ADA yang lucu, tapi serius di negeri ini, apa itu? jawabnya datanya makin canggih, dan makin banyak orang takut timbangan, tapi tenang aja, masalah itu, bukan karena berat badan, melainkan beratnya tanggung jawab negara memastikan semua rakyat kebagian rezeki dengan adil. Dan tahun ini, Presiden Prabowo Subianto bilang, urusan data sosial ekonomi kita udah nggak bisa main-main lagi.
Namanya Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) semacam “KTP-nya data kemiskinan”. Maksudnya satu orang, satu identitas, satu data, biar bantuan nggak lagi nyasar kayak sandal waktu salat Id. Bahkan Presiden bangga, menterinya sumringah, rakyat? Ya…., mereka paling cepat tahu kalau bantuan salah sasaran karena gosip lebih cepat dari Wi-Fi.
Akan tetapi jika dipikir-pikir, ide ini keren juga, sebab dulu data itu seperti mie goreng dimakan tengah malam, diacak-acak banyak tangan, nggak tahu siapa yang masak duluan, sekarang semuanya harus lewat satu dapur. Artinya, kalau nanti masih ada warga kaya yang nerima beras miskin, ya ketahuan siapa yang ngasih sendoknya, transparan, kan bro!.
Nah, setelah urusan data rapi, negara lanjut urus isi piring rakyat lewat program Makan Bergizi Gratis (MBG), di atas kertas, ini proyek ambisius banget karena 36,7 juta penerima manfaat cuma dalam setahun. Angkanya bikin pusing kalau dikonversi ke bungkus nasi, itu bisa nutup jalan tol dari Medan sampai Surabaya.
Tapi, Presiden ngasih wejangan “Ojo ngoyo”, jangan kejar angka, kejarlah kualitas, sebab ini peringatan yang menyejukkan, tapi juga menampar lembut, sering kali di negeri kita, laporan lebih cepat selesai ketimbang dapur yang baru nyala kompornya.
Yang menariknya, Prabowo juga nyentil soal standar kebersihan dan pengawasan, bukan cuma soal gizi, tapi soal disiplin, karena jangan sampai niat kasih makan sehat malah bikin perut mules berjamaah. Makanya beliau minta alat terbaik, sistem terbaik, dan niat terbaik. Kalau tiga itu nyatu, program ini bisa jadi resep kemanusiaan yang gurih tanpa micin.
Sekarang geser dikit ke program lain yang juga unik Cek Kesehatan Gratis (CKG), slogannya sederhana tapi nempel “Hadiah ulang tahun dari negara, kesehatanmu sendiri”
Lucu tapi jenius, karena siapa sih yang kepikiran, pas ulang tahun malah disuruh ngecek tensi? Tapi justru di situ esensinya biar kita tahu kondisi badan sebelum tahu jumlah ucapan di grup WhatsApp.
Sampai Oktober 2025 disebutkan 43 juta orang udah manfaatin program ini. Angka itu kayak jumlah undangan mantan kalau mereka semua datang pas reuni. Tapi di balik data itu, ada semangat mulia, yaitu pencegahan lebih murah dari pengobatan. Negara pengin rakyatnya nggak cuma panjang umur, tapi juga panjang akal buat jaga diri.
Bayangin suasana Puskesmas tiap pagi, ada yang datang bawa KTP sambil tersenyum, “Bu, saya ulang tahun hari ini, tolong dicek kolesterolnya”. Ada juga yang ngeluh, “Saya ulang tahun kemarin, boleh mundur sehari nggak?”. Nah, beginilah khas Indonesia, aturan bisa lentur kalau dibumbui senyum. Tapi yang penting, rakyatnya mulai peduli sama kesehatan sendiri. Itu nilai plus yang nggak bisa dihitung pakai kalkulator APBN.
Awasi
Kalau ditarik benang merahnya, tiga program ini, yaitu soal data tunggal, makan bergizi, dan cek kesehatan gratis, ibarat segitiga emas kesejahteraan. Satu urus otak, satu urus perut, satu urus jantung. Negara yang sehat harus punya tiga itu, sistem, pangan, dan kesadaran diri.
Masalahnya tinggal satu manusia di dalam sistemnya, karena sehebat apapun mesin digital dan prosedur tetap, kalau operatornya masih hobi “tambah nama saudara biar kebagian jatah”, ya tetap aja error. Jadi, kata merdeka itu nggak cuma buat bangsa, tapi juga buat niat, merdeka dari akal licik dan niat nyelip.
Presiden udah bilang, jangan ngoyo, tapi jangan juga males.
Program hebat itu ibarat sayur asem, karena kalau bumbunya pas, semua elemen terasa. Tapi kalau kebanyakan asam (alias target ambisius), yang makan bisa manyun.
Jadi, tugas rakyat sekarang bukan cuma tepuk tangan, tapi juga ngawasi dengan kepala dingin, karena demokrasi sejati bukan cuma di bilik suara, tapi juga di dapur umum dan Puskesmas. Setiap laporan warga, setiap kritik, itu vitamin buat pemerintahan. Dan vitamin, seperti kita tahu, kadang pahit tapi perlu.
Ada pepatah mengatakan “Data boleh tunggal, tapi kerja harus berjemaah”, karena satu klik di sistem bisa gagal, tapi satu tekad bareng-bareng bisa nyelametin banyak perut dan paru-paru.
Jadi kalau nanti negara ini beneran bisa pastikan rakyatnya kenyang, sehat, dan datanya rapi, itu bukan mukjizat teknologi, tapi hasil gotong royong plus sedikit akal sehat yang disiram humor. Karena bangsa tanpa tawa itu gampang stres, dan pemerintahan tanpa rakyat kritis itu gampang lupa daratan.
Maka mari kita jaga bersama, data biar nggak dobel, niat biar nggak setengah, dan nasi biar tetap bergizi, karena seperti kata kakek saya sambil ngaduk kopi, “Negara hebat itu bukan yang cepat kenyang, tapi yang tahu kapan berhenti sebelum kekenyangan”.[***]