PERIBAHASA dari judul tulisan ini mengingatkan kita untuk selalu hati hati-hati dalam berbicara. Apa yang kita bicarakan harus bisa dipertanggungjawabkan. Tentu sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan terlepas dari peristiwa komunikasi, baik komunikasi langsung (tatap muka) maupun melalui media, misalnya media sosial. Kalau bicara baik, baik isi dan bahasa yang digunakan akan menimbulkan kebaikan pula. Namun sebaliknya, jika bahasa yang dipergunakan selalu nengandung isi kebcencian dan permusuhan, akan banyak pula masalah yang dihadapi.
Seorang komunikan (pembicara) hendaklah selalu memperhatikan sikap bahasa dalam bertutur. Artinya, pembicara tesebut memperhatikan kesopanan bereaksi terhadap suatu keadaan sehingga dipelukan sikap mental dan perilaku dalam berbahasa.
Jika seseorang ingin mengungkapkan sesuatu kepada lawan bicaranya (penutur dengan lawan tutur), apa yang ingin diungkapkannya tersebut mempunyai makna atau maksud kalimat. Namun, dalam penyampainnya pembicara harus menuangkannya dalam ujud tindak tutur (Speech act), yaitu produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu yang dapat berujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah (Suwito, 1983:33).
Tindak tutur mana yang akan dipilih pembicara tergantung beberapa faktor, seperti dengan bahasa apa ia harus bertutur, kepada siapa ia harus menyampaikan tuturannya, dalam situasi bagaimana tuturan itu disampaikan, dan kemungkinan-kemungkinan struktur mana yang ada dalam bahasa yang dipakai.
Akhir-akhir ini “perang” kata sering dipertontonkan oleh orang-orang terkenal di dunia maya atau dapat disebut dengan istilah pegiat media sosial. Diksi yang digunakan sering kurang sesuai atau pas. Terkadang penggunaan bahasa metafora dipakai. Metafora merupakan pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan berdasarkan persamaan atau perbandingan. Disengaja atau tanpa sengaja, yang jelas pemakaian bahasa metafora tersebut telah menimbulkan multitafsir. Kata, frasa ataupun kalimat yang dilontarkan sering menjadi topik hangat dalam perbincangan di jejaring media sosial.
Apapun bisa menjadi viral melalui media sosial ini, baik perbuatan maupun bahasa atau tuturan. Salah satu contoh, kata “evolusi” bisa menjadi topik hangat atau trending topic di media sosial. Kata “evolusi” hanyalah sebuah kata yang artinya perubahan (petumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur atau perlahan-lahan (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI). Namun, kata tersebut dapat menjadi masalah apabila diucapkan oleh seseorang dalam situasi dan konteks yang berbeda.
Ada norma-norma atau aturan-aturan yang harus dipahami dalam berinterkasi (norms of interaction and interpretation). Norms atau norma menunjuk pada aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa yang boleh dikatakan atau tidak, bagaimana cara membicarakannya, terbuka, kasar dan sebagainya. Norma interaksi dicerminkan oleh tingkat hubungan sosial dalam sebuah masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa itu sendiri merupakan kesamaan sosial, keagamaan, budaya, kekeluargaan, pekerjaan maupun kesamaan-kesamaan bahasa yang digunakan.
Dari uraian tersebut dapat digambarkan apakah penutur dan lawan tutur itu mempunyai kesamaan-kesamaan yang telah disebutkan. Artinya, kalau tidak ada kesamaan tersebut, terjadilah mispersepsi seperti pada kasus kata “evolusi” di atas.
Tugas pendengar atau petutur dalam memahami ujaran adalah mengidentifikasi sesuatu yang dimaksud dalam ujaran tersebut. Acapkali kemampuan mengidentifikasi atau memaknai ujaran tersebut berbeda dengan yang dimaksud oleh pembicara atau penutur. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pemahaman dunia (knowledge of world) antara pembicara dengan pendengar.
Menutup tulisan singkat ini, seperti dalam hipotesis Sapir-Whorf bahwa jalan pikiran manusia dibentuk oleh bahasa yang digunakannya. Dalam artian, pikiran yang jernih dan teratur diucapkan dalam bahasa yang jernih dan teratur pula akan dapat menghindari peredaran produk-produk bahasa yang tidak bermutu dan kacau balau pula.[***]
Penulis:
Dr. Darwin Effendi, M.Pd.
Dosen Universitas PGRI Palembang