Pendidikan

Gedung Baru, Warga Aktif? Menelisik Ruang Bersama di Muba

ist

Gedung cakep sudah ada, tapi apakah anak-anak dan ibu-ibu benar-benar ikut hidupkan ruang ini?

DI Musi Banyuasin ( MUBA) ada pepatah “Tak ada ruang bersama, bagaimana mau jadi desa ramah anak dan perempuan?”. Begitulah  awal saat Pemerintah Kabupaten meresmikan Ruang Bersama Indonesia (RBI) di enam desa percontohan.

Gedungnya sudah megah, catnya warna-warni bak pelangi habis hujan, papan namanya bak hotel bintang lima. Tapi pertanyaannya apakah warga benar-benar aktif memanfaatkan ruang itu, atau cuma foto-foto ala TikTok lalu pulang sambil bilang, “Mantap jiwa, gedungnya kece!”?

Bupati Muba, H M Toha Tohet SH, bilang dengan lantang bahwa RBI adalah “langkah signifikan menghadirkan ruang aman, inklusif, dan memberdayakan seluruh lapisan masyarakat”. Wah, keren kalau semua warga mau ikut, tapi seperti kata orang tua zaman dulu, “jangan menilai buku dari sampulnya”.

Gedung boleh cakep, tapi ruang yang hidup butuh lebih dari kursi plastik dan cat baru. Gedung RBI itu kayak sepeda motor baru. Bisa keren, bisa kencang, tapi kalau pengendaranya cuma duduk manis, ngerem terus, ya tetap di garasi.

Begitu juga RBI kalau warga, terutama anak dan perempuan, tidak menyalakan mesinnya dengan belajar, berdiskusi, atau berkreasi, maka gedung itu cuma jadi pajangan.

Laporan UNICEF Indonesia (2024) menyebutkan anak-anak desa kerap merasa pembangunan fisik tidak cukup. Seorang anak SD di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Aisyah (10), bilang, “Kalau cuma gedung, kami bisa duduk diam. Tapi kami mau ada mainan, buku, dan kegiatan seru!”.

 Jleb banget ya, kayak lem super nempel di hati…hehehe!!. Di Muba pun sama, anak-anak butuh lebih dari sekadar bangunan indah untuk foto-foto. Mereka butuh ruang hidup yang benar-benar bisa dipakai, bukan sekadar tempat selfie ala TikTok.

Biar perspektifnya nggak lokal banget, mari menengok lima negara yang lebih dulu bikin ruang aman dan inklusif bagi anak dan perempuan.

Di Stockholm, Swedia, ada Fritidshem, pusat kegiatan setelah sekolah yang gratis untuk anak berkebutuhan khusus. Anak-anak bisa belajar musik, coding, olahraga sambil diawasi guru profesional.

Amsterdam, Belanda, ada Jeugd- en Jongerencentra, pusat anak dan remaja yang melibatkan mereka merancang kegiatan. Anak-anak benar-benar punya suara.

Sementara di Tokyo, Jepang, ada Kodomo no Iru Machi atau kota ramah anak, dengan taman edukatif dan ruang komunitas di setiap distrik. Di Nairobi, Kenya, perempuan muda punya safe spaces untuk belajar wirausaha, digital literacy, dan isu gender.

Begitu pula Di Rio de Janeiro, Brasil, ada Espaços de Criança, menggabungkan olahraga, edukasi, dan seni, sekaligus memberi ruang bagi ibu-ibu ikut terlibat. Pelajaran penting gedung saja tidak cukup, ruang harus hidup, kreatif, dan melibatkan penggunanya sejak awal.

Komitmen

Kepala Dinas PPPA Muba, dr Sharlie Esa Kennedy menyatakan bahwa desa-desa lokasi RBI berkomitmen menuju nol kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tapi seperti kata Pak Joko, warga Desa Tegal Mulyo, “Gedungnya keren, tapi kalau jadwal kegiatannya bentrok sama jam orang kerja, ya siapa yang sempat ikut?”.

Realita desa memang begini, perempuan sibuk urus rumah tangga, anak-anak sekolah, kadang bantu sawah atau usaha keluarga. Kalau program nggak fleksibel, gedung megah itu bisa jadi seperti kastil di negeri dongeng: cakep, tapi sepi penghuninya.

Misalnya ada seorang anak kecil berbisik ke temannya saat lihat gedung RBI, “Eh, kayaknya ini rumah hantu, orang-orang cuma foto terus pergi”. Haha, ngakak tapi ada benernya juga. Humor bisa jadi kritik efektif kalau anak-anak menilai bangunan tanpa aktivitas sebagai rumah hantu, berarti program harus diperkuat dengan kegiatan nyata. Gedung boleh megah, tapi hati warga yang hidup bikin RBI benar-benar hidup.

Bahkan gedung RBI itu kayak durian matang di tengah pasar, wanginya menggoda, bentuknya menggoda, tapi kalau nggak ada orang mau makan, ya cuma jadi pajangan, bisa busuk kena panas. Gedung boleh cantik, tapi kalau nggak ada warga yang mau masuk, belajar, main, atau bikin program, ya percuma.

Oleh sebab itu dari peluncuran RBI ini, dinilai sederhana tapi penting “Bangun gedung boleh cepat, tapi bangun partisipasi butuh waktu, kreativitas, dan kesabaran”.

Bukan cuma pemerintah yang bertanggung jawab, tapi Warga, guru, orang tua, dan anak-anak harus diajak bersinergi. Gedung bisa jadi simbol, tapi perubahan sosial nyata lahir dari interaksi manusia sehari-hari.

Jadi, gedung RBI di Muba boleh cakep dan Instagramable. Tapi kalau warga nggak aktif memanfaatkan ruang itu, maka gedung hanyalah pajangan.

Konsep ruang aman dan inklusif sudah bagus, tapi praktiknya harus menyesuaikan kehidupan warga desa waktu, kebutuhan, dan kreativitas mereka.

Negara lain sudah memberi contoh partisipasi anak, fleksibilitas kegiatan, dan integrasi perempuan adalah kunci keberhasilan. Indonesia, termasuk Muba, bisa belajar dari situ. Gedung megah tanpa warga yang aktif ibarat sepeda motor baru yang cuma parkir di garasi keren, tapi tidak ke mana-mana.

Kalau ingin RBI benar-benar jadi Ruang Bersama, jangan cuma cat dan kursi yang diperhatikan. Libatkan anak, perempuan, dan warga secara nyata. Buat kegiatan seru, edukatif, dan inklusif. Seperti kata Aisyah tadi, “Kami mau ruang yang seru, bukan hanya gedung”.

Jadi, Muba bisa jadi desa percontohan yang bukan hanya membangun gedung, tapi juga membangun kebersamaan, kreativitas, dan masa depan anak-anak serta perempuan. Gedung boleh megah, tapi hati warga yang hidup bikin RBI benar-benar hidup, bukan sekadar pajangan Instagram.

Kalau ke Muba dan lihat gedung RBI, jangan cuma selfie. Masuk, ikut kegiatan, dengarkan anak-anak tertawa, lihat ibu-ibu belajar, dan rasakan getaran hidup dari ruang itu.

Kalau nggak, gedungnya cuma hotel hantu yang cantik tapi sepi penghuninya. Dan seperti kata pepatah lama yang kita suka ubah-ubah”Ruang hidup bukan di bangunan, tapi di hati warganya”.[***]

Terpopuler

To Top