Properti

Hunian Vertikal Gen Z, Gaya Hidup City Living Kekinian

ist

PERNAH nggak sih, kamu lagi ngopi di lantai 20 apartemen terus mikir, “Wah, dari sini Jakarta kayak miniatur Monopoli.” Itulah sensasi city living ala hunian vertikal yang sekarang jadi incaran Generasi Z. Mereka lebih memilih view skyline daripada halaman belakang yang luas tapi penuh jemuran. Pertanyaannya, kenapa sih Gen Z kepincut sama hunian vertikal? Apakah biar keren di Instagram, atau memang solusi hidup di kota besar yang makin sempit kayak sisa gaji tanggal tua?

Dulu, rumah idaman orang tua kita sederhana, ada pagar, garasi buat mobil, plus halaman belakang buat nanam pohon mangga. Tapi sekarang, coba deh cari tanah kosong di pusat kota, susahnya kayak nyari charger Type-C di rumah kosan penuh colokan USB lawas. Lahan makin terbatas, harga tanah melambung, dan akhirnya hunian vertikal jadi jawaban.

Gen Z, dengan segala mobilitasnya, lebih memilih apartemen yang dekat transportasi publik daripada rumah tapak yang harus ditempuh dua jam pakai motor plus drama macet. Ibaratnya, mereka rela punya dapur mungil asal bisa berangkat kerja cuma 10 menit.

Hunian vertikal bukan cuma soal bangunan tinggi, tapi soal gaya hidup, bayangin kamu tinggal di apartemen yang punya gym, kolam renang, co-working space, dan kafe di lantai bawah. Jadi nggak perlu lagi ribet cari tempat nongkrong, cukup turun lift, langsung bisa update story dengan caption “Ngopi di lantai 1, view rooftop.”

Gen Z suka efisiensi, waktu adalah aset paling berharga, mereka lebih memilih bayar service charge bulanan tapi punya fasilitas lengkap daripada harus keluar bensin, bayar parkir, dan macet-macetan buat cari hiburan di luar. Fenomena ini bukan cuma terjadi di Jakarta atau Bandung, di luar negeri, konsep hunian vertikal untuk anak muda sudah jadi budaya.

Contohnya Tokyo, Jepang, anak muda di Shibuya atau Shinjuku banyak memilih apartemen studio mungil, ruangannya kecil, tapi lokasinya strategis banget, mereka rela tinggal di ruang 18 meter persegi asal bisa jalan kaki ke kantor atau stasiun kereta.

Singapura, pemerintah lewat HDB (Housing Development Board) sukses bikin jutaan warga termasuk generasi mudanya tinggal di apartemen vertikal dengan harga terjangkau. Fasilitasnya lengkap, mulai dari food court sampai taman, bikin hidup nyaman meski tinggal di “kotak beton”.

New York City, AS, Gen Z di Brooklyn atau Manhattan lebih suka nyewa atau beli unit kecil di gedung tinggi. Alasannya sederhana, biar dekat dengan subway, kantor, dan… Starbucks tiap dua blok. Mereka tahu, hidup di kota besar berarti kompromi, lebih kecil ruang pribadi, tapi lebih besar akses ke kesempatan.

Program FLPP

Nah, pola ini mirip dengan yang mulai direncanakan pemerintah lewat program FLPP di Indonesia guna mendorong generasi muda supaya nyaman dengan rumah vertikal, bukan cuma mimpi rumah tapak yang makin susah dicapai.

Masalahnya, banyak Gen Z sering dihantui kalimat “Gaji UMR, tapi cita-cita tinggal apartemen premium”, di sinilah program pemerintah kayak FLPP masuk sebagai juru selamat. Dengan DP cuma 1%, anak muda udah bisa punya hunian vertikal subsidi. Kalau harga unit Rp185 juta, DP-nya cuma Rp1,85 juta lebih murah dari harga iPhone baru!

Tinggal pilih, mau update status “Punya rumah vertikal pertama” atau “Cicilan gadget terbaru.” Dua-duanya keren, tapi satu lebih tahan lama dan bisa diwariskan. Moral of the story rumah itu aset, bukan sekadar konten.

Hunian vertikal sekarang juga mulai dipoles dengan teknologi smart home, dari kunci pintu digital, lampu bisa dikontrol lewat HP, sampai aplikasi buat bayar iuran. Gen Z yang sudah akrab dengan segala macam aplikasi tentu merasa ini kayak main game The Sims versi nyata. Bedanya, kalau di game lupa bayar listrik tinggal restart, kalau di dunia nyata, ya siap-siap gelap-gelapan.

Tapi intinya, teknologi ini bikin mereka betah tinggal di apartemen, nggak cuma modern, tapi juga efisien.

Tentu saja, masih ada pro kontra, ada yang bilang hunian vertikal bikin hubungan sosial dingin karena nggak ada tetangga yang suka nyapa di pagar. Tapi coba dipikir lagi, Gen Z justru lebih suka interaksi di dunia digital daripada gosip pagar depan rumah. Jadi jangan heran kalau mereka lebih nyaman “halo-halo” lewat grup WhatsApp apartemen daripada ngobrol tatap muka di warung.

Hunian vertikal buat Gen Z bukan cuma atap buat berteduh, ini simbol cara hidup baru, cepat, praktis, efisien, dan terkoneksi. Mereka nggak lagi mengejar rumah luas di pinggiran, tapi lebih ke hunian yang dekat dengan pusat aktivitas, transportasi, dan punya fasilitas gaya hidup.

Pesannya sederhana, jangan takut punya rumah vertikal, karena rumah itu bukan soal besar atau kecil, melainkan bagaimana kita mengisinya dengan cerita, mimpi, dan masa depan.

Hunian vertikal adalah jawaban zaman ketika lahan semakin terbatas, harga tanah melambung, dan gaya hidup Gen Z makin dinamis. Dari Tokyo sampai New York, generasi muda sudah membuktikan bahwa apartemen mungil di pusat kota lebih berharga daripada rumah luas di pinggiran yang bikin hidup habis di jalan.

Jadi, buat kamu yang masih galau mendingan terus ngekos sambil update story di rooftop orang lain, atau mulai cicil hunian vertikal sendiri dan bikin cerita baru dari balkonmu?

Ingat!, apartemen bukan sekadar gedung tinggi, aa adalah simbol bahwa generasi muda siap menatap masa depan dari ketinggian secara harfiah maupun finansial.[***]

Terpopuler

To Top