Properti

“Rumah Tapak Pak Tapek: Ketika Kredit Perumahan Membuat Tapir Ikut Nabung”

ist

(Kisah Kredit, Keripik, dan Kejutan Renovasi Bersubsidi)

DI sebuah kelurahan yang belum ada di Google Maps, Kelurahan Girang-Garung, tinggallah seorang tokoh legendaris bernama Pak Tapek. Ia adalah mantan pemain bola tarkam yang kini banting setir jadi calon penghuni rumah subsidi.

“Sudah waktunya saya punya rumah, bukan numpang di pojok warung kopi terus,” ujar Pak Tapek sambil menyisir rambut dengan garpu, karena sisirnya digadai demi DP rumah.

Pak Tapek terinspirasi dari program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), sebuah program nyata yang digelontorkan pemerintah Indonesia agar rakyat kecil punya tempat berteduh selain halte.

“Di Jerman, warga disubsidi lewat program Sozialwohnung, rumah sosial yang harganya kayak sandal jepit, terjangkau dan bisa dipakai lama”. kata Pak Tapek, yang pernah gagal wawancara beasiswa karena menyangka Deutschland itu nama sosis.

Di Singapura, Pak Tapek dengar dari YouTube-nya tetangga bahwa 80% rakyat tinggal di HDB Flats, apartemen subsidi yang bisa diwariskan sampai ke cicit yang belum lahir.

“Kalau di Finlandia, konsepnya Housing First,” ujar Pak Tapek, “Orang gak bisa mikir kerja kalau perut lapar, dan gak bisa mikir masa depan kalau gentengnya bocor!”.

Cerita punya cerita, strategi Pak Tapek, dari kompor kredit ke kanopi cinta, dengan semangat pepatah tapir “Lebih baik nyicil selokan sendiri daripada sewa villa mantan,” Pak Tapek ikut program rumah subsidi dengan DP ringan dan bunga tipis seperti alis anak TikTok.

Ia pun mulai hemat, bahkan ganti kopi saset jadi teh celup bekas, sabun mandi dipotong jadi lima. Uangnya ditabung, bahkan tabung gas pun ditabung jadi pajangan.

Suatu malam, sambil menghitung cicilan di warung, datang si Bu Juleha, janda cantik pemilik kontrakan sebelah yang tiap sore menyiram bunga sambil pakai daster batik bercorak krisis ekonomi.

“Pak Tapek, nanti kalau rumahnya jadi, siapa yang akan isi dapurnya?” tanya Bu Juleha sambil melempar senyum seperti brosur KPR.

Pak Tapek tergagap, “Kalau Bu Juleha bersedia, dapurnya bisa dua pintu, satu buat masak, satu buat cinta”

Pak Tapek sempat kaget waktu tahu harga tanah naik seperti suhu otak orang lagi diet karbo.

“Di Uganda, pemerintah bagi tanah ke warga demi program land reform. Di Korea Selatan, properti dikontrol ketat. Di sana, kalau rumah mahal, pemerintah bisa turun tangan,bukan cuma nyuruh rakyat pasrah,” jelasnya sambil menulis status #RakyatMauRumahJanganCumaJanjiSurga.

Akhirnya, setelah 2 tahun nyicil, rumah subsidi Pak Tapek berdiri. Ukurannya kecil, tapi cukup untuk tidur, masak, dan menaruh mimpi.

Di atas tembok depan, Pak Tapek pasang papan nama “Rumah Tapek, Tempat Berteduh Cinta dan Cicilan”

Bu Juleha pun pindah, kini tiap sore, mereka menyiram bunga bersama, bukan hanya dengan air, tapi dengan harapan.

Kisah Pak Tapek adalah kisah sejuta rakyat yang mengincar rumah, bukan istana. Ia tahu, rumah bukan cuma bangunan, tapi tempat di mana perasaan dan panci bisa bertemu.

Sebagaimana pepatah Mesir Kuno yang tak pernah tercatat. “Lebih baik punya rumah 3×6 dari pada cinta 3x hilang”.[***]

Tulisan ini merupakan satir fiktif yang terinspirasi dari isu properti terkini tahun 2025, termasuk program renovasi rumah subsidi di Indonesia dan tren global seperti tiny homes di Amerika serta kritik perumahan di Australia. Tokoh, tempat, dan alur bersifat rekaan semata untuk membalut edukasi dengan gaya humor. Harap dibaca dengan senyum dan secangkir kopi.

Terpopuler

To Top