DI sebuah ruangan canggih bernama Sumsel Command Center, konon katanya mampu memantau segala hal kecuali status mantan, Pak Sekda Edward Candra duduk menyimak rapat daring nasional dengan khidmat.
Bukan rapat biasa, ini adalah Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi dan Evaluasi Dukungan Program 3 Juta Rumah, sebuah judul rapat yang panjangnya seperti antrian minyak goreng saat pandemi.
Dipimpin langsung Mendagri Tito Karnavian, rapat ini membahas dua hal, bagaimana mengendalikan inflasi yang mulai centil kayak harga cabai rawit di musim kemarau, dan bagaimana menyiapkan rumah untuk rakyat yang penghasilan bulanannya masih berasa seperti kuota gratis dari operator, ada tapi tipis.
Menteri Tito berbicara dengan gaya khasnya tegas, jelas, dan penuh strategi, beliau menegaskan Program 3 Juta Rumah bukanlah sekadar proyek gincu politik yang dibilang “gratis” tapi ternyata nyicil 30 tahun.
Ini program strategis yang serius, seperti hubungan yang sudah dikenalkan ke orang tua. Jadi, daerah harus terlibat bukan hanya sebatas menyimak, tapi juga menyumbang data valid dan tanah yang bukan bekas lapangan sepak bola karang taruna.
Di sinilah letak tantangannya, membangun rumah butuh tanah, dan tanah di banyak daerah kadang sudah penuh oleh ruko, perumahan mewah, atau monumen perjuangan yang bentuknya tak jelas. Namun jangan panik.
Dirjen Perumahan dari Kementerian PUPR, Pak Imran, memberi pencerahan bahwa ada solusi gunakan lahan negara yang nganggur, seperti pakde-pakde yang pensiun dini tapi masih suka duduk di pos ronda, lahan tidur pun bisa dibangunkan kembali untuk menampung rumah rakyat.
Tengok India, di negeri Bollywood itu, mereka punya program Pradhan Mantri Awas Yojana yang sukses membangun jutaan rumah bagi warga berpenghasilan rendah.
Mereka kolaboratif pusat kasih duit, daerah siapkan lahan, warga gotong royong. Bahkan ada skema rumah vertikal dengan rooftop taman cabe dan dapur umum. Nah, ini bisa dicontek, minimal buat inspirasi. Daripada lahan tidur dipakai buat tempat uji nyali, mending jadi kompleks rumah murah rasa nyaman.
Di Indonesia sendiri, Kota Surabaya pernah bikin gebrakan dengan program rumah susun murah yang dekat pasar, sekolah, dan… halte ojek online. Prinsipnya jelas rumah rakyat harus dekat sumber hidup, bukan sumber macet.
Lalu, kita bicara soal inflasi, di Musi Banyuasin, misalnya, IPH naik 3,73% dan yang paling berjasa adalah… cabai rawit. Si kecil mungil merah merona ini ternyata bisa menggetarkan indeks. Bayangkan, cabai rawit menyumbang 0,703%. Bukan main. Ini seperti peran cameo di sinetron yang screentime-nya 30 detik tapi bikin rating melonjak.
Inflasi juga digerakkan oleh beras yang naik 1,98% di Sumsel. Ini artinya, lauk makin pedas, nasi makin mahal, dan rakyat makin lihai mencari diskon di aplikasi belanja online. Kalau begini terus, bukan tidak mungkin nanti akan lahir strategi baru barter cabai dengan sewa rumah, atau program subsidi beras untuk yang mau ikut gotong-royong bangun fondasi rumah rakyat.
Setidaknya bikin rumah, tapi jangan lupakan sambal, program 3 Juta Rumah harus selaras dengan pengendalian harga kebutuhan pokok. Jangan sampai rakyat punya rumah bagus tapi dapurnya kosong, seperti pepatah Rumah megah tak berguna bila kompor tak menyala.
Gunakan tanah nganggur jangan sampai tanah malu bertanya, sesat di mufakat, lahan negara yang tidur perlu dibangunkan. Jangan sampai tanah bingung sendiri, “Aku milik negara, tapi kenapa jadi tempat parkir truk tua dan kandang ayam liar?:”
Libatkan rakyat sejak awal, dari data ke bata, pendataan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) jangan asal ketik di spreadsheet. Harus lewat pendekatan sosial, mungkin perlu safari data sambil ngopi bareng warga, karena, rumah bukan sekadar tempat tidur, tapi simbol harapan.
Sosialisasi dengan gaya kekinia, desa-desa jangan hanya pasang spanduk bertuliskan “dilarang buang sampah sembarangan”. Tambahkan juga “Lahan Ini Akan Dibangun Rumah Harapan. Doakan Lancar, Ya!”. Bisa viral dan mengundang investor gotong royong.
Membangun rumah untuk rakyat bukan sekadar mengejar angka 3 juta unit. Ini tentang bagaimana negara hadir, bukan sebagai kontraktor, tapi sebagai pengayom. Dari dapur ke halaman, dari pondasi ke plafon, rumah harus menjadi tempat tumbuhnya cita-cita bukan sekadar tempat berlindung dari hujan.
Dan Sumatera Selatan, dengan Sekda yang menyimak setia, berada di jalur yang tepat. Tinggal gas sedikit lagi, sambil sesekali tengok harga cabai. Karena seperti kata orang tua “Harga cabe itu seperti hati mantan susah diprediksi, tapi selalu bikin perih kalau naik mendadak”.
Kita bangun rumah harapan, dengan atap impian, dinding kebersamaan, dan pondasi data yang valid. Kalau cabai rawit saja bisa mengguncang inflasi nasional, apalagi rakyat yang bersatu?.[***]