Pendidikan

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2025 : “Belajar Jangan Cuma Upacara”

ist

Sumselterkini.co.id,- Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini seolah mengenakan jas kenangan mengingat sosok Ki Hadjar Dewantara, sambil berdiri rapi di bawah terik matahari. Lagu “Hymne Guru” dilantunkan dengan lirih, pidato dibacakan dengan penuh semangat, dan peserta upacara sibuk menahan gatal di betis sambil menanti kata pamungkas “Upacara selesai.” Lalu bubar, seperti mimpi siang bolong, semangatnya seringkali hanya bertahan sampai makan siang tiba.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2025 ini pun tak jauh beda, di halaman Kantor Gubernur Sumatera Selatan, Sekda Edward Candra berdiri tegap membacakan amanat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti. Temanya keren “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Tapi jangan sampai temanya jadi seperti stiker di pintu kelas tempelan belaka.

Pendidikan, sejatinya, bukan hanya soal datang pagi, pulang siang, dan mengisi LKS yang kadang salah jawabannya. Pendidikan adalah perjuangan panjang, yang dulu diperjuangkan bukan dengan zoom meeting dan Google Classroom, tapi dengan pena yang diselundupkan, kelas di kolong rumah, dan guru yang harus sembunyi-sembunyi dari penjajah.

Ki Hadjar Dewantara, sang pelopor, mendirikan Taman Siswa bukan demi tampil di baliho atau pencitraan Musrenbang. Ia melawan sistem pendidikan kolonial yang hanya berpihak pada yang berduit. Coba bayangkan, di masa penjajahan, sekolah adalah kemewahan yang hanya dimiliki segelintir. Anak pribumi? Paling banter disuruh belajar “menghormat” sambil menyapu halaman.

Hari ini, ironisnya, sekolah sudah ada, tapi semangatnya sering hilang. Murid datang karena takut dicoret dari absen, bukan karena ingin mencari ilmu. Mahasiswa masuk kelas sambil scrolling TikTok, sambil berharap dosennya lupa kasih tugas. Padahal, kalau kata Ki Hadjar. “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah,”.
Sekarang, guru dituntut bikin konten, rumah malah jadi tempat rebahan sambil main Mobile Legends.

Presiden Prabowo dalam Asta Cita ke-empatnya sudah menetapkan pendidikan sebagai prioritas, ada program penguatan SDM, pembelajaran digital, bahkan kurikulum AI. Tapi jangan sampai anak bisa bikin chatbot, sementara gurunya masih bingung pakai mouse. Sekolah keren tak akan berarti kalau gurunya dimiskinkan secara sistematis. Gedung ber-AC tak berguna kalau muridnya masih datang dengan sandal jepit dan perut keroncongan, “Pendidikan bukan soal ranking di papan tulis, tapi soal bekal agar tak jadi penonton di panggung peradaban.”

Menteri Abdul Mu’ti sudah menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan struktural, tapi ingat, jalan itu harus diratakan, bukan dibiarkan berlubang karena ego birokrasi. Kalau guru masih ribet urus SK, murid pun makin sering belajar dari konten selebgram ketimbang buku paket.

Kini, kementerian membawa misi besar Tes Kemampuan Akademik (TKA), Pembelajaran Mendalam, sampai Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, semua itu bagus, tapi seperti nasi goreng, sedapnya baru terasa kalau benar-benar diaduk rata, bukan cuma hiasan di brosur dinas. Mengutip pernyataan  Nelson Mandela. “Education is the most powerful weapon you can use to change the world,” artinya “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia,”.

Bisa diartikan pendidikan bukan cuma soal sekolah atau gelar, tapi kekuatan besar yang bisa membentuk cara berpikir, membuka peluang, memperbaiki nasib, dan membawa perubahan nyata baik untuk individu maupun bangsa. Sayangnya, di negeri ini, senjatanya sering tak diasah, bahkan disimpan di gudang bersama data Dapodik yang tak pernah sinkron.

Siswa dan mahasiswa perlu diingatkan jangan jadi penikmat seremoni, kalau cuma datang upacara dan foto-foto, itu bukan belajar, tapi resepsi. Lihat sejarah. Pejuang pendidikan dulu berdarah-darah demi bisa baca dan menulis. Masa kita yang sudah enak tinggal klik, malah enggan membaca karena “caption-nya kepanjangan”?

Pendidikan itu bukan soal angka di raport, tapi tentang menyalakan lilin di ruang gelap, kalau bangsa ini ingin maju, jangan cuma rayakan Hardiknas pakai kue dan puisi. Rayakan dengan aksi nyata anggarkan pendidikan dengan benar, hargai guru seperti menghargai influencer, dan tanamkan semangat belajar di dada anak-anak, bukan hanya di dinding sekolah. Karena pendidikan yang sejati bukan yang sekadar dikhotbahkan dalam upacara, tapi yang diperjuangkan di ruang kelas, di kolong rumah, dan di dalam hati setiap anak bangsa.

Dan pendidikan itu juga bukan kado tahunan yang hanya dibuka saat 2 Mei lalu disimpan lagi di lemari program kerja. Ia adalah proses seumur hidup yang harus dipelihara, seperti tanaman anggur yang dirawat tiap hari, disiram dengan kebijakan yang adil, dan dijauhkan dari ulat birokrasi. Jangan sampai semangat belajar kita cuma muncul saat kamera wartawan menyala, atau jadi kepentingan politik.

Para siswa, mahasiswa, dan seluruh anak bangsa jangan sampai kalian cuma jadi penonton dalam kelas kehidupan, belajarlah bukan hanya untuk nilai, tapi untuk memahami dunia. Jangan cuma jago bikin resume, tapi nggak paham sejarah bangsa sendiri. Dulu, para pejuang rela sekolah diam-diam di tengah ancaman penjajah, sekarang, kita cuma disuruh duduk manis di kelas ber-AC, tapi malah sibuk mikirin konten medsos.

Pepatah bilang”Belajar bukan hanya soal membaca buku, tapi juga membaca hidup dan memperbaiki masa depan.”

Oleh sebab itu jadikan Hardiknas ini bukan sekadar seremoni, tapi momentum untuk menyingsingkan lengan baju baik di meja guru, di ruang kelas, di kantor dinas, maupun di rumah. Hargai para guru bukan karena mereka punya spidol warna-warni, tapi karena mereka menyalakan obor di tengah gelapnya zaman. Dan jadilah murid yang tak hanya paham teori, tapi juga paham mengucapkan terima kasih kepada mereka yang berjasa. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025 untuk semua pejuang ilmu, dari yang mengajar di gunung sampai yang mengajar di Google Meet, teruslah jadi cahaya di lorong gelap masa depan bangsa.[***]

[***]

Terpopuler

To Top