HALAMAN Pengadilan Negeri (PN) Lahat mendadak ramai, Senin (8/12/2025). Ratusan massa dari Aliansi LSM dan Media Peduli Lahat datang bukan untuk piknik bersama atau lomba bakiak, tapi untuk satu keresahan besar putusan majelis hakim atas gugatan class action terkait kebijakan Gubernur Sumatera Selatan dan Kadishub Sumsel yang dinilai memicu ambruknya Jembatan Muara Lawai.
Bagi warga, jembatan ambruk itu sudah cukup bikin kepala pening. Tapi ketika putusan pengadilan terasa “tak memihak korban”, rasa percaya publik ikut-ikutan goyang kayak jembatan digoyang truk batubara.
Pepatah bilang, “Kalau jembatan runtuh, jangan biarkan kepercayaan ikut rontok”
Sayangnya, kenyataan di lapangan berkata lain.
Aksi dipimpin oleh Saryono Anwar, SH, CPm, dengan Muhammad Sukli sebagai korlap, serta tokoh masyarakat seperti Aris Toteles dan Hendri S.
Mereka dengan tegas menolak putusan hakim PN Lahat atas gugatan class action yang mempersoalkan kebijakan Gubernur Sumsel dan Kadishub Sumsel, kebijakan yang menurut masyarakat telah “mengantar” Jembatan Muara Lawai menuju ajalnya.
Saryono bersuara lantang, “Putusan ini tak mencerminkan keadilan bagi warga yang terdampak. Jembatan ambruk itu bukan musibah biasa. Ada kebijakan yang jadi pemicu, dan itu sudah kami gugat!”
Orasi massa pun bercampur antara tegas dan humor pahit “Jangan sampai jembatan jadi korban, rakyat jadi korban, eh keadilan ikut-ikutan korban”
Tak cukup menolak putusan saja, massa juga menyoroti dugaan suap dalam lingkaran majelis hakim isu yang membuat warga makin merasa hukum “tak seadem ruangan sidang”.
Sukli berseru, “Kalau benar ada suap, itu bukan hanya menodai sidang, tapi menampar seluruh masyarakat Lahat pakai batu bata”
Aris Toteles menambahkan, “Kami minta majelis hakim bertanggung jawab. Jangan sampai jembatan runtuh, kepercayaan ikut tenggelam”.
Pepatah lama kembali relevan “Besi patah bisa disambung, tapi bila amanah patah, lama lagi nak bulihnyo”
Dalam aksi itu, massa mendesak PN Lahat membuka transparansi penanganan perkara No. 18/Pdt G/2025/PN tersebut.
Warga ingin memastikan apakah proses hukum benar-benar steril dari kepentingan dan “tangan-tangan halus”.
Ketua PN Lahat, Christo Evert Natanael Sitorus, SH, M.Hum, menyambut perwakilan massa.
Ia menyatakan aspirasi ini menjadi bahan evaluasi dan akan dikoordinasikan dengan Pengadilan Tinggi Sumsel.
Christo juga memberi jalan hukum, “Silakan sampaikan laporan ke Mahkamah Konstitusi, jika ada yang ingin dipersoalkan lebih lanjut”
Massa menanggapinya dengan humor khas Lahat “Siap, Pak. Tapi kalau kami ke MK, tolong jembatan dulu dibangun, biar kami tak melapor sambil berenang”.
Bagi masyarakat, persoalan Jembatan Muara Lawai bukan hanya soal beton yang patah tapi tentang kebijakan yang dianggap salah jalan, dan putusan pengadilan yang dirasa jauh dari keadilan.
Di situlah krisis kepercayaan muncul.
Pepatah Lahat bilang, “Air keruh bisa jernih lagi, tapi kalau kepercayaan keruh, butuh kejujuran untuk menjernihkannya”.
Aksi ini menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih berani menggugat negara ketika rasa keadilan mereka terusik.
Ini bukan soal demo semata, tapi soal alarm keras bahwa integritas hukum harus diperkuat atau rakyat akan terus kehilangan arah.
Jembatan Muara Lawai bisa dibangun ulang dengan alat berat.
Tapi jembatan kepercayaan rakyat cuma bisa dibangun dengan alat yang lebih mahal yaitu, integritas, transparansi, dan kejujuran.
Bahkan warga Lahat kini berdiri tegak sambil berkata, “Jembatan boleh ambruk, tapi harapan jangan ikut roboh”.[***]