Seni & Budaya

LAWANG BOROTAN : Seni Rupa Menggugat Kekerasan & Tawarkan Damai Lewat Tumpahan Warna

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau kuas bisa bicara, mungkin dia akan bilang, “Saya lebih suka menyentuh kanvas daripada kepala orang”. Tapi sayangnya, yang bisa bicara malah pentungan dan celurit, yang akhir-akhir ini malah sering nongol di jam pulang sekolah.

Untungnya dari Palembang, tepatnya dari Lawang Borotan yang bersejarah itu, sekelompok orang berseniman waras memilih jalan damai menggambar.

Tak main-main, perayaan Bulan Menggambar Nasional 2025 ditutup dengan gegap gempita ala anak-anak seni yang lebih suka nyampur cat daripada nyampur masalah.

Acara penutupan ini berlangsung di Gedung Kesenian Kota Palembang, akhir pekan lalu, lengkap dengan lomba melukis bertema “Cegah Vandalisme dan Tawuran”, orasi budaya, dan pameran karya yang penuh warna, makna, dan, tentu saja, harapan.

Kalau biasanya acara penutupan itu serius macam seminar pertahanan negara, kali ini justru dibuka dengan pantun segar dari Ketua Dewan Kesenian Palembang, M. Nasir, yang intinya begini melukislah, maka engkau akan menua tanpa jadi preman.

Tak bisa dipungkiri, vandalisme dan tawuran sudah jadi semacam trend urban yang tak enak dilihat dan tak asyik diceritakan, dinding sekolah dipenuhi corat-coret macam skripsi tanpa dosen pembimbing. Anak-anak yang seharusnya main futsal malah pamer golok.

Namun di Palembang, situasi ini dilawan dengan pendekatan yang, meminjam istilah anak-anak seni, “antikekerasan dan pro-pena warna”.

Lewat komunitas YMB (Yuk Ngambar Bareng) dan dukungan Kreya Indonesia, DKP, DKSS, serta Forum Drawling Indonesia, kegiatan on-the-spot painting di Lawang Borotan berhasil jadi antitesis dari aksi nongkrong yang berujung ribut.

“Anak-anak adalah seniman yang paling jujur,” kutip Kiai Erwan Suryanegara dalam orasinya, meminjam kalimat maestro lukis Affandi. Benar saja, anak-anak tak butuh skrip, mereka melukis langsung dari hati dan asanya dari situ pula tumbuh empati.

Tentunya, kita tak bisa menutup mata, Palembang bukan satu-satunya kota yang punya masalah dengan vandalisme dan tawuran. Namun justru langkah kreatif macam ini bisa jadi contoh.

Jika Bandung kota kembang  bisa bangga dengan festival muralnya, dan  Jogja punya komunitas seni jalanan yang mendunia, serta  Makassar kini mulai aktif dengan art street lokal, maka Palembang juga punya hak paten atas “kuas yang berteriak damai.”

Coba tengok ke luar negeri. Bogotá, Kolombia, yang dulunya dikenal dengan tingkat kekerasan tinggi, kini mengandalkan seni jalanan sebagai sarana edukasi dan transformasi sosial. Banksy, seniman jalanan Inggris yang misterius, bahkan mengatakan, “Art should comfort the disturbed and disturb the comfortable.” [Seni harus menenangkan yang gelisah dan menggelisahkan yang terlalu nyaman].

Kalau masih ada yang bilang seni itu sekadar hobi tanpa nilai, mungkin dia belum pernah lihat anak SMA melukis tembok bekas coretan geng jadi mural penuh makna. Atau belum sempat duduk di tengah Lawang Borotan, menghirup aroma cat air dan suara tawa yang tak diiringi sirene ambulans.

Pepatah Palembang lama bilang, “Adu ayam ado akhirnya, ngelukis dak pacak, tapi pacaknyo merusak” [Bertarung ada ujungnya, tak bisa melukis tak masalah, tapi bangga merusak itu yang keliru]

Acara ini bukan hanya soal melukis. Ini adalah bentuk perlawanan diam tapi lantang, bahwa anak-anak muda bisa lebih memilih warna daripada darah.  Bahkan kota ini bisa menua, tapi imajinasinya jangan sampai tua sebelum waktunya.

Lebih dari 100 karya ditampilkan dalam acara itu,  Nama-nama seperti Adila, Alfa Bianca, Asa Yuda, Pakde, Odyyogi, hingga Matera Asep memajang karya mereka, dengan teknik yang beragam, dari pensil sampai cat minyak, dari wajah manusia sampai wajah kota yang luka karena vandalisme.

Ketua panitia, Rudi Maryanto, menyampaikan harapan agar kegiatan ini terus berlanjut meski anggaran cekak. “Kami dari komunitas lintas generasi, lintas profesi, dan lintas komunitas gambar, ingin acara ini jadi pemantik semangat,” ujarnya.

Bayangkan jika tiap kelurahan punya tembok damai, kalau tiap RW punya lomba mural, bukan adu lempar batu. Jika tiap pameran bisa membuka pintu empati, maka kelak kota ini tak butuh lagi plang bertuliskan “Dilarang Tawuran di Sini.”

Seni rupa bukan pelengkap kalender event kota. Ia adalah napas panjang kebudayaan yang bisa menyelamatkan generasi, dari Palembang, pesan ini dikirim ke seluruh penjuru bahwa damai bisa diajarkan lewat sketsa dan coretan. Bahwa kekerasan bukan satu-satunya ekspresi remaja.

Sebagaimana pelukis legendaris Indonesia, S. Sudjojono  berkata, “Seniman sejati tidak menggambar seperti kamera, tapi seperti hati.” Dan hati yang digerakkan seni, lebih tahan banting dari geng motor manapun.

Jadi, jika nanti anak-anak kita tumbuh dengan kuas, bukan clurit, dengan mural bukan corat-coret jorok, maka kita patut berterima kasih pada mereka yang hari  itu dari Lawang Borotan memilih menggambar daripada bertengkar.

Kegiatan Bulan Menggambar Nasional di Palembang ini bukan cuma urusan coret-mencoret semata. Ini gerakan kultural yang tak pakai pentungan, tapi tetap bisa bikin hati tergetar. Ibarat masakan, seni rupa itu adalah sambal di pinggir piring kecil, tapi bikin makan nasi putih jadi semangat.

Kalau pendidikan itu lauk, seni adalah penyedapnya. Dan Lawang Borotan kali ini berhasil menyajikan menu lengkap dari lomba lukis, pameran, orasi budaya, sampai lukisan massal yang bukan sekadar gaya-gayaan, tapi ada niat baik di balik setiap sapuan kuasnya.

Seni rupa kalau digarap serius dan rutin bisa jadi penawar racun sosial. Ia bisa jadi obat antigalak, antibiotik anti-tawuran, dan vaksin anti-vandalisme.

Kebijakan kultural tahunan

Daripada remaja kita ditato dengan luka sabetan, lebih baik mereka dicelup cat poster, daripada wajah kota kita penuh kata-kata tak senonoh, lebih baik dindingnya jadi etalase mimpi-mimpi anak muda.

Bayangkan, jika gerakan seperti ini dijadikan kebijakan kultural tahunan, bahkan diperluas skalanya secara nasional. Kalau perlu, bikin Mural Nasional Cup antarprovinsi!.

Jika perlu jadikan stadion tak hanya tempat rebutan bola, tapi juga tempat lukisan raksasa dipajang, libatkan juga kampung-kampung seni. Boleh kita berkhayal, tirulah semangat di kota Melbourne Australia, kota ini dikenal luas dengan lorong-lorong seninya yang penuh mural dan grafiti legal yang disebut laneways, seperti Hosier Lane,  mungkin yang paling ikonik, penuh dengan lukisan jalanan dari seniman lokal hingga internasional, ACDC Lane, Union Lane, dan Blender Lane,  juga menjadi ruang ekspresi visual yang hidup, legal, dan jadi daya tarik wisata.

Melbourne bahkan secara konsisten masuk dalam daftar kota paling layak huni di dunia, dan pendekatan mereka terhadap seni urban adalah salah satu faktor pendukungnya. Pemerintah kota memberi ruang dan legalitas untuk seni jalanan, mendanai seniman, dan memanfaatkan mural sebagai media komunikasi sosial.

Sebagai perbandingan, ini relevan banget dengan gerakan yang sedang dilakukan di Palembang melalui Bulan Menggambar Nasional, seni sebagai media damai dan edukatif, bukan sekadar hiasan. Bedanya, Melbourne sudah menjadikan seni jalanan sebagai bagian dari kebijakan kota, bukan hanya kegiatan insidental dengan lorong-lorong seni jalanannya.

Atau Lisbon yang muralnya bisa jadi panduan sejarah visual. Kalau luar negeri bisa bangga dengan tembok-tembok bercerita, kenapa Palembang  harus bangga dengan tembok berlumur pilox “X school no.1” tapi isinya tawuran terus?

Kata pepatah “Di mana tidak ada ruang bagi seni, di situ celurit mencari panggung”. Oleh sebab itu jangan biarkan panggung kekosongan itu diisi kekerasan. Mari isi dengan kuas, cat, dan tawa anak-anak yang melukis dari hati.

Pemerintah daerah pun jangan cuma jago bikin festival anggaran tinggi yang habis dalam sehari, tapi tak meninggalkan jejak. Lebih baik mendanai gerakan seni yang konsisten, grassroots, dan punya ruh sosial seperti ini.

Jangan tunggu viral dulu, baru turun tangan. Ingat, seniman bisa hidup tanpa pemerintah, tapi pemerintah tak bisa hidup tenang kalau rakyatnya kehilangan cara untuk bermimpi.

Dan terakhir, mari kita renungkan satu hal di dunia yang makin gaduh dan penuh kabar bohong, satu-satunya kejujuran yang tersisa mungkin hanya ada di lukisan anak-anak.

Oleh karena itu rawatlah mereka, giring mereka ke arah kanvas, bukan ke lapangan tawuran. Ajak mereka main warna, bukan main parang. Karena dari Lawang Borotan hari ini, kita belajar satu hal penting jika damai bisa dilukis, maka tak perlu lagi darah ditumpahkan untuk menyuarakannya. Karena sejatinya… yang berbekas bukan luka di kepala, tapi warna di dinding kota.[***]

Terpopuler

To Top