Seni & Budaya

CERBUNG, Sarip Petir: Kisah TKI Antargalaksi

Kejadian Petir di Musim Kemarau

ist

Sumselterkini.co.id, – Di sebuah kampung bernama Talang Petai, yang kalau sinyalnya ditarik garis lurus ke Mars masih lebih kencang suara emak manggil anak waktu magrib, hiduplah seorang pemuda bernama Sarip.

Usianya 36, tapi wajahnya 46, hati 66, dan dompetnya minus. Itu pun kalau dompetnya nggak lagi dipakai ayahnya buat ganjel pintu dapur. Warga kampung biasa manggil dia Sarip Petir, bukan karena dia bisa nyetrum mantan dari jauh, tapi karena waktu kecil pernah kesamber petir pas ngambil layangan nyangkut di tiang listrik. Ajaibnya, alih-alih gosong, Sarip malah nyanyi lagu Rhoma Irama sambil goyang pinggul. Sejak itu, warga yakin dia ketempelan jin lucu.

Dari sawah ke tambak, dari kebun karet ke grup WhatsApp keluarga, hidup Sarip ibarat sinetron panjang tanpa jeda iklan bikin lelah tapi susah berhenti. Yang bikin makin dramatis, ia punya ayam kesayangan bernama Pitik, yang selalu nempel di pundaknya ke mana pun ia pergi. Pitik bukan ayam biasa. Dia kadang berkokok pas adzan subuh kesiangan dan sesekali melirik sinis kalau Sarip ngelamun sambil pegang kalender 2019 yang gambarnya cewek petik padi.

“Masih aja kamu liatin itu, Rip? Cewek kalender nggak akan bales chat-mu,” sindir Pitik dalam batin, mungkin.

Pagi itu, matahari kelihatan kayak lampu taman habis kehujanan ada, tapi males bersinar. Sarip baru tidur dua jam habis nobar sinetron kolosal tentang kerajaan yang tokohnya ngobrolnya pelan tapi durasi episodenya lebih pendek dari iklan pomade.

Ia nyeduh kopi hitam pake gelas retak warisan neneknya. Rumah Sarip berdinding papan dan harapan, berlantai tanah dan beban hidup. Tiba-tiba, datanglah Pak RT, mendadak muncul seperti notifikasi pinjol saat gajian.

“Rip, kamu dipanggil ke kantor dusun. Ada surat penting dari pusat,” katanya sambil nyodorin amplop cokelat yang udah lecek kayak surat lamaran kerja Sarip tahun 2012.

Sarip melongo. “Dari pusat mana, Pak? Pusat grosir? Pusat galaksi? Jangan-jangan ini undangan reuni mantan yang gagal move on”.

“Pusat beneran, Rip, katanya ada program luar biasa untuk kamu. Gitu katanya,” ujar Pak RT dengan senyum kayak abis dapet honor narasumber pelatihan parenting.

Sarip ragu. Jangan-jangan ini jebakan, dulu dia pernah daftar kerja, katanya jadi petugas sensus, ternyata malah disuruh jaga stan cilok pas pasar malam. Tapi rasa penasaran Sarip lebih besar daripada saldo rekeningnya.

Di kantor dusun, suasana tegang kayak pengumuman CPNS. Kepala Dusun, Pak Mudakir, berdiri di depan papan tulis yang biasa dipake buat jadwal posyandu. Tapi hari itu, tertulis besar-besar
“PROGRAM TKI ANTARGALAKSI – PENGIRIMAN PEJUANG KE PLANET KARMELIA”

Sarip hampir keselek kopi imajiner.

“TKI… antargalaksi, Pak? Kita mau disuruh manen kentang di Uranus?”

Pak Mudakir ketawa sambil garuk-garuk perut. “Bukan, Rip, Planet Karmelia itu pusat agrikultur bintang 9, mereka butuh buruh perkebunan graviton, sejenis tanaman yang bisa bikin gravitasi naik-turun kayak harga cabe”.

“Gajinya sepuluh kali UMR, bisa kirim paket lewat sinar laser, dan katanya… tiap buruh dikasih asrama plus karaoke hologram”

Warga heboh. Sebagian kagum, sebagian lapar. Sarip mikir, “Di kampung, aku cuma jadi buruh cangkul. Kalau di planet, siapa tahu bisa naik pangkat jadi mandor teleportasi”

Pitik melenguh pelan di pundaknya, seolah berkata, “Jangan sampe ini MLM lintas galaksi lagi, Rip. Kamu udah kapok beli kalung kesehatan dari alien Venus”

Akhirnya, Sarip daftar juga. Proses seleksi lebih gampang dari ujian tryout SD. Cuma push-up lima kali, nyebut alfabet dari belakang, dan jawab kuis “Apa nama ibukota Planet Neptunus?”

“Neptokyo,” jawab Sarip ngasal. Tetap lolos.

Mereka dikarantina tiga hari di gedung serbaguna yang dulu bekas gudang pupuk. Pelatihnya robot Jakarta yang mukanya kayak guru honorer tapi suaranya kayak Google Translate kena sindrom motivator.

“Kalian akan jadi pahlawan interplanet,” katanya. “Ingat, di Karmelia, jangan kentut di helm astronot. Kalau meledak, itu bukan cuma aib pribadi, tapi ancaman tata surya”

Hari H pun tiba. Seluruh warga kampung ngantar Sarip. Ibu-ibu nangis, bapak-bapak nyumbang dua butir telur rebus, anak-anak minta dibawain oleh-oleh bintang jatuh. Pitik naik pundak Sarip sambil diam. Mungkin dia tahu ini perpisahan besar. Atau cuma lagi masuk angin.

Pesawat warna ungu metalik bersinar di landasan, pilotnya robot nge-rap bernama BANG_JOE88.
“Yo, kita terbang ke Karmelia kerja keras, bukan wisata.
Jangan lupa sabuk, jangan lupa doa,
Kalo mual, jangan muntah di celana!”

Warga tepuk tangan, Sarip tersenyum. Ia melangkah masuk pesawat, memandang kampung terakhir kali.
“Titip sawah, titip Pitik, titip utang warung Bu Jum,” bisiknya haru.

Dalam perjalanan yang ditempuh dengan teknologi quantum-tekdung-tekdung, Sarip tak tidur, Ia merenung dari tukang bajak sawah jadi calon buruh luar angkasa, kalau ini sinetron, pasti judulnya “Sarip Petir: Dari Talang ke Tata Surya”.

Pitik mengangguk pelan di pundaknya, seolah bilang, “Selamat datang di hidup yang makin ngawur, Rip”

Dan di luar jendela pesawat, bintang-bintang menyambut.
Di Planet Karmelia, petualangan baru sudah menunggu
…dan mungkin, utang juga. [Bersambung ke Bab 2]

 

Ceritanya tentang negeri fiksi supermakmur, adil, dan sejahtera,di mana rakyatnya hidup bahagia, listrik nggak pernah mati, dan minyak goreng ada terus walau Lebaran. Sarip Petir bakal hijrah ke sana jadi TKI, dan matanya melek “Oh, ternyata dunia bisa kayak gini ya!”

 

Terpopuler

To Top