INDONESIA itu ibarat gudang rempah yang aromanya semerbak ke seluruh dunia, tapi anehnya masih suka beli bumbu instan dari luar negeri. Begitu pula dengan kecerdasan artifisial (AI), kita kaya bahasa, budaya, dan data, tapi sering kali masih mengandalkan teknologi impor. Kini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) bertekad mengubah cerita itu lewat program AI Talent Factory dan pembangunan Large Language Model (LLM) lokal yang benar-benar berjiwa Indonesia.
Kenapa penting?, karena AI itu kayak otak digital, kalau cuma pakai otak bikinan orang lain, ya… jangan kaget kalau jawabannya suka ngaco soal budaya kita. Bayangkan minta AI bikin pantun Betawi tapi jawabannya malah pantun gaya Shakespeare. Kan bisa bikin orang bilang “Ini AI apa stand-up comedy?”.
Indonesia punya lebih dari 700 bahasa daerah, itu artinya, bahan baku kita untuk bikin AI lokal segunung, tapi kalau nggak dimanfaatkan, ya percuma, sama aja kayak punya sawah luas tapi tiap hari masih beli beras dari warung sebelah.
Ada pepatah bilang, “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, kalau AI mau bermanfaat untuk rakyat, ya harus ngerti bahasa rakyat. Jangan sampai AI jago bahasa Inggris, tapi kalau disuruh jawab dalam bahasa Jawa halus, malah loading lama kayak sinyal di kampung halaman.
Mari kita lihat tiga contoh negara yang udah melangkah lebih jauh, Tiongkok, mereka punya Ernie Bot buatan Baidu, bahasa mandarin jadi raja di platform AI mereka. Hasilnya? rakyatnya bisa pakai AI tanpa harus minder sama buatan Barat, Korea Selatan, mereka dorong pengembangan AI dengan data bahasa Korea, supaya anak muda bisa belajar teknologi tanpa terjebak istilah asing.
Selain itu India, negeri Bollywood ini jagoan, mereka bikin AI yang bisa paham ratusan dialek lokal, misalnya orang desa bisa ngobrol dengan chatbot pakai bahasa sendiri tanpa harus kursus bahasa Inggris dulu.
Nah, kalau mereka bisa, kenapa kita harus puas jadi penonton? Indonesia bisa bikin AI yang ngerti logat Medan, bisa balas pantun Palembang, sampai ngerti guyonan khas Jogja.
Wamen Nezar Patria sudah wanti-wanti, kita butuh 9 juta talenta digital lagi, angka gede, tapi bukan mustahil, kalau generasi muda kita mau, mereka bisa jadi pengembang AI, bukan cuma user.
Seandainya mahasiswa Malang bikin AI khusus untuk bantu nelayan di pesisir Jawa, atau anak-anak Bandung bikin AI yang bisa bantu petani kopi. Itu bukan cuma keren, tapi bikin hidup masyarakat lebih gampang.
Sekarang banyak orang pakai AI impor buat bikin konten, desain, bahkan laporan. Sah-sah saja, tapi kalau semua hanya jadi pemakai, lama-lama kita kayak penonton konser yang cuma bisa jingkrak, sementara panggungnya diisi orang lain.
Pepatah bilang, “Kalau tidak bisa jadi tuan rumah, jangan selamanya jadi tamu”. Nah, di dunia AI, kita jangan selamanya jadi tamu. Sekali-kali harus bikin pesta sendiri, undang tamu, dan jadi tuan rumah yang disegani.
Peluangnya jelas, data bahasa dan budaya kita melimpah, pasar digital kita besar, anak muda kreatif bejibun, tantangannya juga segede gaban, yakni infrastruktur, dana riset, dan keseriusan pemerintah untuk konsisten.
Kalau strategi nasional AI ini berhasil, kita bisa punya LLM lokal yang bukan cuma pintar, tapi juga berjiwa Indonesia. AI bisa kasih rekomendasi resep gudeg, kasih wejangan ala dalang wayang, atau bikin pantun ala anak Betawi, unik dan relevan.
AI itu, seperti pisau dapur, kalau dipakai masak, bisa bikin keluarga kenyang, kalau salah pakai, bisa bikin tangan berdarah. Makanya, pengembangan AI lokal harus diarahkan untuk kebaikan bangsa, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan.
Indonesia tidak boleh puas jadi tukang ngekos di teknologi asing, kita punya sumber daya, punya anak muda cerdas, dan punya keberagaman budaya sebagai modal, belajarlah dari Tiongkok, Korea, dan India, kita harus berani bikin AI sendiri.
Jadi, kalau lain kali ada yang nanya, “AI Indonesia itu kayak gimana?” kita bisa jawab dengan bangga AI kita bukan cuma paham bahasa Inggris, tapi juga bisa ketawa kalau dengar dagelan Cak Lontong, karena pada akhirnya, AI terbaik adalah yang lahir dari tanah sendiri, tumbuh dengan bahasa sendiri, dan berakar pada budaya sendiri.[***]