DULU, kita mengenal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai jenderal, menteri, lalu Presiden Republik Indonesia keenam, kini publik semakin akrab dengan sisi lain beliau, yakni seorang pelukis. Ya, bukan pelukis bendera atau pelukis pagar rumah dinas, melainkan pelukis kanvas dengan cat minyak dan akrilik.
Ada pepatah Jawa bilang, “urip iku mung mampir ngombe”, hidup itu sekadar mampir minum, kalau SBY, mungkin pepatahnya bisa dimodifikasi jadi “urip iku mung mampir ngecat”, karena sejak tak lagi sibuk mengatur negara, beliau justru sibuk mengatur komposisi warna, dari politik ke palet, dari pidato ke kuas, dari strategi militer ke strategi gradasi.
Dan menariknya, transformasi ini bukan sekadar hobi pensiunan, lewat SBY Art Community, ia menjadikan lukisan sebagai bahasa universal, seni sebagai diplomasi, seni sebagai terapi, seni sebagai medium kontemplasi.
Bayangkan pergeseran drastisnya, dulu presiden dua periode, SBY harus menghadapi demo buruh, sidang kabinet, sampai negosiasi politik tingkat tinggi, sekarang, “konflik” terbesarnya mungkin adalah menentukan apakah langit di lukisannya berwarna biru senja atau ungu keunguan.
Kalau dulu kalimat khasnya “Saudara-saudara sekalian…”, kini berganti jadi “Mana kuas ukuran nomor 8?”
Tapi justru di situ letak daya tariknya, banyak orang pensiun lalu main golf atau memelihara ikan koi. SBY malah memilih melukis, dan bukan sekadar melukis iseng. Ia serius punya studio, bikin komunitas, pameran, bahkan melibatkan kampus seni seperti ITB, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, dan IKJ.
Psikolog bilang, melukis itu terap, saat cat menetes di kanvas, stres ikut luruh, dan mungkin itulah alasan kenapa wajah SBY sekarang terlihat lebih “adem” dibanding masa menjabat, kalau dulu keriputnya karena beban politik, sekarang keriputnya lebih karena mikirin cat akrilik cepat kering apa tidak.
Lukisan SBY penuh nuansa biru, putih, dan hijau, warna-warna damai, seolah menggambarkan keinginan beliau untuk hidup tenang, jauh dari hiruk-pikuk politik yang sering bikin panas kepala, bukankah ada pepatah, “seni iku panglipur lara, panyegar roso”, seni adalah penghibur duka, penyegar rasa.
SBY mungkin sudah tidak lagi duduk di kursi presiden, tapi ia masih mempraktikkan diplomasi, hanya saja bentuknya lebih halus, kalau dulu diplomasi dilakukan lewat meja perundingan, sekarang lewat kanvas.
Pameran Art for Peace and a Better Future jadi contohnya, dengan tema perdamaian dan keberlanjutan, seni dijadikan bahasa lintas bangsa. Cat minyak bisa lebih tajam dari senjata, kuas bisa lebih lembut dari pidato politik.
Seperti pepatah Tiongkok bilang, “Sebuah gambar bisa menyampaikan seribu kata”, dan mungkin, satu lukisan SBY bisa lebih menenangkan daripada seribu konferensi pers politik.
Ruang ekspresi
Bayangkan, jika para politikus lain ikut menekuni seni, bisa jadi dunia akan lebih damai, misalnya, alih-alih rapat paripurna yang panas, anggota dewan disuruh ikut kelas melukis bunga. Alih-alih perang dingin antarnegara, para pemimpin dunia adu lomba melukis pemandangan sawah.
Kalau SBY bisa tenang dengan kuasnya, siapa tahu Pak Luhut cocoknya main clay, atau Pak Prabowo ternyata bakat bikin kaligrafi, dunia politik bisa berubah jadi dunia galeri. Eh…, tapi jangan-jangan malah banyak lukisan abstrak isinya garis zig-zag kayak grafik BBM.
Dari perjalanan SBY, kita belajar bahwa seni itu bukan sekadar aktivitas, tapi jalan hidup, ia bisa jadi terapi personal, jembatan lintas generasi, bahkan medium diplomasi budaya.
Di balik cat minyak dan kuas, ada pesan moral kita semua butuh ruang ekspresi, tidak harus jadi presiden dulu baru bisa melukis, siapa pun bisa. Apalagi di era serba cepat ini, punya ruang kontemplasi itu mahal harganya.
Transformasi SBY dari presiden ke pelukis memberi kita cerita inspiratif sekaligus sedikit hiburan, bahwa setelah segala hiruk pikuk politik, masih ada ruang untuk mengekspresikan jiwa lewat seni.
Kalau dulu ia memimpin bangsa dengan kata-kata dan kebijakan, kini ia menginspirasi lewat warna dan bentuk, dari Istana ke studio, dari panggung politik ke kanvas, SBY menunjukkan bahwa hidup selalu punya babak baru.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti orang lebih mengingatnya bukan hanya sebagai Presiden keenam, tapi juga sebagai pelukis yang menorehkan perdamaian di kanvas dunia.
Kata pepatah kuno “pena lebih tajam daripada pedang”, namun di tangan SBY, mungkin jawabannya “kuas lebih damai daripada keduanya.”
Pada akhirnya, kisah SBY di balik kanvas bukan sekadar cerita mantan presiden yang mencari hobi baru, ini sebagai pengingat bahwa setiap manusia setinggi apa pun jabatannya masih punya sisi rapuh yang butuh diobati. Politik bisa bikin kepala panas, tapi seni bisa jadi pendingin jiwa.
Kalau seorang jenderal sekaligus presiden saja bisa menemukan ketenangan lewat goresan kuas, mestinya kita pun bisa menemukan “kanvas” masing-masing. Entah itu berupa musik, menulis, berkebun, atau sekadar corat-coret di buku gambar anak, yang penting ada ruang untuk bernapas, sebab pepatah bilang “Hati yang bahagia adalah kanvas terbaik bagi kehidupan”.[***]