DI sebuah rumah dua lantai yang juga merangkap kantor di Remu Utara, Kota Sorong, ternyata sedang berlangsung bisnis properti yang… tidak biasa, bukan rumah kost, bukan juga indekos pejabat, melainkan semacam “Airbnb” khusus bagi ular dan biawak dari yang hijau semlohai sampai yang eksotis dari pulau seberang.
Namanya T (42), bukan singkatan dari “Tuan Tanah” atau “Tukang Ternak”, tapi bisa jadi singkatan dari “Tersangka” kalau kasus ini bergulir ke meja hijau.
Ia diduga menyulap kantor CV miliknya menjadi safehouse bagi 169 satwa dilindungi. Iya, seratus enam puluh sembilan ekor yang terdiri dari berbagai jenis reptil yang kalau dikumpulin bisa bikin kebun binatang mini ala Jurassic Park, minus efek CGI.
Suasana penggerebekan malam hari oleh tim Polairud, pukul 10 malam WIT, ketika warga lain sedang rebahan nonton sinetron, para penegak hukum malah nonton “Reptil Show” di lantai dua rumah T. Saat pintu kamar dibuka paksa dengan izin pemilik tentunya terkuaklah isi lemari kehidupan
Ada 62 Ular Sanca Hijau (yang mungkin sedang bersantai di tiang jemuran), 54 Biawak Hijau (mungkin sedang work from home), 46 Biawak Waigeo (entah sedang meeting Zoom atau sekadar tebar pesona), 6 Biawak Misool (kelompok elit, mungkin punya kamar sendiri), dan 1 Biawak Aru (si satu-satunya yang paling senior dan mungkin admin grup WA).
Ini bukan sekadar penemuan biasa, semacam “kontrakan eksotis” yang dihuni makhluk-makhluk langka, yang menurut hukum tak boleh disimpan, apalagi dipelihara tanpa izin. Tapi toh, mereka malah dikurung ramai-ramai di kamar atas seperti peserta pelatihan motivasi bertema “Bertahan Hidup dalam Kandang”.
T (42) bilang, binatang itu dititipkan masyarakat, dari Raja Ampat, Maybrat, Tambrauw, titipan katanya. Kalau benar begitu, berarti si T ini semacam “penitipan hewan eksotik”, bukan tukang jual reptil. Tapi ya, titipan tanpa izin resmi tetap saja seperti parkir di jalur busway tetap salah meski niatnya baik.
Pepatah lama bilang “Kandang emas tetaplah kandang”. Mau rumah dua lantai atau CV pribadi, kalau isinya satwa dilindungi tanpa izin, tetap saja itu pelanggaran.
Bahkan kalau reptil-reptil ini bisa ngomong, mungkin mereka sudah protes “Bro, kami dilindungi, bukan ditangkepin buat dijadiin koleksi di pojok kamar!”
Perdagangan satwa liar itu ibarat es batu di atas wajan panas: cepat melelehkan kepercayaan, meninggalkan kerusakan, sekali saja jalur ilegal dibuka, maka ekosistem bisa berantakan.
Reptil-reptil itu bukan sekadar hewan biasa, mereka bagian penting dari rantai makanan dan keseimbangan alam. Kalau habis, jangan salahkan tikus-tikus liar naik pangkat jadi penghuni tetap dapur warga.
Belum lagi potensi penyakit yang bisa muncul dari perdagangan ilegal hewan eksotik, dari flu burung sampai virus-virus eksotis yang bisa bikin WHO ketar-ketir lagi.
Kasus ini menyadarkan kita semua, konservasi itu bukan cuma urusan LSM, bukan cuma tema lomba mural di kampus, tapi tanggung jawab bersama, jangan sampai karena tergiur cuan atau sensasi, kita jadi pelanggar hukum yang merusak alam.
Buat yang masih mikir punya biawak di kamar itu keren, mari kita ubah mindset.
Kalau mau hewan peliharaan, banyak pilihan legal kucing manja, kelinci lucu, atau ikan cupang dengan sirip mengibas bak balerina. Tapi ular sanca hijau? Biawak Waigeo?, bukan buat disayang-sayang di kosan, buat dijaga di alamnya di hutan, di pohon, di mana mereka bisa hidup tanpa bau AC dan lampu LED.
Jangan sampai anak cucu kita cuma tahu biawak Misool dari gambar di Google, atau belajar suara ular dari ringtone HP. Bumi kita bukan supermarket reptil, alam punya aturannya, dan manusia seharusnya jadi penjaga, bukan penjagal. Jadi, mari jaga alam seperti kita jaga hati saat jatuh cinta dengan tulus, dengan izin, dan jangan dipaksa masuk ke dalam kandang
“Kalau alam dijaga, dia akan membalas dengan senyum hujan, pelukan angin, dan nyanyian burung. Tapi kalau dirusak, balasannya bisa jadi air mata bencana”
Ssst… dan ingat!, kalau suatu malam kamu dengar suara “sssss” di kamar, pastikan dulu itu AC bocor, bukan ular sanca kiriman dari kamar tetangga.[***]