DI INDONESIA, urusan pendidikan ibarat memasak sayur asem di dapur rumah nenek, bahan-bahannya banyak, bumbunya harus lengkap, dan jangan salah takar, kalau tidak rasanya jadi aneh. Begitu juga dengan digitalisasi pendidikan, kalau cuma bagi-bagi alat canggih macam papan interaktif, laptop, atau yang disebut Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat sebagai “TV jumbo”, ya ibarat kasih kompor gas tanpa kasih tabungnya, ujung-ujungnya cuma jadi pajangan.
Mari mulai dengan cerita sederhana misalnya di sebuah sekolah dasar di kampung, datanglah bantuan laptop dan papan interaktif kinclong. Anak-anak terpukau, guru-guru berdecak, kepala sekolah langsung selfie sambil caption, “Sekolah kami sudah digital!”. Tapi, minggu berikutnya papan interaktif itu berubah fungsi jadi papan tulis manual, ditempeli kertas pengumuman jadwal piket kelas. Laptopnya? Disimpan rapi di lemari, dipakai kalau ada tamu dari dinas. Nah, ini dia yang sering luput digitalisasi bukan soal alat, melainkan soal ekosistem.
Atip Latipulhayat sudah menekankan, guru tetap aktor utama, tapi jujur, tidak sedikit guru kita yang masih lebih akrab dengan kapur tulis ketimbang layar sentuh, ya kan !. Pepatah Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea”- keberhasilan butuh biaya, nah, dalam hal ini biaya bukan cuma rupiah, tapi juga investasi waktu dan tenaga buat melatih guru agar bisa mengoperasikan teknologi, bukan cuma jadi penonton.
Kalau digitalisasi ini diibaratkan pertunjukan wayang, maka gurulah dalangnya. Tanpa dalang, gamelan boleh saja berdentum, tapi lakon tidak jalan. Laptop dan papan interaktif hanya sebatas gong dan kendang, percuma megah kalau dalangnya bingung menabuh.
Digitalisasi sebenarnya jangan hanya menjadikan anak-anak kita konsumen konten global, sebaliknya jadi produsen konten lokal. Bayangkan kalau setiap papan interaktif diisi video animasi buatan guru Indonesia, cerita rakyat Nusantara dalam bentuk interaktif, atau simulasi sains dengan bahasa gaul khas anak-anak kita, wah itu baru namanya digitalisasi yang berdaulat.
Kalau tidak, jangan heran kalau nanti anak PAUD lebih hafal nama karakter kartun Jepang ketimbang tokoh nasional. Sungguh ironis kalau “TV jumbo” di kelas hanya jadi layar buat memutar YouTube dari luar negeri, bukankah lebih baik kalau teknologi itu kita isi dengan karya kita sendiri?
Contoh paling sering disebut tentunya di Finlandia, negeri sauna ini sukses dengan digitalisasi bukan karena banyak gadget, tapi karena kurikulumnya lentur, guru dilatih serius, dan murid didorong untuk kolaborasi. Jadi papan interaktif di sana bukan sekadar layar, melainkan bagian dari budaya belajar yang sudah disiapkan. Indonesia bisa meniru semangatnya alat hanyalah pendukung, manusianya yang utama.
Lalu ada Korea Selatan, negeri K-Pop yang juga K-EdTech, di sana, pemerintah gencar investasi konten digital pendidikan lokal. Bukan cuma bikin platform, tapi memastikan guru bisa produksi bahan ajar berbasis video dan animasi. Hasilnya? Murid-murid di pelosok Korea bisa belajar matematika dengan gaya ala webtoon. Nah, kita di Indonesia jangan sampai cuma jadi penonton drama Korea, tapi juga belajar dari caranya bikin pendidikan “ramah layar”.
Contoh lain datang dari India, meski tantangannya jauh lebih berat, karena populasi besar dan kesenjangan digital tinggi, mereka berani meluncurkan platform DIKSHA (Digital Infrastructure for Knowledge Sharing). Bayangkan, jutaan guru dan murid bisa akses konten pendidikan gratis lewat aplikasi. Ini bukti kalau digitalisasi bisa jadi solusi merata, asal ada komitmen membangun ekosistem, bukan hanya gadget.
Dan jangan lupa Singapura tetangga kita dekat Sumatera ini merupakan negeri mungil tapi terkenal, karena setiap kebijakan digitalisasinya selalu diikuti dengan teacher training ketat. Jadi jangan heran kalau papan interaktif di sana benar-benar interaktif, bukan sekadar papan pajangan, mereka paham pepatah modern “The best app is still a well-prepared teacher”.
Resiko serius
Tapi mari jangan terlalu berbunga-bunga, di balik semua gemerlap digitalisasi, ada risiko serius kecanduan digital. Anak-anak PAUD gampang sekali terpesona dengan layar, kalau tak diawasi, papan interaktif bisa jadi pintu masuk candu visual, bukan jendela ilmu. Ini sama saja seperti kasih anak pisau dapur, kalau diajarkan, bisa jadi chef handal, kalau dibiarkan, bisa celaka.
Artinya, setiap perangkat digital harus diiringi dengan pengawasan guru, lagi-lagi, guru bukan tergantikan, justru semakin dibutuhkan.
Direktur PAUD, Nia Nurhasanah, sudah menyusun strategi bimtek bagi 64 ribu lebih satuan PAUD yang akan menerima perangkat digital tahun 2025. Angka ini terdengar gagah, tapi jangan lupa membangun ekosistem digital itu seperti lari maraton, bukan sprint 100 meter. Tidak bisa sekadar kirim perangkat hari ini, lalu besok berharap anak-anak langsung cerdas digital.
Perlu kesinambungan antara bimtek, pendampingan, kurikulum yang adaptif, dan juga kolaborasi dengan industri kreatif. Kalau tidak, papan interaktif itu nasibnya sama seperti monorel Palembang, niatnya keren, ujung-ujungnya jadi cerita lucu buat bahan stand-up comedy.
Ada pepatah bijak, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” . Dalam konteks digitalisasi, kalau gurunya saja bingung buka Zoom atau salah klik saat presentasi, jangan harap muridnya bisa belajar dengan baik, karena itu, literasi digital guru adalah kunci, bahkan bisa ditambahkan pepatah baru “Guru melek digital, murid kreatif global”
Digitalisasi pendidikan tidak boleh berhenti pada seremoni pembagian perangkat, kita butuh ekosistem, yakni kurikulum yang mendukung, guru yang siap, konten lokal yang relevan, serta perlindungan anak dari candu digital, seperti menanam padi, jangan hanya sibuk dengan cangkulnya, tapi lupa merawat sawahnya.
Oleh sebab itu, maka teknologi hanyalah alat, guru tetaplah pelita, dan digitalisasi hanya bermakna bila mengubah dari sekadar konsumsi menjadi produksi, dari sekadar gadget menjadi ekosistem.
Kalau itu bisa kita jalankan, barulah mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa lewat digitalisasi bukan hanya jargon, tapi kenyataan, dan papan interaktif tidak akan lagi jadi papan pengumuman, tapi betul-betul jadi jendela dunia.[***]