Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Permasalahan Yang Ada Di Sistem Pemilu Indonesia

ril/fot: ist

Seiring berjalannya waktu  Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang paling dinamis dalam merubah sistem pemilu. Pada Pemilu 1999, sebagai pemilu yang pertama setelah era otoriter, Sampai Pemilu 2019, Indonesia setidaknya sudah tiga kali mengubah sistem pada pemilu. Pemilu 1999 memakai sistem proporsional tertutup. Dan pemilu di tahun 2004 dengan menggunakan sistem proporsional semi terbuka. Di dalam perubahan itu sendiri baru sebatas variabel pada sistem metode pemberian suara. Serta lainnya, pemilu Indonesia juga mengubah variabel sistem seperti ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, dan metode konversi suara. Pada umumnya di semua negara masih menerapkan sistem pemilu yang ditinggalkan negara yang melakukan kolonialisasi sebelumnya. Contohnya Malaysia misalnya, mereka terus menggunakan sistem pluralitas hingga sampai sekarang yang diwariskan Inggris.

Terkait Isu perubahan sistem pemilu di Indonesia menghadapi konteks baru pada tahapan Pemilu 2024.Ialah salah satunya anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan uji materi undang-undang pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Sebab pasal yang diuji seputar sistem pemilu proporsional terbuka untuk diubah menjadi proporsional tertutup. Jika MK mengabulkan ini, maka perilaku memilih pada surat suara dengan metode mencoblos nama calon legislator akan berubah menjadi mencoblos gambar/nama partai politik. Dan dengan kalimat lain, cara memilih sejak Pemilu 2009 sampai 2019 akan berubah menjadi cara Pemilu 1999. Semoga Mahkamah Konstitusi tidak mengeluarkan putusan baik itu hitam maupun putih. Sebab pada dasarnya, dari permasalahan itu sendiri sistem pemilu Indonesia bukan soal mempertahankan proporsional terbuka ataupun kembali ke proporsional tertutup. Selain itu, setiap sistem pemilu ada keburukannya yang perlu menyertakan solusi dari konsekuensinya yang dilakukan.

Indonesia sendiri juga mempunyai permasalahan pada sistem pemilu yang mendasar. Permasalahan yang pertama ialah, pemilu menghasilkan parlemen multipartai yang ekstrem. Permasalahan yang Kedua ialah, para partai politik berkualitas buruk dan belum dapat dipercaya oleh kalangan masyarakat. Dari dua permasalahan mendasar itu dikarenakan pada tahun 2022 tidak dijadikan momen perbaikan kerangka hukum kepemiluan dan partai politik yang baik. Padahal, Pemilu di tahun 2019 itu sendiri jadi pemilu yang amat buruk secara sistem atis sehingga kompleksitasnya memakan banyak korban jiwa.

Permasalahan Sistem Multipartai Ekstrem

Multipartai ekstrem terbentuk dari parlemen memang tidak menjamin suatu negara yang bisa lebih baik dalam demokrasinya. Tetapi, tidak ada negara yang baik berdemokrasi mempunyai sistem kepartaian multipartai ekstrem. Apabila jika kita merujuk pada sejumlah indeks negara-negara dalam demokrasi/kebebasan (Freedom House) dan bersih dari korupsi (Transparency International), kita bisa berkesimpulan bahwa peringkat negara-negara antar indeks relatif hampir sama. Pengertian dari multipartai ekstrem di sini adalah, terdapat lebih dari 5 partai yang relevan  mempengaruhi pemerintah dan pembentukan undang-undang. Kecairan ideologi partai di DPR, disebabkan oleh  banyaknya partai yang persentase kursinya relatif imbang, sehingga menyebabkan bekerja berdasar tujuan mendapat jatah kekuasaan dan proyek pembangunan sebagai konsekuensi dari legislasi.

Penyimpangan dari kebijakan serta undang-undang pada bidang kepemiluan, terjadi juga di berbagai macam bidang lainnya. Contohnya bisa kita lihat bagaimana legislasi inisiatif Pemerintahan seperti Omnibuslaw Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang punya banyak catatan formil serta materil, dapat terlaksana begitu cepat disetujui tanpa penyertaan berarti dari fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran DPR. Selama ini daerah pemilihan besar telah mendorong para partai politik hanya meraih suara dengan berbagai macam cara. Secara sistemik, ongkos politik yang  menjadi amat begitu mahal. Setelah mendapatkan kursi di DPR, para partai-partai mengesampingkan fungsi legislasi, serta pengawasan, dan anggaran. Berkuasa di DPR berarti harus membayar ongkos politik yang dikeluarkan pada pemilu sebelumnya di masa lalu mengumpulkannya untuk pemilu berikutnya mendatang. Politik parlemen bukan hanya begitu amat mahal tetapi juga koruptif. Itulah menjadi sebab, Menurunkan oposisi dalam DPR pada massa periode Presiden. Joko Widodo.

Permasalahan Partai Politik Yang Buruk

Bukan hanya sistem multipartai yang ekstrem, buruknya kualitas parlemen Indonesia karena kualitas partai politik yang buruk. Hasil survei CSIS yang menempatkan DPR sebagai lembaga negara yang paling tidak dipercaya masyarakat, terhubung dari hasil survei Indikator Politik dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan partai politik sebagai landasan lembaga demokrasi yang paling tidak dipercaya. Menurut hasil survei pada pertengahan 2022 ini dapat terbilang konsisten dengan banyak hasil survei yang sejenis pada tahun-tahun sebelumnya. Penilaian terburuk dari masyarakat terhadap para partai politik tersebut sesuai dengan tingkat pengakaran partai politik. Pada saat pemilu awal pasca-Reformasi, perkiraan sekitar 86% responden mengakui dirinya terafiliasi dengan satu partai politik tertentu. Persentase ini menurun sekitar setengahnya dari pemilu berikutnya. Pemilu di tahun 2004 di angka 55%. Pemilu di tahun 2009 di angka 21%. Pemilu tahun 2014 di angka 11. Hingga pada Pemilu 2019, hanya di angka 7% saja.

Karena sebab paling sistemik menjauhnya partai politik dari massa adalah kerangka hukum. Sejak Reformasi, undang-undang partai politik sudah sering direvisi hingga empat kali. Reformasi pada partai politik harus di tekankan pada dua hal yaitu. Yang pertama, ketentuan hukum apa yang harus diubah dalam undang-undang partai politik dan pemilu tersebut. Yang kedua, melalui kewenangan dari lembaga negara mana perubahan ini harus dilakukannya. Setidaknya terdapat ketentuan yang harus diubah dalam undang-undang partai politik dan pemilu. Ialah memudahkan pembentukan partai politik, sebagai contoh mengembalikan syarat pada tahun 1999. Mengubah verifikasi partai politik peserta pemilu yang amat berat, kompleks, dan diskriminatif menjadi hanya satu syarat yaitu laporan keuangan dari partai politik yang transparan dan akuntabel.

Sedangkan perubahan di semua ketentuan tersebut diupayakan dalam tiga jenis bentuk advokasi. Yang pertama, harus terus menerus melakukan pendidikan dan keberdayaan politik bagi warga dengan bekerja sama kepada banyak pihak seperti, kampus, dan partai politik tertentu. Yang kedua, pada saat komposisi Hakim dari MK relatif sudah bisa menahan intervensi DPR/Presiden, melakukan pengecekan lagi ketentuan undang-undang partai politik dan pemilu dengan meringankan syarat pembentukan partai politik dan ke pesertaan dari partai politik di pemilu. Yang ketiga, dalam ketentuan reformasi partai politik ini terus disampaikan kepada presiden sekarang atau berikutnya untuk menindaklanjuti peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dengan pemaknaan pembentukan undang-undang memaksa bahwa dua masalah sistem pemilu yang sekarang telah menghasilkan masalah darurat politik bernegara yang makin koruptif dan makin tidak demokratis bagi Indonesia. [***]

 

Nama Kgs Ahmad Syukri

Mahasiswa Fisip Ilmu Politik 

 

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com