-Kemdiktisaintek, kolaborasi pendidikan tinggi, teknologi, dan internasionalisasi kampus
ITULAH tiga kunci utama pertemuan antara Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) dengan Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Frank Felix. Di tengah era global yang serba daring dan penuh saingan seperti antrean sembako gratis, Kemdiktisaintek nggak mau ketinggalan kereta. Mereka gercep membangun kerja sama internasional, demi mencetak generasi Indonesia yang nggak cuma bisa TikTok-an, tapi juga bisa bersaing di panggung dunia.
Kisahnya dimulai begini…
Di suatu Rabu yang tidak terlalu mendung, tapi cukup cerah untuk ngopi sore, datanglah tamu kehormatan dari negeri jauh bernama Belgia. Bukan, ini bukan sales wafer Belgia atau importir keju. Ini adalah Frank Felix, Duta Besar Belgia yang datang membawa misi: bukan misi rahasia, tapi misi pendidikan, teknologi, dan harapan manis masa depan.
Disambut langsung oleh Sekjen Kemdiktisaintek, Pak Togar Mangihut Simatupang yang wajahnya sumringah seperti mahasiswa baru dapat beasiswa LPDP pertemuan ini berlangsung dengan nuansa hangat dan penuh potensi. Kayak gebetan yang cocok diajak ngobrol panjang dan punya visi hidup.
Kalau dulu kampus identik dengan bangunan tua dan papan tulis penuh kapur, kini Indonesia punya cita-cita besar: kampus digital, sistem manajemen pembelajaran yang mutakhir, bahkan ujian online yang nggak perlu sinyal kencang. Belgia pun menawarkan solusi teknologi pendidikan yang bisa dipakai bahkan di daerah yang sinyalnya sering “hilang muncul kayak mantan waktu butuh”.
Solusi ini seperti menemukan WiFi gratis di tengah hutan belantara berkah banget buat Indonesia yang geografisnya ribet dan infrastrukturnya belum semua melek digital.
Kemdiktisaintek juga nggak mau mahasiswa Indonesia cuma “muter-muter” di dalam negeri. Kolaborasi dengan kampus Belgia pun diincar untuk bikin program double degree. Bayangin, lulus dapet dua ijazah satu dari Indonesia, satu dari Belgia. Kayak beli satu dapat satu, tapi ini ijazah, bukan sepatu diskon.
Apalagi program doktoral, yang bisa jadi jembatan emas untuk riset bareng. Dari semikonduktor sampe air bersih, dari energi terbarukan sampai ketahanan pangan kerja samanya bukan kaleng-kaleng. Ini udah bukan soal belajar, tapi soal bertahan hidup di masa depan. Seperti kata pepatah, “Siapa yang menanam riset, dia akan memanen solusi.”
Dubes Frank dengan semangat menyampaikan bahwa Belgia juga pengen lebih banyak mahasiswa mereka kuliah di Indonesia. Lah, ternyata Indonesia bukan cuma tujuan wisata murah buat bule, tapi juga tempat kuliah yang makin seksi. Belgia ngeliat potensi kita kayak pengusaha ngelirik startup baru: penuh peluang, tinggal dipoles.
Kemdiktisaintek pun mengiyakan dengan tegas. Biar adil, pertukaran ini harus dua arah. Kayak sahabat baik saling datang, saling belajar, saling bagi pengalaman. Jangan sampai Indonesia cuma jadi tempat magang, tapi juga rumah belajar.
Di balik semua seremoni, duduk manis, dan kopi diplomatik itu, ada pesan moral yang dalam:
Kalau kita ingin maju, jangan cuma menutup pintu lalu bilang “kami mandiri”, tapi buka jendela, buka ruang kolaborasi. Belajar dari siapa saja, bekerja sama dengan siapa saja, demi masa depan anak bangsa yang lebih cerdas, lebih adaptif, dan tetap punya nilai lokal walau berstandar global.
Seperti kata pepatah modern, “Internasionalisasi bukan berarti kehilangan jati diri. Tapi menemukan siapa kita dalam percakapan global.”
Pertemuan Kemdiktisaintek dan Dubes Belgia bukan cuma soal seremoni dan foto bareng. Ini adalah langkah konkret untuk membangun masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Biar generasi berikutnya nggak cuma jago main PUBG, tapi juga jago riset, bikin teknologi, dan siap bersaing di dunia yang makin kompleks ini.
Jadi, kalau besok kamu ketemu mahasiswa dari Belgia di kantin kampus, jangan kaget. Itu bukan turis nyasar, tapi buah dari kerja sama yang hari ini ditanam.
Dan ingat, dunia ini terlalu luas untuk dipelajari sendirian. Jadi yuk, belajar bareng karena masa depan itu hasil kolaborasi, bukan kompetisi terus-terusan.[***]