“Air tenang jangan disangka tak dalam, laut tenang jangan dikira tak menyimpan duka”
MUNGKIN begitu bunyi pepatah baru yang lahir dari perairan Kendawangan, Kalimantan Barat, setelah dua ekor dugong si pemalu penjaga padang lamun ditemukan tak bernyawa hanya dalam hitungan hari beberapa hari lalu.
Dugong, Mamalia laut yang tak suka keramaian, makannya pun vegetarian, dan konon termasuk pendiam kelas berat di dunia bahari. Tapi justru dari diamnya, laut bisa bicara bahwa kini sedang terjadi sesuatu yang tidak baik-baik saja.
Bayangkan, dalam waktu tiga hari saja, dua ekor dugong ditemukan mati. Yang pertama tersangkut jaring nelayan. Yang kedua menyusul, terdampar di sekitar Pulau Cempedak. Dugong bukan satwa biasa, ia dilindungi penuh. Masuk dalam daftar Apendiks I CITES dan digolongkan vulnerable alias rentan oleh IUCN. Tapi sayang, perlindungan di atas kertas kadang kalah cepat dari nasib di lapangan.
Perairan di sekitar Lagan Belanda, Kendawangan, sebetulnya tenang dan mempesona, tapi tenang di permukaan seringkali menipu.
Laut ini menyimpan cerita duka dari mamalia laut yang diam-diam menjaga ekosistem. Dugong makan lamun, lamun menjaga pasir pantai tetap tak hanyut, pasir pantai membuat laut tetap ramah. Semua terhubung. Tapi siapa yang peduli?
Kadang kita manusia ini seperti tamu pesta yang seenaknya datang, bikin rusuh, lalu pulang tanpa pamit. Sementara si tuan rumah, dalam hal ini dugong dan kawannya, harus membereskan semuanya atau malah tak sempat membereskan apa-apa karena sudah keburu mati terjerat jaring.
Begitu informasi masuk dari Yayasan IAR (Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia), semua pihak langsung tancap gas. Tim dari Pokdarwis angkat bangkai dugong, dermaga Pulau Cempedak jadi posko darurat, dan nekropsi dilakukan bareng YIARI, Lanal Ketapang, dan Pemdes setempat.
Yang bikin miris, bahkan penguburan dilakukan di markas militer, seolah dugong ini veteran perang yang gugur demi menjaga bumi. Ya, mungkin memang begitu, ia gugur melindungi ekosistem, tapi manusialah yang membuatnya mati.
Tiga hari berselang, kejadian serupa terulang. Dugong kedua terdampar dengan tubuh tak bernyawa. Kali ini tim WeBe Konservasi ikut turun tangan. Nekropsi kedua, penguburan kedua, dan pertanyaan besar yang sama masih menggantung kenapa ini bisa terjadi? dan… sampai kapan?
Dugong bukan paus pembunuh yang bisa lompat indah atau lumba-lumba yang bisa salto minta ikan, ia makhluk pemalu, lebih suka menyendiri, dan hidupnya tergantung pada padang lamun yang kini makin tergerus. Ia tidak protes, tidak bikin kerusuhan, tidak bikin konten. Tapi justru karena itulah, keberadaannya nyaris tak terdengar.
Padahal, kalau boleh bicara, mungkin dugong akan berkata, “Aku cuma mau makan lamun, nyantai di pasir, dan hidup damai, kenapa susah amat, sih?”
KKP sudah betul edukasi masyarakat soal penanganan biota laut yang dilindungi harus terus digencarkan. Tapi lebih dari itu, perlu ada solusi konkret di lapangan. Edukasi tanpa pengawasan, itu seperti ceramah tanpa nasi kotak didengarkan sebentar, lalu dilupakan.
Nelayan perlu diajak bicara, bukan dimarahi, kalau jaring mereka membahayakan dugong, cari solusi bersama. Ganti alat tangkapnya? Boleh. Tapi jangan sampai itu jadi beban berat bagi nelayan kecil. Pemerintah harus hadir, bukan hanya saat nekropsi, tapi saat solusi dibentuk.
Syarif Iwan Taruna Alkadrie, Kepala BPSPL Pontianak, benar kolaborasi adalah kunci, dari Pokdarwis, Yayasan, TNI, desa, semua bergerak, tapi ini baru respons. Belum preventif, ke depan, perlu sistem deteksi dini, zonasi konservasi yang ketat, dan yang tak kalah penting empati kolektif.
Empati itu bukan sekadar ikut sedih lihat bangkai dugong namun ikut berubah. Berubah cara menangkap ikan, cara membuang sampah, cara memperlakukan laut sebagai sahabat, bukan sekadar lapak rezeki.
Kematian dua dugong ini bukan akhir cerita, akan tetapi alarm keras yang mengetuk nurani. Dugong tak bisa demo. Ia hanya bisa diam dan mati.
Seperti kata orang bijak, “Bukan karena mereka tak bersuara maka kita diam, tapi karena kita diam, mereka tak bersuara lagi”.
Jadikan kematian mereka sebagai awal dari gerakan besar menyelamatkan laut, menyelamatkan padang lamun, menyelamatkan dugong, dan kalau boleh jujur menyelamatkan diri kita sendiri.
Karena kalau dugong punah, jangan harap pantai tetap utuh, kalau lamun rusak, jangan salahkan abrasi. Kalau laut mati, jangan pura-pura kaget waktu ikan hilang dari piring. Mari bergerak, sebelum dugong jadi kenangan, dan laut tinggal dongeng.[***]