Tanpa pandemi, sesunggunhya nasib Dulmuluk sudah terpuruk. Datangnya wabah dari Wuhan, memastikan, nasib mereka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kesempatan manggung dan mensosialisasikan 5 M dan 3 T seakan menjadi vitamin.
Dengan vitamin, para pemain Dulmuluk serasa semakin kuat setelah mendapat vaksin covid. Menjadikannya, kian kuat menghadapi era pandemi yang belum jelas kapan berakhir.
Sebagai sebuah teater tradisional, selama pandemi juga sangat terdampak akibat COVID-19. Di tengah himpitan tersebut, Jonhari Saad, pendiri dan pemilik Sanggar Seni Harapan Kita, mendapat kesempatan mentas secara daring.
Beberapa kali, teaternya juga mendapat kesempatan manggung secara virtual. Sehingga, minimnya mentas di era pandemi pun seakan menjadi terobati.
Pementasan kali ini dilakukan secara daring. Dan disiarkan melalui beberapa platform media sosial. Menariknya lagi, pemenetasan ini didukung oleh Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (disingkat KPCPEN), sebuah komite yang dibentuk oleh pemerintah dalam pemulihan ekonomi dan penanggulangan penyakit koronavirus 2019 dan Pandemi COVID-19 di Indonesia
Jonhar Saad, pelestari Dulmuluk menyatakan bahwa sejak tren organ tunggal merebak di Palembang, sejak itulah nasib mereka mulai tak jelas. Biasanya manggung full setiap hari, menjadi terkadang hanya sekali dalam sebulan itu pun belum tentu.
‘Dulu, lagi jaya-jayanya, dalam seminggu itu hampir dipastikan setiap hari dapat undangan manggung. Ya pesta nikahan, sunatan, ataupun keramaian lainnya,” ujar suami dari almarhumah Suharti Sani ini.
Pemilik sanggar seni Harapan Jaya, ini menceritakan bahwa dia menggeluti Dulmuluk sejak 1962. Dimulai saat pemain Dulmuluk itu semuanya laki-laki. Kalaupun ada peran wanita, itu dimainkan oleh lelaki.
Saat itu, lelaki kelahiran 1952 ini main Dulmuluk Kecik (Dulcik). Jonhar pula yang kemudian mengubah pakem ini, di beberapa ceritanya, peran wanita kemudian memang dimainkan wanita. “Awalnya banyak yang menentang,” ujarnya. Diakui Jonhar, sejak masa pandemi, sekali pun dirinya belum pernah naik pentas. Sudah hampir dua tahun r, sekali pun belum pernah mengenakan baju kebesaran sebagai raja di cerita Dulmuluk. Begitupun, teman-teman anggota sanggar seninya. Mungkin pakaian pemain Dulmuluk ataupun alat-alat musik pengiringnya sudah berdebu.
Bisa menjadi Dulcik, karena Yainya (Kakeknya saat) itu punya sanggar seni. Saat Jonhar sibuk bermain Dulmuluk, kaderisasi terus dilakukannya. Dia pun membina Dukcik. Termasuk putranya, Randi Putra Ramadan, Hingga kini, Randi nasih bermain Dulmuluk.
Setiap kali main, dalam kondisi normal, Dulmuluk setidaknya melibatkan 15- 30 pemain. Bergantung lakon dan cerita yang dimainkan. Apakah lakon Bangsawan, atau Dulmuluk. “Kalau Dulmuluk, ceritanya kalau bukan Kisal Padukan Raja Abdul Muluk, ya Lakon Siti Zubaidah. Sementara Bangsawan, lebih variatif. Dari musik pengiring, Dulmuluk hanya enam pemain musik. Kalau Bangsawan, lebih banyak, ada saxophone, terompet dan jidor besar. Pemainnya bisa mencapai 40 orang termasuk pemusik. Sementara kalau Dulmuluk, 15 orang termasuk pemusik, bisa jalan,” jelas sang maestro Dulmuluk ini.
Nah, selama korona, Jonhar dan kawan-kawan sama sekali belum pernah manggung. “Jadi bisa dibayangkan, bagaimana urusan perut kami,” tambahnya. Padahal, di zaman jayanya dulu, setiap pemain itu setiap bulan bisa menyisihkan pendapatannya untuk membeli sesuku emas. Nah, sekarang, setahun pun belum tentu bisa terbeli emas sesuku.
Selama itu, menurut Jonhar, perhatian dari pihak terkait rasanya minim. “Untung seperti saya, masih ada anak-anak yang bisa membantu. Saya membayangkan, bagaimana dengan seniman lain yang menggantungkan sepenuhnya kehidupannya pada pendapatan dari panggung Dulmuluk.
Kalau seniman-seninam lain bisa tetap eksis di panggung daring, tidak berlaku untuk teater pertunjukan Dulmuluk ini, karena mereka umumnya, tidak menguasai teknologi alias gaptek (gagap teknologi). Selain tu, pertunjukan daring pun, lebih banyak tunggal dan dengan jumlah terbatas. “Sementara kami, belasan bahkan puluhan orang. Bagaimana mau main di dunia maya dengan jumlah sebanyak itu. Apalagi dengan syarat harus patuh protokol kesehatan, jaga jarak dan cuci tangan. Bisa-bisa panggungnya harus seluas lapangan sepak bola. Waktu mainnya, karena harus cuci tangan terus, bisa-bisa dari tujuh jam jadi tiga hari tiga malam,” selorohnya, sembari menambahkan, penontonya siapa kalau sepanjang itu durasinya.
Randi Putra Ramadan, putra Jonhar, menyatakan bahwa selama ini pementasan daring, tak bisa menlibatkan banyak pemain. Para pemain Dulmuluk pun umumnya, agak gagap teknologi. “Sehingga mereka agak sulit menyesuaikan dengan dunia maya. Karenanya, beberapa kali ada pementasan daring yang melibatkan banyak pemain, tentu disambut gembira,””ujarnya.
Pandemi bisa saja, memberikan hikmah bagi seninam yang melek teknologi. Bagi pemain Dulmuluk, masih panjang tahan untuk itu. Karenanya, sentuhan berbagai pihak agar pementasan virtual yang meibatkan banyak pemain bisa digelar, tentu menjadi vitamin. Dulmuluk, tak sekedar butuh vkasin, tapi juga vitamin. (muhamad nasir)
Dulmuluk Butuh Vitamin Selain Vaksin
By
Posted on