HUJAN turun di Palembang, sebagian warga bukan langsung bersyukur atas berkah langit, tapi justru sibuk cari tempat tinggi buat ngungsi, sebab, kalau sudah masuk musim hujan, Kota Palembang sering berubah jadi ‘Kota Venesia Dadakan’, minus gondola dan romantisme, yang ada cuma motor mogok, sandal hanyut, dan warga yang mengarungi genangan sambil merutuk nasib seperti pemain sinetron kehabisan dialog.
Tapi sabar dulu, pemirsa sekalian!, kini ada secercah harapan di ujung selokan. Pemerintah Kota Palembang bersama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWSS) Sumatera VIII, kayaknya udah nggak tahan juga liat warga saban tahun berenang gaya dada di jalanan protokol, maka itu, dicanangkanlah proyek penataan Sub-DAS Sungai Bendungsungai yang katanya jadi “biang kerok” banjir di kota.
Begitu kira-kira peribahasa baru yang cocok menggambarkan situasi sekarang, sungai ini sudah mengalami penyempitan akut dan sedimentasi kronis. Sama kayak hubungan percintaan yang dipaksakan terus padahal jalannya makin sempit, akhirnya tumpah juga, ya… tumpah airnya, ya….. tumpah emosinya.
Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, tampil seperti pahlawan tanpa mantel hujan, memimpin pertemuan strategis dengan niat mulia bikin Palembang bebas banjir. Katanya, dari 19 Sub-DAS yang ada, si Bendung ini paling nyusahin. Lalu akan dimulailah operasi besar-besaran, bukan operasi plastik, tapi operasi normalisasi sungai.
Rencananya sih, bakal dianggarkan lebih dari Rp800 miliar. Wah…, kalau itu dibelikan pempek, bisa bikin Sungai Musi beraroma cuko selama sebulan penuh. Tapi ya ini demi masa depan.
Katanya dana dari APBN dan pinjaman dari World Bank, hebat, bukan hanya rakyat yang utang KTA, pemerintah juga punya loan, tapi buat hal mulia.
Tapi jangan salah, proyek ini bukan cuma soal alat berat dan anggaran berat, masalah sosial juga berat. Banyak rumah warga yang berdiri manja di tepi sungai, kayak penonton konser yang nekat naik panggung. Nah, mereka ini harus direlokasi tentu dengan pendekatan manusiawi, bukan diusir pakai toa masjid.
Belah jantung kota
Kepala BBWSS, Pak Feriyanto, bilang bahwa Sub-DAS lain seperti Sekanak-Lambidaro udah mulai dibenahi. Tapi Sungai Bendung ini spesial, karena membelah jantung kota. Ya… maklum, jantung yang tersumbat harus cepat-cepat di-stent, kalau enggak bisa kolaps. Nah, Sungai Bendung itu ibarat pembuluh darah yang udah kelebihan lemak, harus dibersihkan dan dilebarkan. Jangan sampai aliran airnya kayak status mantan buntu, penuh hambatan, dan bikin sesak napas.
Ada pepatah bilang, “air tenang menghanyutkan”, terhanyut ke dalam kesabaran yang tiada batas. Maka penting kiranya semua pihak saling bantu. Pemerintah sudah serius, sekarang tinggal masyarakat yang jangan nyampah seenaknya, buang kasur ke sungai, buang dosa ke laut.
Kalau proyek ini sukses, bukan cuma bebas banjir yang kita dapat. Tapi juga kualitas hidup meningkat. Anak-anak bisa berangkat sekolah tanpa perlu pakai pelampung. Emak-emak bisa belanja ke pasar tanpa takut sandal ilang separuh. Dan yang paling penting, Palembang bisa berhenti viral tiap musim hujan gara-gara motor hanyut.
Sungai Bendung, oh ….Bendung, Cintamu pada Palembang terlalu sempit untuk menampung segalanya. Tapi kami yakin, dengan pelebaran yang tulus dan normalisasi yang ikhlas, hubungan ini bisa kita perbaiki.
Dengan gotong royong, dana kuat, dan warga yang sadar lingkungan, banjir bisa tinggal cerita. Jadi yuk, mari kita kerja sama. Jangan biarkan sungai jadi tempat buang masalah. Karena kalau sungai penuh drama, kota kita bisa gagal move on dari genangan.
Ingat kata pepatah, “Jangan menyeberangi sungai sambil mengutuk airnya”. Kalau sungainya sempit, mari kita bantu lebarin. Kalau alirannya tersumbat, mari kita bersihkan. Jangan sampai nanti anak cucu kita nanya, “Dulu Palembang kenapa sering banjir?”. Lalu kita jawab, “Karena kita kebanyakan ngomel, bukan gotong royong”
Banjir bukan kutukan, tapi bisa jadi ujian, dan kalau kita lulus dari ujian ini, mungkin suatu hari nanti kita bisa bilang “Palembang, kota seribu sungai yang bebas dari tangis hujan”.[***]
