Seni & Budaya

Rumah Dinas, Rumah Kesenian, “Saatnya Seni Duduk di Meja Utama”

ist

Sumselterkini.co.id, – Suatu hari yang tidak biasa di Ruang Audiensi Wawako Palembang, sekelompok manusia berseragam sederhana datang membawa semangat yang tidak bisa diredam. Mereka bukan pemodal, bukan pengusaha properti, bukan pula kontraktor jalan. Mereka adalah seniman, orang-orang yang hidupnya diwarnai nada, garis, gerak, dan kata.

Mereka datang bukan untuk menuntut, tapi menyapa. Bukan untuk menyindir, tapi mengajak bersinergi. Karena sejatinya, seni itu seperti air  dia tak pernah ingin menguasai, cukup diberi ruang, maka ia akan mengalir, menyegarkan, dan menyuburkan.

Di ruang itu, Dewan Kesenian Palembang (DKP) periode 2024–2029 menyampaikan niat baik  memperkenalkan kepengurusan baru, dan meminta arahan terkait pelantikan. Tapi kemudian, dari balik suasana resmi, muncul satu kalimat Wakil Walikota Prima Salam yang menggema seperti gong kemenangan. “Silakan pakai Rumah Dinas Walikota untuk pelantikan.”

Tunggu dulu.

Ini bukan sekadar tawaran tempat. Ini simbol. Dan simbol itu penting.

Kalau selama ini kesenian sering seperti anak kos numpang di mana-mana, sering diundang kalau ada acara, tapi jarang dianggap bagian dari keluarga, maka kali ini ceritanya berbeda. DKP diundang masuk ke “ruang tengah” rumah besar bernama Kota Palembang. Di tempat yang biasanya jadi panggung politik dan kebijakan, kini seni mendapat tempat.

Kalau diibaratkan keluarga, ini seperti menantu yang akhirnya diundang duduk di ruang makan setelah bertahun-tahun cuma disuruh bantu cuci piring di dapur. Pelantikan di Rumah Dinas Walikota bukan cuma soal panggung dan spanduk. Ini soal pengakuan.

Contoh konkret? Di banyak kota besar dunia, kantor walikotanya sering jadi tuan rumah pembukaan pameran seni lokal, peluncuran buku, sampai pertunjukan orkestra. New York punya “Mayor’s Arts Awards”, di mana para seniman lokal disambut dengan karpet merah  oleh pemerintah kota.

Ada lagi di Melbourne, pemerintah kotanya menggandeng kolektif seniman jalanan untuk memperindah tembok-tembok kota bukan malah dicat ulang warna abu-abu tiap kali mural muncul. Di Seoul, ada “Seoul Foundation for Arts and Culture” yang langsung berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk mendanai proyek komunitas dari seni teater sampai tari kontemporer.

Seoul punya yayasan khusus seni budaya yang programnya jalan beriringan dengan agenda pemkot, dari seni tari sampai festival kuliner.

Itu di luar negeri yang seni itu lebih dipandang berharga, tapi jangan jauh-jauh dulu, mari lihat contoh dalam di negeri sendiri, di Yogyakarta, kesenian bukan sekadar hiburan, tapi jantung budaya kota. Pemkot dan komunitas di sana bersinergi menghidupkan Taman Budaya Yogyakarta, membina sanggar, dan menggelar festival dari jazz sampai wayang.

Bandung punya gedung-gedung kreatif seperti Bandung Creative Hub, di mana pemuda bisa ngumpul bikin karya, diskusi, sampai pameran seni. Semua disokong oleh pemerintah kota dan dibuka gratis untuk publik. Surabaya? Lewat Festival Rujak Uleg, pemkot berhasil meramu budaya, kuliner, dan seni dalam satu momen yang bukan cuma menghibur, tapi mendatangkan wisatawan dan menghidupkan UMKM.

Nah, masa Palembang kalah? Kita punya jembatan legendaris, kampung budaya di 3 Ilir, rumah limas yang ikonik, dan segudang seniman dari musik, tari, lukis, sampai film pendek. Kalau semua ini disambungkan ke mesin yang bernama kebijakan dan difasilitasi sungguh-sungguh, Palembang bukan cuma bisa berseni, tapi bisa hidup dari seni.

Oleh sebab itu ke depannya, semoga DKP tak hanya berurusan dengan pelantikan dan seragam, tapi juga jadi mitra strategis dalam mendesain wajah budaya kota. Tidak cuma tampil saat ada seremoni, tapi benar-benar ikut dalam narasi.

Karena kalau seni cuma jadi pajangan, ya sama saja seperti lukisan mahal yang digantung di ruang tamu tapi ditutup taplak karena takut debu, pemerintah juga wajib mendukungnya karena salah satu aset daerah.

Dan kita? Mungkin belum sampai sana, tapi langkah DKP dan Pemkot Palembang ini sudah menuju arah yang benar. Kalau seni terus diberi ruang, bukan tak mungkin Palembang kelak punya panggung seni jalanan rutin di bawah Jembatan Ampera, atau tur mural kampung budaya seperti di Penang, Malaysia.

Kalau ada yang masih menganggap seniman itu cuma kerja kalau ada pentas, sebaiknya duduk sebentar dan ngobrol dengan pelaku seni. Di balik puisi yang indah ada malam tanpa tidur. Di balik panggung yang megah, ada latihan berbulan-bulan. Di balik mural di tembok kota, ada tangan yang kotor, punggung yang pegal, dan ide yang kadang butuh kopi lima gelas untuk muncul.

Seni itu kerja keras yang tak kalah dengan proyek bangunan. Bedanya, kalau jalan rusak kelihatan, jiwa rusak tidak langsung tampak. Di sinilah seni bekerja menambal luka sosial, menyambung nalar yang koyak, menyatukan yang berbeda.

Dan ketika Pemkot bilang siap mendukung, itu bukan hadiah. Itu bentuk keadilan.

Salah satu hal yang mencuat dalam audiensi itu adalah harapan terhadap Gedung Kesenian Palembang. Bangunan itu seharusnya jadi terminal gagasan, taman bermain imajinasi, dan ruang ekspresi warga kota karena potensinya luar biasa. Misalnya, jika setiap Jumat sore ada “Panggung Bebas”, di mana anak-anak muda bisa tampil musik akustik, stand-up comedy, atau baca puisi. Setiap Sabtu ada kelas teater terbuka, yang bisa diikuti siapa pun, dari anak SMA sampai ojol yang ingin belajar akting dan Minggu pagi ada “Pasar Seni”—bazar karya lukis, kerajinan, zine, sampai workshop batik modern. Wow pasti keren…!!

Dan semuanya hidup. Bukan cuma bangunan yang berdiri, tapi denyut budaya yang bergerak.

Komitmen Pemkot untuk melibatkan DKP dalam program seni di sekolah patut kita sambut dengan peluk dan tepuk tangan. Karena sekolah yang baik bukan cuma mencetak juara olimpiade matematika, tapi juga melahirkan anak yang tahu cara menari, menulis cerita, dan memainkan angklung.

Seni di sekolah adalah investasi rasa. Di situ anak-anak belajar mendengarkan, menghargai perbedaan, dan mengekspresikan diri tanpa takut. Mungkin kelak bukan semua murid jadi seniman, tapi minimal mereka tumbuh jadi manusia utuh yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan cukup menyanyi.

Apa yang terjadi antara DKP dan Pemkot Palembang bukan sekadar agenda pelantikan. Ini adalah momentum. Sebuah permulaan dari ekosistem seni yang tidak dibangun dari atas menara gading, tapi dari ruang audiensi yang penuh senyum dan secangkir niat baik.

Kalau ini dijaga, diperluas, dan dirawat, kita bisa punya kota yang tidak cuma megah dalam beton, tapi juga dalam batin. Di mana pembangunan tak melupakan panggung, tak meninggalkan kanvas, tak mengabaikan syair. Mari kita bantu DKP bukan hanya dengan dana, tapi dengan kepercayaan. Mari kita bantu Pemkot bukan hanya dengan kritik, tapi dengan partisipasi.

Karena seni bukan urusan segelintir orang. Ia adalah milik semua. Dan kota yang besar, tak hanya dibangun oleh insinyur dan ekonom, tapi juga oleh pelukis, penari, penyair, dan pemimpi. Dan semoga, langkah pertama itu dimulai dari Rumah Dinas, untuk kemudian menyapa rumah-rumah seni lainnya, dan akhirnya… rumah kita semua.[***]

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com