Seni & Budaya

[Sarip Petir: Kisah TKI Antargalaksi] Bab 2: Welcome to Karmelia, Negara Tanpa Cicilan

ist

Sumselterkini.co.id, – Begitu mendarat di Planet Karmelia, Sarip merasa seperti ayam kampung masuk mal ber-AC, segalanya serba canggih. Pintu otomatis, jalanan melayang, dan tempat sampah yang bisa ngomong, ‘Masukkan sampahmu dengan cinta, jangan buang perasaanmu sembarangan’. Sarip manggut-manggut, setengah kagum, setengah lapar.

Angin bandara pun  beraroma lavender, bukan aroma solar dan gorengan bekas kayak di kampung. Begitu turun, aku langsung disambut petugas bandara berwajah glowing, pakai baju linen longgar, dan senyum yang kayak baru kelar facial di salon bintang lima.

Bahkan Sarip  disambut pejabat lokal Karmelia bernama Konsul Zambor, makhluk berkepala tiga dan berjubah neon. “Selamat datang, para pekerja dari Bumi. Kami senang kalian datang tepat waktu, walau gaya fesyen kalian agak… tradisional,” katanya, melirik sandal jepit Sarip yang sudah bolong dua dan disol dengan kabel tis.

Sarip tak paham semua kata-kata Zambor karena dialihbahasakan oleh mesin penerjemah bernama ‘BahasaKU V.9’. Tapi kadang terjemahannya ngaco. Waktu Zambor bilang, ‘Kami ingin kalian bahagia di sini,’ mesin itu menerjemahkan, ‘Kami ingin kalian digoreng dengan tepung beras.’ Sarip langsung berkeringat dingin…

Tapi ternyata, mereka ramah nggak cuma senyum. Aku dikasih handuk hangat buat ngelap peluh, semangka manis tanpa biji buat nyegerin tenggorokan, dan… tas berisi uang tunai!

Sempat curiga, ini amplop sogokan? Tapi ternyata bukan. “Ini uang sambutan, Pak Sarip,” kata petugas imigrasi sambil membungkuk sopan. “Tamu kehormatan dari Bumi harus disambut dengan hormat. Terima kasih sudah bersedia bekerja di negeri kami”.

Hari pertama di barak, Sarip dan kawan-kawan dikasih makan. Menu pertama sup angkasa rasa daging. Tapi ketika dikunyah, teksturnya kayak sandal jepit kena rendaman banjir. Sarip tetap makan, karena ingat kata pepatah lebih baik makan asing daripada makan hati.

Setelah makan, mereka diberi orientasi kerja. Tugas Sarip adalah mengurus tanaman hidro-laser, yaitu tanaman yang disiram bukan pakai air, tapi pakai sinar laser. Kalau salah arah, tanaman bisa jadi kebab gosong. ‘Pokoknya jangan nyemprot sambil ngelamun,’ kata pengawas, ‘nanti ladang bisa meledak kayak hati mantan yang lihat kamu bahagia’.

Lalu dia lanjut, “Gaji dibayar di muka. Rumah gratis. Jatah libur setiap Kamis dan Jumat. Dan kalau Bapak rindu kampung, tinggal pencet tombol di ruang tamu, nanti muncul suasana sawah 3D dengan suara jangkrik asli”.

Aku bengong. Di kampungku, mau ambil cuti sehari aja harus bawa ayam jago ke bos. Itu pun kalau ayamnya gak kena kutu.

Hari pertama kerja, aku diantar pakai mobil listrik melayang yang kalau belok nggak ada suara, tapi malah muter lagu jazz. Sopirnya pakai seragam rapi, lengkap dengan dasi hologram bergambar bunga matahari yang kelap-kelip. Sepanjang jalan, dia cerita kalau di Karmelia, stres itu dilarang. Ada undang-undangnya. Kalau ketahuan ngeluh, langsung dikasih libur tambahan plus voucher spa di Pegunungan Melati.

“Kami percaya, Pak Sarip,” katanya sambil senyum kalem, “TKI dari Bumi itu aset penting. Kalau bahagia, kerja pun bersinar”

Aku cuma bisa angguk. Mulutku udah nggak sanggup bilang “wow”. Mulut ini terlalu terbiasa bilang “waduh” kalau lihat harga minyak goreng.

Sampai di kompleks Panel Surya Nasional, aku kira ini semacam gudang besar penuh kabel. Ternyata, tempatnya kayak taman wisata. Rumputnya rapi, ada gazebo buat duduk santai, wifi kenceng, dan tiap pagi ada burung yang menyanyi… dalam tiga bahasa Karmel, Jawa halus, dan Korea.

Tugas pertamaku duduk di pojok taman, minum teh herbal, dan mengawasi panel agar tetap bahagia. Katanya, “Panel surya di Karmelia bisa merasakan energi manusia. Kalau penjaganya sumpek, nanti sinarnya ngambek”

Aku sempat mikir ini akal-akalan, tapi setelah dua jam senyum-senyum di depan panel, lampu indikatornya berubah dari biru ke pink. Supervisorku datang sambil bawa donat dan bilang, “Bagus, Pak Sarip. Panelnya suka vibe Bapak”

Gila. Di kampung, dulu aku pernah kerja jaga pintu WC umum. Dua jam diem aja malah dimarahin, karena gak sigap ambil karcis. Di sini? Duduk manis dapet donat dan pujian dari panel.

Malamnya aku pulang ke rumah dinas, sebuah kubah kaca otomatis yang bisa berubah warna sesuai suasana hati penghuni. Karena aku bahagia, rumahnya nyala warna toska dan muterin lagu-lagu Koes Plus versi jazz galaksi. Lemari es isi penuh, kasur empuk, dan kamar mandi ada pancuran air hangat aromaterapi. Aku sempat nangis di dalam bukan karena sedih, tapi karena ngerasa kayak tamu undangan surga.

Tapi aku tetap hati-hati. Walau Karmelia terlihat sempurna, aku tetap ingat pesan Mamak waktu di pelabuhan antariksa. “Sarip, jangan silau liat negara orang. Ingat!!, walau tanahnya subur, belum tentu cocok buat tanam singkong”

Malam itu aku tidur sambil peluk tas kerja dan surat dari Mamak. Di Karmelia memang semua indah, tapi di hatiku masih ada kampung, sawah, dan suara kentongan ronda yang kadang bunyinya kayak nada dering HP jadul.

Karmelia ini bener-bener negara surgawi. Nih, coba lihat sendiri, warganya dapat rumah gratis sejak lahir. Bukan rumah KPR 30 tahun yang cicilannya bisa bikin uban tumbuh di alis. Pendidikan sampai S3 ditanggung negara, lengkap dengan beasiswa jalan-jalan riset ke planet tetangga.

BPJS gak ada, bukan karena bubar, tapi karena… gak ada yang sakit! Iya, serius. Warganya sehat semua, mungkin karena makanan tanpa micin dan udara yang bisa bikin paru-paru tepuk tangan. Harga bahan pokok stabil, gak ada drama nyari diskon tengah malam sambil adu cepat checkout di e-commerce. Presidennya, Ramanda, bukan dipilih, karena janji kampanye yang manis kayak teh warung, tapi karena kebaikan hati dan… kelucuan. Iya, katanya sih waktu debat capres dia bikin juri ngakak sampe batuk langsung menang.

Lalu aku dikasih pekerjaan penjaga panel surya nasional. Tugasnya sederhana duduk di taman, ngawasi panel-panel surya sambil ngopi dan baca buku, kadang-kadang main sudoku atau nonton sinetron intergalaksi.

“Gaji?” tanya aku, masih agak tak percaya.
“Cukup buat beli tanah di Mars, Pak,” jawab mereka dengan santai.

Aku senyum. Di kampung, kerja 20 tahun belum tentu bisa beli teras rumah sendiri. Di sini, baru mendarat, udah ditawarin hidup kayak pensiunan pejabat yang bertobat.

Karmelia, kau benar-benar negeri tanpa cicilan, tanpa drama, dan tanpa alasan buat pulang kampung kecuali kangen bakso gerobak.[bersambung bab3]

Terpopuler

To Top