Sumselterkini.co.id, -Jakabaring mungkin adem-adem panas akibat suhu bumi meningkat tajam, tapi suasana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Sumsel Babel cukup adem, maklum, AC sentral dan minuman yang bikin tak kering tenggorakan, apalagi kopi panas gratisan bikin mata tak ngantuk, kepala pun ikut dingin, meski isi laporan keuangan bikin mumet otak dengan suguhan angka.
Hadir di tengah kemilau layar proyektor dan jargon “transformasi digital”, Bupati Musi Banyuasin, Pak H. M. Toha, terlihat semangat menatap masa depan. Tapi, mari kita luruskan sedikit jangan sampai terlalu semangat menuju masa depan digital, tapi dompet rakyat tetap tinggal di masa lalu.
Digitalisasi bank daerah salah satu dibahas sangat menarik, itu ibarat ngajarin nenek bikin TikTok, niatnya bagus, tapi jangan sampai lupa ngajarin cara buka aplikasinya dulu sesuai tema RUPS tahun ini “Peningkatan Perekonomian Daerah melalui Transformasi Digital”.
Tema itu terdengar ciamik seolah-olah kalau kita cukup banyak menekan tombol digitalisasi, ekonomi bisa langsung berubah bahkan melesat kayak saldo e-wallet pas baru gajian. Namun perlu diingat, tidak semua rakyat Muba (apalagi yang tinggal di Dusun Pangkalan Nyirih atau perbatasan Bayung Lencir) kenal dengan kata QRIS, apalagi tahu bedanya dengan krisis.
Bupati Toha bilang bahwa Bank Sumsel Babel perlu menjangkau masyarakat desa, betul itu, pak,… benar itu pak…mari tepuk tangan dulu….!, sebab kalau cuma canggih di kota tapi lelet di desa, itu bukan transformasi digital, tapi transformasi pepesan kosong berteknologi tinggi. “Jangan sampai bank-nya seperti mall besar tapi parkirannya sempit dari jauh mewah, tapi rakyat ogah masuk”.
Lihat contoh Bank Jago di Indonesia branding-nya anak muda, aplikasinya luwes, walau nggak ada kantor cabang di pelosok, tapi bisa kasih pinjaman dengan dua kali klik dan verifikasi wajah, bahkan di luar negeri? KakaoBank dari Korea Selatan sukses merangkul generasi rebahan dengan layanan full digital, bedanya dengan beberapa bank daerah kita?. KakaoBank tahu cara merayu hati rakyat pakai fitur, bukan cuma baliho dan brosur.
Nah, ini contoh menarik bapaknya semua bank pedesaan!. Didirikan Prof. Muhammad Yunus (yang kemudian dapet Nobel Perdamaian), Grameen Bank fokus memberi pinjaman mikro tanpa agunan ke masyarakat miskin dan pedesaan, terutama ibu-ibu rumah tangga di desa. Logikanya sederhana kalau ibu-ibu bisa pinjam buat beli ayam atau bahan usaha kecil, nanti bisa mandiri dan melawan kemiskinan. Perumpamaannya “Kalau Grameen Bank itu kayak warung kopi keliling yang ngerti selera warga, bukan cafe mahal yang jualan latte susah dibaca”.
NAB Agribusiness Australia, bagian dari National Australia Bank (NAB), unit Agribusiness Banking ini fokus ke petani, peternak, dan komunitas desa. Mereka paham bahwa petani itu penghasilannya musiman. Jadi, sistem pembiayaannya nggak dipukul rata kayak cicilan mobil di kota. Mereka bikin model pembayaran berbasis musim panen atau produksi ternak.Perumpamaan “Kalau NAB ini kayak saudara jauh yang ngerti kamu cuma punya uang pas musim panen jagung, dia nggak maksa kamu bayar saat tanaman baru tumbuh”.
Balik lagi ke Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI), layak ditiru juga, di skala global BRI disebut-sebut sebagai contoh terbaik “rural banking” di dunia oleh banyak lembaga keuangan internasional. Mereka punya unit mikro hingga pelosok desa, bahkan ada program BRILink yang bikin warung tetangga bisa jadi agen bank. Ibaratnya “kalau BRI itu bukan sekadar bank, tapi kayak simpan pinjam RT yang diangkat jadi BUMN.”
Bank of Agriculture di Nigeria, bank itu fokus ke petani, peternak, dan pelaku agribisnis di pedalaman Nigeria. Mereka nggak cuma kasih kredit, tapi juga pelatihan dan pendampingan. Umpanya “Kayak kamu dikasih motor, sekalian diajarin cara nyetir dan dikasih helm, bukan cuma dikasih utang lalu ditinggal nikah sama orang lain”.
RaboBank di Belanda, asalnya dari koperasi petani, RaboBank dulunya adalah “co-op” kecil milik petani-petani susu di desa Belanda, sekarang memang sudah jadi raksasa global, tapi sampai sekarang mereka masih punya program khusus untuk pembiayaan pertanian kecil dan desa. Umpanya “RaboBank itu kayak mantan petani yang sekarang jadi konglomerat, tapi masih inget rasanya jadi buruh nyabit rumput di pagi buta”.
Jadi kalau Bank Sumsel Babel ingin tetap bersinar di tengah kompetisi, bukan hanya soal rapat tahunan, tapi bagaimana menyentuh kebutuhan sehari-hari masyarakat, nelayan yang ingin nyicil kapal pakai aplikasi, petani karet yang bisa tarik tunai tanpa perlu antre di kantor unit yang bukanya jam 9 tutup jam 11.
Ingat pepatah orang tua “Kalau mau berdagang di pasar, jangan cuma lihat langitnya terang, tapi pastikan lapakmu nggak bocor”. Begitu pula dengan perbankan digital, jangan cuma bangga dengan server dan sistem, tapi lupa koneksi internet warga kampung masih putus-sambung kayak hubungan mantan.
Dan soal ekspansi manajemen dan struktur permodalan? Wah, itu bahasa dewa-dewa langit, he..he, rakyat cuma mau tahu bisa pinjam nggak?, bunga berapa?, bayarnya jangan bikin makan mie rebus 21 hari.
Kalau digitalisasi perbankan ini ibarat perjalanan naik sepeda, maka jangan cuma sepeda listrik-nya yang kinclong, tapi pastikan juga ada jalan aspalnya. Jangan sampai rakyat disuruh naik sepeda digital di jalan berlubang sinyal, itu bukan transformasi, itu jebakan batman!.
Jadi, terus maju, Bank Sumsel Babel, namun majunya jangan pakai lari sprint elite Jakarta, yang jaraknya cuma dari WiFi ke ruangan meeting, majulah pelan-pelan tapi pasti, sambil ngajak emak-emak tani dan anak muda desa ikut serta, karena kalau tidak, ya percuma kita punya aplikasi secanggih langit, tapi saldo rakyat tetap nyangkut di kolong kasur. Digital boleh, tapi jangan sampai jadi “dagang online tapi nyimpennya di celengan ayam”.
Kalau bicara digitalisasi bank daerah, kadang-kadang itu mirip kayak kita beliin HP canggih buat Pak RT, tapi gak ajarin cara buka WhatsApp. Akhirnya HP-nya cuma dipakai buat center cari kunci pagar. Teknologi tanpa pendampingan itu ya jadi pajangan kayak punya kulkas dua pintu, tapi listriknya belum nyambung.
Bank Sumsel Babel harus hati-hati jangan sampai cuma sibuk ikut seminar fintech, tapi lupa bahwa di desa, ada simpan pinjam emak-emak arisan yang lebih laku dari ATM. Jangan cuma bangga dengan aplikasi pakai fingerprint kalau sidik jari petani kita masih belepotan lumpur habis nanam padi.
Lihatlah Grameen Bank yang ngasih pinjaman ke ibu-ibu tanpa agunan, atau RaboBank yang lahir dari petani, bukan dari kantor ber-AC. Bahkan Nigeria pun bikin bank buat petani, padahal kita sering nyepelein Nigeria kecuali pas nonton Piala Dunia.
Maka dari itu, mari kita akhiri dengan satu wejangan dari kakek saya, yang dulu pernah jadi bendahara kelompok tani meski cuma lulusan SD. Semoga Bank Sumsel Babel dan pemegang sahamnya bisa mendengarkan suara dari ladang, bukan hanya dari layar LCD, sebab, ekonomi itu bukan cuma soal angka dan bunga, tapi soal kepercayaan, kemudahan, dan kemampuan rakyat nyambung ke masa depantanpa kehilangan sendalnya di tengah jalan.[***]