghuni ruang tamu ini sudah bangun sejak adzan subuh berkumandang. Setelah merapikan selimut dan bernegosiasi dengan rasa kantuk, ia duduk di depan laptop butut tapi berjasa, di ruang tamu yang lebih sering jadi ruang inspirasi.

Di hadapannya, secangkir kopi pahit dan kental mengepul pelan. Di sela jari, sebatang Dji Sam Soe menyala, menghembuskan pagi yang tak lagi dingin, tapi belum sepenuhnya hangat.

Dari balik jendela di atas teras rumahku, suara burung gereja terdengar riuh di atas seng teras rumah ku, sekali -sekali burung menggemaskan tubuhnya diseng, ntah marah, ntah bergurau. Karena aku tidak tahu bahasa mereka, mungkin mereka seperti sedang membahas RUU Kesejahteraan Unggas. Ada yang nyanyi, ada yang ngerumpi, ada juga yang cuma manggut-manggut kayak moderator Zoom yang sinyalnya ngadat.

Di luar, ibu-ibu berhijab mulai bermunculan.
Ada yang melenggang ke warung sayur sambil bawa dompet dan daster motif bunga nuklir.
Ada yang nyapu jalanan depan rumah, sekali-sekali melirik langit yang pagi itu tampak bimbang antara ingin cerah atau ngajak hujan dadakan.

Langit memang tak sepenuhnya terang. Tapi juga tak gelap.
Seperti pedagang nasi uduk dipagi hari kadang ramai kadang sepi.

Dan saat burung prenjak hinggap di jendela, ia sempat nulis status
“Prenjak pun tahu, hidup tak selalu linear. Kadang naik, kadang nyusruk ke got belakang dapur”

Tiba-tiba seekor kucing kampung lewat depan pintu.
Jalan pelan, matanya sipit, kayak habis begadang nonton telenovela.
Si penulis menatapnya penuh hormat, karena hanya makhluk seperti itu yang bisa rebahan 22 jam sehari tanpa ditagih produktivitas.

Dan di tengah suasana yang setengah mistis setengah kocak itu, lahirlah puisi pagi

Puisi Kopi dan Burung

Di antara seruput dan hisapan,
Terdengar suara burung nyinyir di pepohonan.
“Hidup tuh gitu, bro,” katanya lantang,
“Kadang lo ngetik panjang, yang baca cuma Mamang.”

Tapi tak apa,
Pagi tetap punya rasa.
Walau bukan gula asli,
Yang penting masih bisa tertawa sendiri…..

Di ruang tamu itu, aku menulis duduk tenang.
Kopi pahit kental kuteguk perlahan. Asap rokok mengepul pelan.
Dan jemari mulai menari di atas keyboard, menulis catatan pagi yang tidak muluk-muluk. Hanya ingin mengingatkan bahwa Hidup itu nggak harus selalu terang benderang. Kadang cukup seperti pagi berawan  adem, tenang, dan nggak maksa.

Di luar, burung-burung masih berceloteh.
Ibu-ibu masih mondar-mandir.
Tapi di dalam ruang tamu kecil itu, lahir sepotong pagi…
Yang diseduh dari kopi pahit kental, dihisap dari sebatang rokok, dan ditulis dari hati yang belum sepenuhnya pulih… tapi cukup kuat buat menertawakan hidup.

Dan belum sempat mengetik paragraf terakhir, perut mulai kirim sinyal rahasia  bunyi gluduk pelan dari dalam perut yang berarti, ‘Waktunya ritual pagi. Mari kita absen dulu ke kamar mandi.’

The end (tapi esok lanjut ke babak berikutnya)[***]

Terpopuler

To Top